| Penulis: Nathanael H.S
Manusia dalam perjalanannya di dunia, generasi ke generasi berikut selalu mengalami perubahan. Perubahan terjadi karena berbagai masalah manusia dan alam.
Manusia mengalami penderitaan karena perang, bencana alam, penyakit, ketidakadilan, dan masih banyak lagi lainnya.
Setiap kali peristiwa terjadi dan mengakibatkan orang mempertanyakan penyebabnya. Orang yang percaya kepada Allah akan mempertanyakan keberadaan dan tanggung jawab-Nya.
Orang Kristen pun melakukan hal yang sama. Mereka menggumuli setiap keadaan dengan mempertanyakan keyakinannya sendiri terhadap Allah. Sejak setahun setengah lalu, seluruh dunia menderita karena Covid 19 dan dampaknya.
Bagaimana umat Allah menghadapi pergumulan ini? Ada yang bertanya, apakah Allah masih peduli? Ada pula apa yang harus kubuat dalam menjalani iman saya?
Allah sudah menjawab melalui firman-Nya, “Aku menyertaimu.” Yang diharapkan dari Allah kepada umat adalah tetap percaya bahwa Dia menyertainya dan mereka terus bertekun berjalan bersama Dia. Kedua hal itu menunjukan iman dan praktik hidup seorang Kristen.
Bertekun dapat digambarkan dengan orang yang membawa barang yang sangat berat sehingga dia tidak bisa berdiri tegak, tetapi dengan jongkok dan tertatih dia terus berjalan.
Beban berat kini kita alami. Tetapi sesungguhnya dalam perjalanan manusia, beban penderitaan telah dialaminya silih berganti sepanjang sejarah. Penderitaan itu mungkin berasal dari kesalahan (dosa) manusia sendiri, dari alam (dunia), atau mungkin dari Iblis.
Sebab Allah tidak membuat manusia menderita supaya mereka mengakui keberadaan dan kedaulatan-Nya dengan menawarkan kelepasan. Tetapi pengakuan keberadaan dan kedaulatan-Nya terjadi melalui pengenalan yang benar terhadap diri-Nya.
Kisah dalam Kitab Ayub cukup relevan dalam kasus penderitaan untuk menjelaskan keberadaan Allah. Untuk itu, marilah bersama saya menelusuri kisah Ayub.
Menurut Kitab Ayub, kita dapat melihat pandangan yang benar tentang Allah. Pandangan Iblis mengatakan bahwa Allah adalah “penyogok” agar manusia menyembah-Nya.
Kata Iblis kepada Allah, “Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?” (Ay. 1:9). Allah menolak pandangan ini dengan mengijinkan Iblis untuk melakukan sesuatu yang membuat Ayub menderita. Akibatnya, kita tahu bahwa penderitaan Ayub melebihi kesengsaraan orang pada umumnya. Penderitaan hebat secara fisik dan batin sekaligus.
Dalam penderitaan Ayub ini, berbagai konsep tentang Allah diskusikan oleh para sahabatnya seperti Elifas, Bildad, dan Elihu. Mereka mencari sebab kenapa Ayub menderita. Pada umumnya mereka berpikir Ayub penuh dosa, maka Allah murka dan karena itu ia hancur.
Jawaban Ayub sama: Aku hidup saleh. Di sini terdapat misteri penderitaan orang saleh yang belum terjawab. Hanya Ayub sendiri menemukan jawabannya, katanya, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau (asumsi theologis), tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau (kepercayaan dan pengenalan pribadi)” (Ay. 42:5, dalam kurung oleh penulis). Artinya, Ayub tetap berpusat pada keberadaan, kedaulatan, dan kuasa Allah yang benar dalam menghadapi permasalahan hidupnya.
Pandangan tentang Allah, keberadaan, kedaulatan-Nya menjadikannya bertekun dan menjadi alasan baginya untuk setia menyembah Dia. Kitab Perjanjian Baru mengajarkan hal yang sama. Ketika Yesus selesai berpuasa Dia dicobai Iblis. Salah satu pencobaan ini adalah berkaitan dengan keberadaan dan kedaulatan Allah.
Rasul Matius menulis, “Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dan berkata kepada-Nya: ‘Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.” Maka berkatalah Yesus kepadanya: “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat. 4:8-10).
Konsep yang sama dalam kisah Ayub tentang alasan menyembah, menurut Iblis, adalah berkat duniawi. Tetapi, menurut Yesus itu tidak benar. Menyembah Allah bukan karena “disogok” dengan kekuasaan dan kemewahan hidup atau kesuksesan. Tetapi Allah harus disembah berdasarkan keberadaan-Nya dan kedaulatan-Nya.
Allah sendiri menyatakan kepada kita bahwa Dia berserta kita, Imanuel! Jadi, dimanakah Allah sekarang? Dia Mahahadir, Imanuel, berserta kita! Dia ada dan nyata, di dalam Kristus.
Setidaknya ada tiga hal yang akan menjadikan orang Kristen termotivasi untuk terus bertekun berdasarkan kehadiran Allah itu.
Pertama, orang Kristen termotivasi untuk tidak berbuat dosa dalam situasi apa pun. Perenungan terhadap kisah Yusuf menerangi kebenaran ini (Kej. 39). Dalam kisah ini, Yusuf mengalami penderitaan berat. Ia kesepian di dalam sumur karena ulah saudara-saudara yang telah memasukkannya ke sana. Ia kelelahan, kesakitan, dan kehinaan ketika harus berjalan kaki dari tanah Kanaan menuju Mesir.
Dia telah terjual sebagai budak. Namun, ketika ia menjadi orang sukses di rumah Potifar, ia tidak mau berbuat dosa. Mengapa? Karena kesuksesannya atas penyertaan Allah. Maka, suatu kali ketika dia diajak selingkuh oleh istri Potifar, ia berkata: “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kej. 39:9).
Yusuf telah menunjukkan kebenaran “Imanuel” itu. Jadi, kesadaran akan Allah-Imanuel-membuatnya terhibur dan sukses tetapi juga memotivasi dia untuk hidup benar dan baik dimana pun ia berada.
Kedua, orang Kristen termotivasi bahwa Allah tetap menyertainya dalam segala situasi. Kisah Sadrakh, Mesakh dan Abednego (Dan. 3) merupakan contoh ketekunan manusia dalam segala situasi. Keyakinan mereka tidak berubah dalam keadaan baik atau buruk.
Suatu ketika mereka tidak mau menyembah patung raja. Raja menghukum mereka karena pelanggaran tersebut. Tetapi mereka menanggapi kemarahan raja Nabukadnezar demikian, “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja!” (Dan. 3:17).
Atas jawaban itu raja semakin murka dan memerintahkan agar tiga orang itu dimasukan ke dalam perapian yang berkobar. Lalu apa yang terjadi? Raja Nebukadnezar terkejut dan berkata, “Bukankah tiga orang yang telah kita campakkan dengan terikat ke dalam api itu?”
Jawab pegawai kepada raja: “Benar, ya raja!” Kata raja kepada mereka: “Tetapi ada empat orang kulihat berjalan-jalan dengan bebas di tengah-tengah api itu; mereka tidak terluka, dan yang keempat itu rupanya seperti anak dewa!” (Dan 3:24-25).
Kata “anak dewa” (Bahasa Aram: le bar ‘elahin, “anak allah”). Istilah le bar ‘elahin, “anak allah” itu kemudian dipahami oleh Nebukadnezar dengan istilah malaikat-Nya (Bahasa Ibrani: mal’akeh).
Nebukadnezar berkata: “Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego! Ia telah mengutus malaikat-Nya dan melepaskan hamba-hamba-Nya, yang telah menaruh percaya kepada-Nya, … “(Dan. 3:28).
Para penafsir sepakat bahwa pribadi keempat tersebut merupakan penampakan Allah dalam bentuk manusia (theofani), yakni Kristus, sang Imanuel dalam Perjanjian Lama. Di sini kita belajar bahwa justru dalam kesukaranlah penyertaaan Allah itu nyata.
Ketiga, orang Kristen termotivasi untuk mampu melakukan hal-hal yang mustahil. Injil Matius bukan saja dibuka dengan kisah kelahiran Yesus yang disebut Imanuel (Mat. 1:23), tetapi juga ditutup dengan perkataan Yesus sendiri yang berbunyi, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat. 28:20).
Hal itu mempertegas bahwa keberadaan Allah yang hadir itu nyata. Dalam konteks ini karena Allah ingin umat-Nya melakukan perkara yang mustahil. Hal itu tercermin dari perintah-Nya agar menjadi semua bangsa murid-Nya (Mat. 28:19).
Untuk melakukan pelayanan (pekerjaan) dalam lingkup seluruh dunia itu mustahil baik pada masa itu maupun sekarang. Namun, Yesus Kristus menyatakan diri-Nya “Imanuel” sampai akhir zaman. Yang mustahil bagi manusia, bagi Allah tidak ada yang mustahil.
Refleksi iman kepada Allah yang menyertai akan memampukan anak-anak Tuhan menghadapi situasi apa pun. Pengenalan akan Allah yang benar akan membawa orang menuju persekutuan sejati dalam hidupnya.
Ia tidak akan gelisah bila tidak menjalankan ritual agama. Sebab para penyembah ilah-ilah yang selalu menganggap kesengsaraan adalah akibat kesalahan manusia yang tidak melakukan ritual yang benar kepada ilahnya.
Mereka lalu berusaha meredakan murkanya ilah-ilahnya dengan ritual tertentu. Tetapi bila kita memiliki pandangan kita tentang Allah dan kebenarannya, maka kita dapat menghadapi perubahan apa pun.
Sumber gambar: http://2.bp.blogspot.com/-utxURKzTxjo/UMan_mqonHI/AAAAAAAAA8Q/I0MWBz38YA8/s320/index.jpeg
***
Bionarasi
Nathanael Herus Susanto, dilahirkan di Salatiga pada 19 Agustus 1961. Pengajar mata kuliah bahasa Yunani dan Ibrani.
Telah menulis dan menerbitkan buku: Bahasa Ibrani Bagi Pemula Untuk Mempelajari Tenakh (2021).