Padi diambil diam-diam oleh nek baruankg.
Di suatu desa yang memiliki kebiasaan ngayo. Ada seorang “NEK JAEK” yang tinggal di sana. Yang telah beristri yang bernama “NEK INANG-INANG” dan memiliki 2 orang anak.
Suatu hari,, “NEK JAEK” pergi untuk “NGAYO” (mencari kepala manusia). Saat itu setangkai padi di gunung bawang milik jubata di curi seekor pipit. “NEK JAEK” yang tengah lewat melihat burung membawa setangkai padi yang di kira rumput, tapi di tak pernah melihat rumput itu. Dia pun mengejar burung itu, hingga burung itu menjatuhkan padi itu di bebatuan. Seekor tikus pun mengambilnya. Namun dia tetap mengejarnya, diasapi lubang tempat kediaman tikus tersebut. Setelah tikus itu keluar. Dia pun menyumpitnya hingga mati dan di ambilnya padi tersebut.
“NEK JAEK” pulang hanya membawa padi yang orang-orang mengira itu hanyalah rumput. Dia ditertawakan dan diolok-olokkan karena datang tanpa membawa kepala. Istrinya pun marah.
“NEK JAEK” ingin membudidayakan rumput itu di bumi. Warga pun marah dan mengusir “NEK JAEK” tersebut dari kampung halamannya.
“NEK JAEK” pergi dengan membawa setangkai rumput miliknya. Dia termenung sambil berjalan ke arah pohon ara. Di sana ada seorang dayang kayangan yang selendangnya tersangkut di atas pohon. Dayang tersebut menangis karna dia tak dapat terbang tuk kembali kekayangan.
“NEK JAEK” pun menghampirinya dan membantunya mengambil selendang itu. Dayang kayangan tersebut pun berterimakasih dan bertanya dari mana dia mendapatkan padi yang dikiranya rumput itu. dia pun menceritakan semuanya, hingga saat ini dia diusir dan bertemu dengan dayang.
Sebagai tanda terimakasih, dayang tersebut membawanya ke kayangan dan dayang tersebut menikah dengan NEK JAEK.
Dari hasil pernikahan ini mereka mendapatkan seorang anak yang bernama “BARUAKNG”.
Di kayangan “NEK JAEK” dan anaknya makan beras yang dimasak menjadi nasi. Sedangkan anak “NEK JAEK” yang di bumi makan kulat (jamur).
Anak “NEK JAEK” yang dengan istri talino (MANUSIA) sering main gasing bersama anak “NEK JAEK” yang dengan dayang kayangan. Setiap hari mereka membawa bekal dan makan saat istirahat.
Anak “NEK JAEK” dengan talino bingung melihat baruakng makan nasi yang putih seperti ulat. Anak-anak “NEK JAEK” bertanya mengapa Baruakng makan ulat?
Baruakng memberitahu bahwa itu bukanlah ulat, melainkan nasi. anak-anak “NEK JAEK” dengan talino penasaran dan mencoba. “ternyata enak ya, apa lagi di campur dengan kulat (jamur) kami” kata anak-anak “NEK JAEK” dengan talino. baruakng kasihan melihat saudaranya yang di bumi. Dibagikannya bekalnya kepada ana-anak bumi. Anak-anak “NEK JAEK” yang di bumi membawa bekal itu ke warga talino dan mereka suka. Mereka menyuruh anak-anak “NEK INANG-INANG” meminta bibit itu dengan Baruakng.
Baruakng saat itu masih berumur 7 tahun dan belum sunat. Saat umur 8 tahun nanti dia akan bersunat. Karna takut dimarahkan ayahnya dia menyembunyikan biji padi itu di kulit kemaluannya yang belum disunat.
Baruakng memberikan bibit itu dengan syarat, jangan kalian menanam padi tersebut di depan rumah tetapi di belakang rumah. Agar ayahku tidak melihat kilapan biji padi itu menguning seperti emas saat matahari terbit. Mereka pun setuju.
Setahun berlalu, saat beberapa hari sebelum Baruakng akan bersunat. Ada salah satu rumah talino roboh. Dan di situ saat mentari mulai bersinar. cahaya keemasan dari padi itu terpancar ke kayangan. “NEK JAEK” pun marah, karna kesal dan tempramen keturunan talino tinggi di berniat membunuh anaknya si Baruakng.
“NEK JAEK” memasang pate (ranjau babi), “NEK JAEK” memberitahukan pada istrinya bahwa dia telah menyiapkan babi untuk acara sunat anaknya.
Istrinya menyuruh anaknya Baruakng mengambil babi itu ke bumi. Saat Baruakng itu turun lewat jalan mentari. Ranjau babi itu menusuk perutnya dan mati di bumi.
Saat itulah semua talino di bumi menyebutnya “Ne Baruankng Kulup”. Ne atau Ene’ adalah sebutan penghormatan tradisi Dayak Kanayatn bagi orang yang sudah tau atau yang berjasa.
NE’ BARUAKNG KULUPLAH keturunan dayang kayangan dan pria talino NEK JAEK yang membawa beras ke bumi. Hingga sekarang talino dibumi dapat makan nasi berkat dari jasa “Ne Baruankng Kulup”.
Sampai saat ini tradisi di Masyarakat Dayak Kanayatn memperingati akan jasa Ne’ Baruakng Kulup setiap Tahun Acara Pesta Adat Naik Dango.
Dalam acara pesta Adat Naik Dango itu adalah ucapan syukur atas hasil panen yang telah diberikan Jubata (Tuhan).
Hasil panen padi yang banyak ini supaya bisa bertahan lama disimpan di tempat pondok khusus (Dango) atau Lumbung Padi. Dango ukurannya 2m x 3m, model panggung tinggi dari tanah 1,5 M- 2m tinggi Bangunan 3m-5m, biasa dibikin di depan rumah atau di belakang rumah.
Zaman dulu kebiasaan orang Dayak hanya sekali berladang, hasil panen yang disimpan di Dango atau Lumbung Padi atau biasa juga disebut Langko. Padi ini biasanya cukup untuk satu keluarga memakannya sampai saat panen berikut tiba lagi. Jika ada lebih biasanya dipinjamkan ke keluarga yang hasil panennya kurang maksimal.
Dalam tradisi Dayak zaman dahulu tidak boleh sembarang orang yang mengambil padi didalam Dango karena dianggap akan mengurangi rezeki sehingga yang boleh mengambil adalah hanya keluarga inti dan bagi wanita yang datang bulan biasanya juga dilarang untuk mengambil padi di Dango, kecuali hanya boleh menumbuk padi dilasukng (lesung) yang terbuat dari kayu buliatn yang sudah bertahan turun temurun.
Kebiasaan pada acara Pesta Naik Dango biasanya diadakan pertandingan Pangka’ Gasikng artis pertandingan Gasing bagi anak-anak remaja dan dewasa. Selain itu, lomba sumpit, lomba tarian dan saat ini makin banyak jenis-jenis yang diperlombakan. (Bajare007)
Sumber cerita: Cerita Rakyat Dayak Kanayatn.