| Penulis: Masri Sareb Putra
Cornelis tidak surut peran sebagai leader. Setelah tidak lagi sebagai pemimpin formal. Ia contoh-hidup yang patut diteladan. Tanggal, bulan, tahun sama hari ini (27 Juli 1953) 68 tahun silam. Sang “kaisar” lahir untuk jadi pemimpin di masanya.
Selama sepuluh tahun menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis menerima 108 penghargaan dalam berbagai bidang. Penghargaan tersebut merupakan bukti nyata prestasi yang telah ditorehkan dalam membangun Kalimantan Barat.
Kiranya, penghargaan itu sebentuk pengakuan yang kasat mata. Selebihnya, banyak yang tidak tampak. Yaitu daya dobraknya yang luar biasa. Yakni membangun spirit Dayak sebagai suku bangsa yang tangguh. Yang disegani. Sekaligus, diperhitungkan dunia. Cornelis sendiri adalah simbol kekuatan. Ia representasi. Sekaligus prototipe Dayak. Karena itu, orang Dayak merasa terwakili oleh sosoknya.
Pintu gerbang pagar terkuak. Sebuah mobil land cruiser warna biru abu-abu perlahan masuk. Luas pekarangannya. Pada bagian pemandangan depan, seluruhnya hijau. Tumbuh aneka bunga, rumput taman, dan pepohonan. Ada tertulis “Taman Bukit Cornelis”.
Dengan mobil itulah, Cornelis baru saja kembali dari lahan sawah miliknya. Terletak di Takiung, Desa Sidas, Kecamatan Sengah Temila, Kab. Landak.
Sebenarnya, bisa saja dirinya ongkang-ongkang kaki di rumah. Atau mengawasi saja dari kejauhan seluruh rangkaian pertanian, kultivasi padi itu. Serahkan saja kepada karyawan. Namun, sebagai orang Dayak, Cornelis merasa tidak puas jika tidak langsung terjun ke lapangan. Ada kenikmatan dan sensasi sendiri.
“Saya ini pernah manas,” katanya. “Dalam suatu kesempatan gawai, Naik Dango, saya berkata: Barangsiapa yang tidak bersawah-ladang, tidak pantas ikut Naik Dango!” (manas dalam bahasa Kanayatn adalah gregetan, sedikit marah, berbicara keras).
Menurutnya, berladang dan bercocok tanam padi adalah budaya Dayak. Jika orang Dayak tidak menanam padi, hilang pulalah identitasnya.
Lagi pula, “Orang Dayak terkenal dengan budaya ketahanan pangannya. Lumbung atau dango adalah simbol dari budaya menabung. Orang Dayak harus memelihara adat dan tradisi budaya baik itu. Kita adalah suku bangsa yang besar,” papar Gubernur Kalimantan Barat (2008–2018).
Setelah tidak lagi sebagai pemimpin formal, Cornelis tidak surut peran sebagai leader.
Itu kekeliruan. Atau tepatnya, ambisi banyak orang. Sedemikian rupa, sehingga membuat mereka banyak terjebak ke dalam post power syndrome. Merasa tidak lagi dihar gai dan dihormati jika tidak lagi menjabat atau menduduki kekuasaan atau jabatan tertentu. Padahal, sesungguhnya, esensi pemimpin bukan pertama-tama adalah pejabat publik.
Pemimpin, jika membuka Kamus Bahasa Indonesia, adalah seseorang yang mengetuai atau mengepalai suatu kaum dan atau perkumpulan. Ia membawa, membimbing, menuntun, memandu, menunjukkan jalan pada orang lain. Di dalamnya terkandung tugas melatih, mendidik, dan mengajari supaya dapat mengerjakan sendiri.
Demikianlah! Cornelis selalu memerankan fungsinya. Dalam setiap waktu dan kesempatan. Tidak pernah dia merasa lelah. Senantiasa menyemangati dan memberi motivasi serta arahan kepada siapa saja. Terutama masyarakat sekitar dan di mana ia adalah Presiden bagi sekitar 6,7 juta suku bangsa Dayak di seantero dunia.
Pemimpin karisma juga tidak lahir dalam setiap masa. Dalam sejarah, pemimpin karisma ini bisa muncul dalam rentang 50 tahun, seabad, bahkan lebih. Sebagai contoh, Bung Karno (1901–1970). Setelah Proklamator dan Presiden pertama (1945-1967) rasanya kita belum memliki pemimpin seperti ini.
Setelah era Cornelis. Semoga kita tidak krisis pemimpin berkharisma.
Ad multos annos, Pak Karol. Panjang usia. Sehat senantiasa. Tetap berkanjang dalam karya untuk bangsa.
***