Jakarta, detikborneo.com – Dunia internasional kembali dikejutkan oleh langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang memilih mengecualikan Rusia dari kebijakan tarif impor sebesar 10 persen yang diberlakukan terhadap berbagai negara, termasuk Ukraina. Kebijakan ini dinilai bukan sekadar keputusan ekonomi, melainkan sinyal politik yang jelas: Trump memilih merangkul Moskwa ketimbang membela sekutu tradisional AS.
Ironisnya, Ukraina—negara yang tengah berjuang mempertahankan kedaulatannya dari invasi Rusia—justru menjadi korban tarif. Keputusan itu dinilai menambah luka bagi Ukraina yang hingga kini belum mendapat dukungan nyata dari AS di bawah Trump untuk mempercepat proses perdamaian.
Pertemuan Diam-Diam di Washington
Kebijakan kontroversial ini muncul bersamaan dengan kunjungan Kirill Dmitriev, sosok dekat Vladimir Putin dan kepala Dana Investasi Rusia, ke Washington. Pertemuan tersebut berlangsung atas undangan Steve Witkoff, pengusaha real estat yang dikenal sebagai loyalis Trump. Kedekatan mereka menimbulkan dugaan bahwa kebijakan perdagangan AS kini tengah dijadikan alat tawar-menawar politik dan bisnis antara elit dua negara.
“Ini bukan lagi soal tarif atau perdagangan. Ini adalah permainan geopolitik yang mengorbankan prinsip dan sekutu,” ujar seorang diplomat Eropa yang enggan disebutkan namanya.

Dari Retorika ke Realita
Meski di permukaan Trump sempat mengecam Putin atas ketidakjelasan gencatan senjata di Laut Hitam, kenyataannya, hampir semua langkah kebijakannya dalam beberapa bulan terakhir justru menguntungkan Rusia. Usulan untuk membiarkan 20 persen wilayah Ukraina tetap berada di bawah kendali Moskwa dinilai sebagai bentuk legitimasi terhadap agresi.
“Trump sedang memainkan dua wajah. Di satu sisi mengkritik, di sisi lain memberi Rusia karpet merah,” ungkap seorang analis geopolitik di Washington.
Sekutu AS Terpinggirkan
Keputusan ini semakin memperdalam keretakan hubungan AS dengan negara-negara sekutu, terutama di Eropa. Beberapa pemimpin Uni Eropa dikabarkan mulai mempertimbangkan ulang posisi mereka terhadap aliansi keamanan trans-Atlantik jika AS di bawah Trump terus menunjukkan keberpihakan pada otoritarianisme Rusia.
Hingga saat ini, Gedung Putih belum memberikan penjelasan resmi terkait pengecualian Rusia dari daftar negara terdampak tarif. Namun bagi banyak pengamat, diamnya Washington justru menjadi bukti kuat bahwa hubungan Trump dan Putin tengah memasuki babak baru—yang lebih akrab dan penuh kepentingan. (Sumber: Web Warouw/Bajare007)