
Jakarta, detikborneo.com — Sekretaris Umum Sinode Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI), Dr. Nikodemus Sabudin, M.Th, mengecam keras tindakan intoleran yang terjadi terhadap jemaat GKSI di Kota Padang, Sumatera Barat.
Ia mendesak pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan aparat Polri untuk segera bertindak cepat dan tegas terhadap pelaku penyerangan. “Negara tidak boleh kalah oleh tindakan intoleransi. Kami minta pelaku diusut dan diproses sesuai hukum yang berlaku. Ini bukan sekadar pembubaran, tapi sudah masuk ke ranah kekerasan terhadap kebebasan beragama,” tegas Nikodemus kepada detikborneo.com, Senin (28/7/2025).

Insiden Penyerangan Rumah Doa GKSI Anugerah Padang
Insiden intoleransi terjadi pada Minggu (27/7/2025) pukul 16.00 WIB di rumah doa milik jemaat GKSI Anugerah Padang, yang terletak di RT 03 RW 09, Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Ketika itu, sekitar 30 anak-anak sedang mengikuti kelas pendidikan agama Kristen, sementara para jemaat dewasa sedang beribadah.
Pendeta F. Dachi, gembala jemaat GKSI Anugerah Padang, mengungkapkan bahwa sekelompok warga yang tergabung dalam lingkungan RT dan RW setempat mendatangi lokasi dan secara tiba-tiba membubarkan kegiatan tersebut.
“Ketua RT dan RW awalnya memanggil saya ke belakang rumah. Tiba-tiba massa berteriak ‘bubarkan, bubarkan!’ lalu mulai melempari rumah. Kaca pecah, peralatan dihancurkan, listrik diputus,” ujar Dachi.

Bukan Gereja, Tapi Rumah Doa untuk Pendidikan Agama
Pendeta Dachi menegaskan bahwa bangunan tersebut bukan gereja, melainkan rumah sewaan yang difungsikan sebagai tempat pendidikan agama bagi anak-anak jemaat yang kesulitan mengakses gereja di pusat kota.
“Selama tiga tahun ini kami berpindah-pindah dari rumah ke rumah. Baru tiga bulan terakhir kami menyewa rumah ini sebagai tempat belajar. Anak-anak butuh nilai agama, dan kami hanya membantu,” tambahnya.
GKSI Padang Sarai memiliki sekitar 21 kepala keluarga dengan total jemaat bisa mencapai 100 orang. Dachi juga menyebut bahwa massa penyerang telah mengadakan rapat bersama tokoh RT dan RW pada malam sebelum kejadian. Mereka menuduh rumah doa itu sebagai gereja ilegal, meskipun secara legalitas telah didaftarkan atas nama pribadi sebagai bangunan sosial.

Kerusakan dan Trauma
Berdasarkan dokumentasi yang diterima detikborneo.com dari jaringan lokal Sumbarkita, tampak kondisi rumah doa rusak parah: jendela pecah, kursi dan meja hancur, pagar terbongkar. Anak-anak dan jemaat mengalami trauma mendalam.
“Kalau tempat ini menjual miras atau narkoba, silakan dibubarkan. Tapi ini rumah doa. Anak-anak ketakutan, bahkan beberapa jemaat diintimidasi dan diminta angkat kaki dari lingkungan,” tutur Dachi.
Respons Kepolisian dan Ancaman Jalur Hukum
Kapolsek Koto Tangah, Kompol Afrino, membenarkan insiden tersebut dan menyatakan bahwa pihaknya masih melakukan pendalaman.
Pendeta Dachi menyatakan pihaknya sedang mempertimbangkan langkah hukum ke Polrestabes atau Polda Sumbar jika tidak ada penyelesaian secara damai. Ia menuntut adanya perlindungan atas hak beribadah sebagaimana dijamin konstitusi.
“Kami hanya ingin anak-anak bisa belajar dan beribadah dengan aman. Negara harus hadir untuk rakyat kecil yang sedang berdoa, bukan malah membiarkan,” pungkasnya.
detikborneo.com masih menunggu tanggapan resmi dari pihak Pemerintah Kota Padang, Kepolisian Daerah Sumatera Barat, dan Kementerian Agama Republik Indonesia atas insiden ini. (Bajare007).