| Penulis: Jonison
Sekolah Dasar Negeri 27 Deme merupakan Sekolah yang terletak di ujung di jalur Sungai Jengonoi (anak Sungai Ambalau) tepatnya di Desa Deme Kec. Ambalau, Kab. Sintang, Kalbar.
Dari ibu kota kecamatan membutuhkan waktu dua hari perjalanan melintasi sungai. Bukan perjalanan yang mudah sebab arus deras dan riam besar menjadi tantangan. Alat transportasi yang digunakan adalah perahu yang terbuat dari bahan kayu dan bermesin (orang dayak Uud Danum menyebutnya cis) atau perahu kayu dengan mesin tempel (speed 15 pk).
Perjalanan menggunakan perahu hanya sampai perbatasan antara Desa Ukai dengan desa Menantak. Kemudian dilanjutkan melalui jalan darat (jalan kaki melewati jalan setapak dengan sebagian sudah ada jerambah dan jalan eks perusahaan kayu) menuju desa Menantak.
Gedung SDN 27 Deme saat ini
Dari desa Menantak ke Dusun Posuk dapat menggunakan perahu mesin (Cis) dengan spid 15 pk dengan catatan keadaan air ngenak (memadai) itupun hanya sampai di “Ponohkak” Kiham Liang, selanjutnya kembali berjalan kaki menelusuri hutan menuju Dusun Posuk kemudian dilanjutkan kembali menggunakan mesin cis sampai desa Deme.
Hari itu adalah Selasa, 14 Desember 2021, merupakan hari kedua kunjungan dinas saya selaku Pengawas Sekolah Dasar melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Penilaian Akhir Semester 1 Tahun Pelajaran 2021/2022 ke SDN 27 Deme.
Sambil menunggu waktu jemputan, saya bersama Pak H. Pelik, S.Pd. Kepala SDN 10 Menantak yang memang sengaja saya ajak untuk menemani perjalan dinas saya kali ini, menyempatkan diri berkunjung ke salah satu rumah tokoh/sesepuh masyarakat di desa tersebut.
Rumah yang kami tuju adalah rumah Pak F. Acun. Beliau adalah Ketua Komite Sekolah, di desa beliau menjabat sebagai Temenggung Adat Desa Deme, kebetulan juga di sana telah hadir Pak Sahari juga seorang tokoh masyarakat.
Sudah merupakan adat kebiasaan masyarakat suku Dayak Uud Danum jika ada tamu selalu disuguhkan dengan secangkir kopi dan tidak lupa sajian “kosalah sihpak” (pinang sirih).
Setelah berbincang-bincang menanyakan keadaan dan kegiatan sehari-hari beliau, saya pun mulai mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan kami.
“Kedatangan saya bersama teman sengaja untuk ingin mendengar lebih jauh sekelumit cerita tentang SDN 27 Deme,” demikian saya memulai pembicaraan.
Mulailah pak Acun dan Pak Sahari bercerita secara bergiliran diselingi beberapa pertanyaan untuk mempertegas cerita mereka.
Wawancara dgn Pak F. Acun dan Pak Sahari tokoh masyarakat Deme
“Kami para tetua di desa ini selalu berharap dari dulu sampai sekarang pendidikan anak cucu kami adalah yang nomor satu, maka berbagai cara yg kami upayakan agar mereka bisa mengenyam pendidikan sebagaimana anak-anak di tempat lain,” kata Pak F. Acun membuka kisah.
“Waktu itu tahun 1974, SDN 27 Deme masih bernama Sekolah Swadaya Masyarakat. Terdiri dari 3 kelas dengan jumlah murid berkisar dua puluhan orang, pembelajaran dilakukan di rumah penduduk milik Pak Atang seorang Kepala Kampung setempat. Tenaga guru diambil dari penduduk setempat yang bernama Pak Najang dan Pak Suban. Pembelajaran dilakukan pada pagi hari dengan sangat sederhana yaitu duduk melantai beralaskan kacang laap (tikar pandan).”
“Kepala Kampung bersama orang tua murid bersepakat untuk membayar honor guru dengan padi. Dengan rincian setiap anak membayar 3 gantang padi untuk setiap purnama (bulan).”
“Untuk keluarga yang anaknya lebih dari satu dan sama-sama sekolah di sekolah swadaya tersebut diberikan keringanan. Anak pertama membayar 3 gantang padi, anak kedua membayar 2 gantang dan anak ketiga membayar dengan 1 gantang padi. Gantang adalah satuan yang digunakan untuk padi atau beras. Satu gantang beratnya kurang lebih 2,5 sampai 3 kilogram. Ketika itu 1 kg padi dinilai dengan uang kurang lebih rp.250,-“
“Tahun 1980 anak-anak pindah tempat belajar menempati balai desa (hanya istilah) karena waktu itu masih status kampung.”
“Tahun 1984 Sekolah Swadaya Masyarakat Deme mulai diakui sebagai sekolah filial (sebutan untuk Kelas Jauh) dari SDN 10 Menantak. Tenaga honorernya adalah Pak Suprapto dan Pak Herman Likak, besaran dan sistem honor masih sama seperti saat pak Najang dan Pak Suban mengajar. Untuk memastikan pembelajaran berjalan sesuai kurikulum yang berlaku, maka guru honorer dibantu oleh beberapa guru berstatus Pegawai Negeri dari SD induk. Guru pegawai negeri ditugaskan secara bergiliran membantu untuk mendampingi guru honorer mengajar di Deme selama seminggu per setiap orang dengan tambahan upah lelah boleh berupa padi atau beras bahkan ditukar dengan hewan ternak seperti ayam, babi, sayuran bahkan dibolehkan juga dengan membantu mengerjakan kebun atau ladang. Dengan perhitungan yang tepat oleh Kepala Kampung sebagai koordinator tanpa merugikan guru dan anak didik.”
“Tahun 1995 Pak Dimanus Darto berstatus PNS diangkat sebagai Kepala SD Kelas Jauh Deme.”
“Pada tahun tersebut Kelas Jauh Deme mendapat bantuan pembangunan ruang kelas dari PT Alas Kusuma sebanyak 3 lokal didirikan di atas tanah hibah milik Pak Pandung.”
“Tahun 1996, sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih telah berdirinya ruang kelas, maka Kepala Dusun dan masyarakat Deme mengundang Camat Ambalau untuk meresmikan ruang kelas tersebut. Camat Ambalau pada saat itu dijabat oleh Pak Toroh, dihadiri oleh Kapolsek, anggota Danramil, Penilik Sekolah Pak Iman Wijaya dan Manajer PT Alas Kusuma, rombongan berangkat ke Deme melalui jalan perusahaan dari Tontang.
Rombongan diterima dengan adat tradisi hopong.”
“Untuk keperluan acara tersebut, disediakan hewan kurban berupa 1 ekor sapi, 1 ekor babi +50 kg, dan tidak lupa boram (tuak) disuguhkan kepada tamu undangan dan masyarakat yang hadir. Acara berlangsung dengan tertib dan lancar.”
“Tahun 2010 atas permintaan gubernur Bapak Cornelis ketika berkunjung ke air terjun Nokan Lonanyan, dibangun 1 unit ruang kelas lagi, dan disekat menjadi 6 ruang belajar, lokal lama dibongkar karena kurang layak untuk tempat belajar dan bahan yang masih bisa dipakai digunakan untuk bahan rumah tempat tinggal guru.”
“Tahun 2010 dibangun satu unit (2 lokal) ruang kelas dan tahun 2014 dibangun lagi satu unit rumah dinas dari aspirasi anggota dewan pak Sandan,” Lanjut Pak Sahari.
“Tahun 1997 Pak Herman likak diangkat sebagai kepala sekolah menggantikan pak Dimanus Darto yang meninggal dunia, uang honor dibantu oleh perusahaan Alas Kusuma sebesar rp. 75.000 ditambah uang rp. 500 dari DP3 (sekarang Komite Sekolah).”
“Uang DP3 bisa dibayar dengan ayam, babi dan ikan bahkan bisa juga dengan “begajih” dengan guru sepulang sekolah.”
“Semenjak ada dana bos maka gaji dibayar dengan dana bos, dari PT. naik menjadi rp. 150.000. Guru honor bertambah ada ibu Herlina, Pak Siram (2009), bu Suruti, Pak Panji (GKD 2008).”
“Tahun 2014 sekolah ini dinegerikan dengan kepala sekolah Pak Tumidi.”
“Tahun 2014 ada penambahan guru berstatus PNS yaitu Pak Antonius. Pak Herman Likak pun sudah berstatus PNS. Mereka lolos melalui jalur Kategori Dua (K2).”
“Tahun 2016 Pak Tumidi purna tugas maka diangkat Pak Antonius sebagai Pelaksana Tugas (Plt) kepala sekolah.”
“Seiring dengan bertambahnya jumlah murid maka beberapa Guru Tidak Tetap (GTT) diangkat seperti ibu Anastasia, ibu Dewi Sartika, ibu Margareta dan ibu Riri.”
“Tahun 2018 ada lagi penambahan guru kontrak daerah yaitu Pak Yulianus Rambang.”
“Tahun 2020 sekolah ini mendapat tambahan guru CPNS yaitu ibu Tri Ananda dan guru PNS pindahan dari sekolah lain yaitu ibu Sasalia Sarmili, serta Pak Y. Rambang pun berubah status dari guru kontrak daerah menjadi guru P3K.”
“Tahun 2021 diangkat Plt kepala sekolah Pak Sumardiyono Dalmasius menggantikan pak Antonius.”
“Sampai saat ini SDN 27 Deme memiliki 3 guru PNS, 1 orang guru CPNS, 1 orang guru P3K, 1 orang berstatus guru kontrak daerah dan 4 orang guru honorer. Jumlah murid berkisar lima puluhan orang. Sarana prasarana sekolah terdiri dari ruang belajar 6 lokal, tetapi 1 lokal digunakan sebagai kantor sekolah sekaligus sebagai ruang baca (perpustakaan), sehingga murid kelas 1 dan 2 digabung dalam satu kelas. dua buah rumah guru (1 bangunan swadaya dan 1 bangunan aspirasi dewan), serta 1 unit Bangunan Sanitasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Sintang yang dibangun tahun 2020. Sekolah ini juga memiliki lapangan bola volley hasil kerja sama dengan Pemerintah Desa.”
“Namun Karena keterbatasan rumah dinas guru, maka Kepala Sekolah bersama komite sekolah, tokoh masyarakat dan pemerintah desa terpaksa menempatkan beberapa guru tinggal di bangunan pemerintah desa bahkan ada juga guru yang tinggal di ruang sanitasi (WC sekolah) yang sudah disekat atau dimodifikasi agar layak dijadikan tempat tinggal.”
“Apapun akan kami lakukan, yang penting guru memiliki tempat beristirahat tanpa harus menumpang di rumah penduduk,” kata pak Sumardiyono.
“Kami sangat bersyukur sekolah ini sudah berstatus negeri, guru sudah ada, murid memadai dan tanah sekolah siap, kami memohon pihak pemerintah menyediakan rumah dinas guru yang layak sehingga tidak ada guru yang tinggal di WC lagi, kami minta kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Sintang dan instansi yang berwenang demikian Pak Acun berkomentar di forum pertemuan desa ketika acara serah terima jabatan plt Kepala Sekolah dan kepala Desa yang baru.”
“Sekolah ini semenjak bernama sekolah swadaya masyarakat, meskipun terletak di pelosok kampung sudah berkontribusi mengangkat harkat martabat dan nama desa Deme. Alumni sudah tersebar dimana-mana, seperti ke Kecamatan Serawai, Nanga Pinoh, Sintang bahkan ada yang ke Kalteng. Dengan berbagai jenis pekerjaan yang berbeda-beda pula seperti berdagang, wiraswasta, guru, perangkat desa dan lain sebagainya, hanya saja kita tidak memiliki data akurat terkait alumni,” kata Pak Acun menutup ceritanya.
Narasumber: Fransiskus Acun dan Sahari tokoh/sesepuh masyarakat setempat.
***