Jakarta, detikborneo.com -Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945, Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia (Pasal 31 Ayat 5).
Karenanya, Pendidikan Tinggi (PT) haruslah menjadi alat pemersatu bangsa karena menghasilkan sumber daya insani unggul yang menguasai ilmu dan teknologi dan menghasilkan karya-karya inovatif bagi pemajuan peradaban modern dan pemuliaan kemanusiaan.
Jika dilihat dari segi jumlah, dengan memiliki 4593 PT (Dikti, 2020), Indonesia adalah negara terbanyak perguruan tingginya di dunia. Jumlah ini setara dengan 16,4 persen dari seluruh jumlah PT di dunia yang berkisar 28000 (UNESCO, 2019) atau dua kali lebih besar dari seluruh PT di Uni Eropah (EU) yang hanya berkisar 2400 PT yang tersebar di 27 negara anggotanya.
Jika saja seluruh PT ini dikelola dengan baik, Indonesia tentu dapat menyumbang 16,4 persen SDM unggul di dunia. Namun sebaliknya, jika ini dibiarkan berlangsung terus seperti apa adanya, kelihatannya dapat menjadi ancaman disintegrasi bangsa di masa depan.
Atas kerisauan ini, berikut dikemukakan beberapa realitas dan paradoks:
Pertama, PT dihadapkan pada paradoks yang berorientasi pada mutu atau jumlah. Jika dilihat dari aspek mutu ternyata di antara 4593 PT yang melayani sekitar 8,5 juta mahasiswa ini, hanya 96 yang telah memperoleh akreditasi unggul (A) dari Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT). Jika indikator itu dilihat di tingkat Asia, QS dan Times Higher Education (2020) memperlihatkan hanya 30 PT saja yang dinilai bermutu. UGM menempati urutan tertinggi, di peringkat ke-57, lalu disusul oleh UI (59), ITB (62), dan IPB (118), selebihnya berada di peringkat 200-601. Jika pemeringkatan itu diangkat lagi ke tingkat global, maka terlihat hanya 16 PT yang masuk pada kategori QS World Class University (WCU, 2021). Di antara jumlah ini, hanya empat saja yang masuk di kelompok 500 besar dunia yakni UGM di urutan 254, kemudian disususl UI (293), ITB (303) dan Unair (465).
Data ini memperlihatkan bahwa PT Indonesia lapuk dan jauh dari orientasi mutu. Dampaknya, lulusannya telah menyumbang sekitar 1,5 juta penganggur setiap tahun (BPS, Februari 2021). Jika pengangguran terdidik ini terus bertambah dan dihinggapi frustrasi sosial tentu akan mengancam sendi-sendi kohesi sosial masyarakat yang pada akhirnya mengancam keutuhan bangsa dan negara di masa depan.
Kedua, PT dihadapkan pada paradoks yang berpusat di Jawa atau di luar Jawa. Jika dilihat dari sebaran ke-96 PT yang berakreditasi unggul (A) secara nasional, atau 30 PT yang masuk dalam peringkat 57-601 di Asia, dan empat yang masuk di peringkat 500 PT terbaik di dunia, hampir semuanya berada di Jawa. Jika diamati sebarannya di 514 Kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, hanya tiga tempat saja yang memiliki tiga atau lebih PT berakreditasi “A” yang berada di luar Jawa, yakni: Medan, Makassar dan Denpasar. Tidak satupun kota atau kabupaten yang memenuhi kriteria itu di Papua, Kalimantan, NTT dan NTB, Maluku dan Maluku Utara.
Dapat dibayangkan dengan luas wilayah darat dan laut Indonesia yang berkisar 8,2 juta km per segi atau dua kali lebih luas dari EU yang berkisar 4,1 juta km per segi, berpenduduk ke empat terbesar di dunia, namun hanya 0,5 persen wilayahnya memiliki perguruan tinggi berkualitas di luar Jawa.
Dengan kesenjangan ini dampak turunannya adalah tingginya jurang penguasaan ilmu pengetahuan (knowledge gap) antara rata-rata SDM Jawa dan di luar Jawa. Saya menilai kesenjangan pengetahuan dan keterampilan ini jauh lebih berbahaya dibanding kurangnya keseimbangan keuangan pusat dan daerah, karena pendidikan adalah satu-satunya “jalur pemerata” (the great equalizer) yang didambakan orang-orang tertinggal.
Ketiga, PT dihadapkan pada paradoks yang berorientasi pada pemajuan masyarakat kelas atas atau pada kelas bawah. Data memperlihatkan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk miskin hanya dapat diturunkan satu persen setiap empat tahun, tetapi jumlah orang kaya meningkat 10 persen setiap tahun (Nusantaranews, 26/7/2018). Akibatnya jurang antara kaya dan miskin semakin melebar.
Global Wealth Report (2016) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke empat terburuk tingkat kesenjangan sosial ekonominya di dunia yang berada setelah Rusia, India, dan Thailand. Tidak mengherankan jika Oxfam menunjukkan bahwa harta dari empat orang terkaya Indonesia setara dengan gabungan dari harta 100 juta orang miskin di Indonesia (detikfinance.com, 23/2/17).
Selanjutnya, pada publikasi Bank Dunia, Indonesia Rising Divide (2015), disebutkan empat alasan yang mengancam keutuhan NKRI yakni: pemberian kesempatan yang tidak sama sehingga tidak semua orang dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya untuk maju dan hidup sejahtera; rendahnya keterampilan yang dimiliki kalangan bawah untuk masuk di sektor ekonomi modern sehingga mereka hanya dapat diserap di sektor informal dengan tingkat pendapatan amat rendah sehingga mereka semakin tertinggal; semakin meningkatnya kosenterasi pemilikan modal dan keuangan di segelintir kelompok atas yang mengancam keselamatan masa depan generasi mendatang; dan ketidakmampuan kalangan bawah menabung dan berinvestasi di bidang kesehatan dan pendidikan (hal.11).
Bahkan 60 juta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tidak tersentuh bantuan bank (Kompas.com, 21/4/2021)
Sebagai refleksi, pada 1950, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan multi campuses management dengan menempatkan UI sebagai pembina dan pengelola berbagai kampus di tanah air dengan keunggulannya masing-masing, misalnya kampus UI di Bogor untuk Pertanian dan Kedokteran Hewan; di Bandung (Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Surabaya (Kedokteran dan Kedokteran Gigi), dan Makassar (Ekonomi dan Hukum) dan seterusnya.
Dengan pendekatan itu, mutu PT merata dengan corak keunggulan ekonomi lokalnya masing-masing sehingga dapat menciptakan harmoni saling ketergantungan antarpulau dan daerah di seluruh tanah air.
Ini mirip dengan keadaan Eropa Union (EU) saat ini. Meski Jerman dapat memproduksi pesawat terbang, tapi tidak membuat arloji karena Swiss sudah menghasilkannya, tidak menanam bunga tulip karena Belanda sudah menghasilkan jutaan tangkai tulip setiap hari.
Dengan modus itu, PT dapat membentuk pusat-pusat keunggulan lokal untuk memuliakan dan memajukan mereka yang tertinggal, seperti Yunus Center di Bangladesh.
Ke empat, PT dihadapkan pada paradoks pengelolaan anggaran pendidikan bagi peningkatan kesejahteraan atau bagi peningkatan mutu. Data menunjukkan bahwa anggaran 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi ternyata hampir seluruhnya habis dibelanjakan bukan untuk pendidikan. Bank Dunia melaporkan, 86 persen dana APBN dan APBD itu habis dikonsumsi untuk gaji dan kesejahteran guru dan tenaga kependidikan, bahkan di 32 kabupaten/kota jumlahnya mencapai 90 persen, bukan untuk peningkatan mutu pembelajaran. Jumlah ini dinilai amat ekstrim karena misalnya, di Vietnam anggaran untuk kesejahteraan guru dan pejabatnya hanya 42 persen, Finlandia 55 persen, AS 62 persen (Revealing How Indonesia’s Subregional Government Spend their Money on Education, 2020, hal 68).
Pengelolaan anggaran PTN dan PTS juga terlihat diliputi beragam misteri. Bukankah di PTN, gaji dan tunjangan dosen dan tenaga kependidikan dan biaya operasionalnya sepenuhnya dibebankan pada APBN, dan sebaliknya bagi PTS yang bergantung dari dana masyarakat melalui SPP mahasiswanya. Umumnya di berbagai negara, biaya kuliah di PTN jauh lebih rendah dibanding PTS, namun di Indonesia terlihat sebaliknya. Misalnya, di lingkungan LLDIKTI Wilayah III (Jabodetabek), masih banyak Program S2 di PTS dengan SPP hanya sekitar Rp200-300 ribu sebulan, sedangkan di PTN untuk program studi yang sama biayanya berkisar Rp16-30 juta per semester.
Akhirnya, semoga negara dapat segera hadir kembali untuk mengatasi paradoks PT ini demi peri-kemanusiaan, peri-keadilan, demi pemuliaan dan pemajuan mereka yang tertinggal, dan demi kenyamanan hidup bersama dalam pelukan kebesaran NKRI di hari esok.
Penulis:
Prof. Dr. Hafid Abbas
Konsultan Internasional UNESCO untuk Wilayah Asia Pasifik 1992-1995. Guru Besar FIP UNJ dan Penerima Doktor Kehormatan dari Hartford International University (HIU) dalam Bidang HAM dan Perdamaian Internasional (2008)