| Penulis: Amon Stefanus
Sungguh tidak disangka “Om Micron” bisa singgah di rumah kami. Om ini datang tidak diundang. Ia telah membuat kejutan karena muncul tiba-tiba entah dari mana. Ia bukanlah Om yang ramah yang bisa membuat keluarga bahagia. Kehadirannya sungguh tidak kami kehendaki.
Sejak pandemi melanda Indonesia pada Maret 2020, keluarga kami selalu mematuhi protokol kesehatan. Selalu memakai masker ketika keluar rumah. Tidak lupa mencuci tangan, membawa hand sanitizer dan menjauhi kerumunan.
Setiap pagi, ketika istri saya membeli sayur pada bibi penjual sayur yang setiap hari melewati rumah kami, tak pernah sekalipun ia tidak memakai masker. Sering hanya dia sendiri yang memakai masker, sementara ibu-ibu lain yang ikut berbelanja hampir tidak pernah memakai masker. Sedangkan sang penjual sayur kadang pakai masker, tapi maskernya dilorotkan di dagu. Bahkan ada seorang nenek tetangga kami yang “memuji” istri saya dengan berkata.”Disiplin ya Mak Sadong selalu memakai masker”. Kadang istri saya merasa tidak enak karena merasa lain dari ibu-ibu yang lain.
Anak-anak juga selalu disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan. Setiap pergi ke sekolah atau keluar rumah selalu memakai masker, membawa hand sanitizer dan mencuci tangan.
Suwandang, anak bungsu kami yang sekarang kelas 6 SD setiap bermain dengan teman-temannya di sekitar rumah tidak pernah sekalipun tidak pakai masker. Ia tidak malu pakai masker sendiri, sementara teman-teman lainnya kadang-kadang tidak memakai masker.
Dan saya sendiri sebagai seorang guru tentu harus memberi contoh kepada anak-anak di rumah maupun kepada para siswa di sekolah. Tidak pernah sekalipun saya tidak memakai masker kalau pergi keluar rumah atau ke sekolah. Ketika mengajar, ketika berkomunikasi dengan rekan-rekan sesama guru, masker tidak pernah lepas.
Namun betapapun disiplinnya kami membentengi diri, “Om Micron” nyelonong juga ke rumah kami. Kami tidak bisa mendeteksi datangnya dari arah mana, lewat mana, atau lewat siapa. Ceritanya tentang kedatangan Om yang tidak diundang ini dapat Anda baca sebagai berikut ini.
***
Minggu, 20 Februari 2022 saya bangun pukul 05.00 pagi. Saya membangunkan istri agar menyiapkan sarapan sebelum pergi ke gereja. Tapi ia bilang sakit kepala dan tidak bisa ikut misa. Ketiga anakku pun masih tidur. Kubiarkan mereka semua tidur. Biarlah saya sendiri yang pergi misa. Begitu pikirku.
Saya menduga sang istri terlalu capek karena kemarin dari pagi hingga sore begitu sibuk di kamar jahitnya mempermak beberapa pakaian teman-teman dan tetangga. Ada yang minta memperkecil pakaian yang mereka pesan secara online, ada yang menisik bagian yang bolong dan ada pula yang minta diganti resletingnya.
Saya memanaskan nasi dan memasak air untuk mandi pagi. Sementara itu saya jalan pagi sekitar 200 meter kemudian kembali ke rumah. Setelah mandi, makan pagi dengan ikan goreng sisa malam tadi.
Pukul 07.30 saya berangkat menuju gereja. Pukul 09.15 misa selesai dan saya pergi ke pasar untuk berbelanja. Di pasar membeli ikan pari, telur dan sayur bayam. Tidak lupa membeli pisang karena buah inilah yang paling murah.
Sesampai di rumah, ternyata istri masih berbaring di tempat tidur. Ia bilang tidak bisa masak. Aduh, terpaksa pagi ini harus mengganti peran ibu rumah tangga. Maka saya pun sibuk menggoreng ikan dan menumis bayam. Untunglah Tamiang, anak kedua kami yang sekarang duduk di SMA sudah pandai menggoreng telur. Ia menggoreng telur untuk dia dan kedua adiknya.
Kuantar sarapan pagi untuk istriku ke tempat tidurnya. Setelah sarapan ia minum paracetamol. Karena mengeluh sakit tenggorokan maka ia juga minum obat batuk. Penampilannya sedikit lucu karena dahi, kedua pipi, betis dan punggungnya ia tempeli dengan koyo karena ia mengeluh pegal-linu di seluruh badan. Untunglah kami masih memiliki persediaan obat-obatan di rumah.
Senin, 21 Februari 2022 sang istri masih demam, sakit kepala dan pegal-linu. Kembali saya harus mengambil peran ibu. Saya izin pulang lebih awal dari sekolah karena harus memasak. Selain memasak, juga harus mencuci piring dan mencuci pakaian. Syukurlah Tamiang sudah bisa membantu mencuci pakaian sehingga bebanku sedikit ringan.
Selasa, 22 Februari 2022. Istri sudah bisa mengambil kembali perannya sebagai ibu rumah tangga. Walaupun masih batuk, ia sudah bisa memasak, mencuci piring, mencuci pakaian dan melakukan pekerjaan rumah lainnya.
Sehabis sarapan saya harus bolak-balik mengantar Tamiang dan Antang ke sekolah. Sedangkan Suwandang, anak bungsu hari ini tidak sekolah. Karena masih masa covid, ia sekolah selang-seling; Senin, Rabu dan Jumat.
Pukul 09.00 saya mengantar Antang, anak ketiga periksa gigi ke RSU Agusjam. Ini adalah kali ketiga kami konsultasi ke sana. Dua minggu lalu giginya ditambal dengan tambalan sementara. Hari ini akan dilakukan perawatan lagi. Menurut sang dokter perlu 6-7 kali perawatan baru gigi berlobang tersebut ditambal.
Ketika menuju ke RSU saya merasa badan meriang dan kaki pegal-pegal. Ternyata sesampai di RS kami disuruh pulang karena bahan tambalan sementara lagi habis persediaannya. Kami akan dihubungi kalau bahan sudah datang.
Walaupun baru pukul 09.30 kami tidak kembali ke sekolah karena saya merasa badan kurang fit. Kami langsung pulang dan sampai di rumah langsung mandi dan ganti pakaian.
Sorenya kami bertiga, saya Antang dan Suwandang serentak demam. Selain demam, kepala dan tenggorokan sakit serta badan pegal linu. Saya curiga karena gejala sakit yang kami alami sama dengan yang dialami oleh istriku. “Tampaknya Om Micron sedang bertamu ke rumah kita,” kata saya setengah bergurau.
Rabu, 23 Februari 2022 Tamiang, anak kedua juga demam, batuk, sakit kepala dan pegal-linu. Rabu, 2 Maret 2022 Sadong, anak pertama kami yang sedang kuliah di Pontianak juga mengalami hal yang sama. Lengkap sudah seluruh keluarga telah dijamah oleh “Om Micron”.
Menurut seorang teman, ciri-ciri yang kami alami itu adalah pertanda bahwa Om Micron sedang bertamu ke rumah kami. Karena Om Micron gampang berpindah tempat, maka kami harus isolasi mandiri selama 2 minggu.
Dari 6 anggota keluarga, istri dan saya mengalami demam selama 3 hari. Sedangkan anak-anak hanya demam selama sehari saja. Tapi batuknya rata-rata seminggu baru hilang. Bahkan anak kedua kami mengalami batuk sampai 2 minggu.
Setelah seminggu sehabis demam, Selasa 28 Februari saya tes antigen di RS Fatima. Ternyata saya dinyatakan positif. Oleh perawat dianjurkan isolasi mandiri (isoman). Dalam logikaku anak-anak dan istriku juga positif. Karena saya melihat sakit ini begitu gampang menular, maka saya minta izin ke sekolah untuk tidak masuk mengajar.
Saya akan masuk sekolah kalau sudah dinyatakan negatif. Anak-anakku juga kularang keluar rumah. Kepada rekan-rekan guru juga saya menghimbau kalau habis demam, batuk dan sakit kepala agar jangan masuk sekolah dulu, kasihan rekan-rekan guru dan para siswa yang masih sehat nanti akan tertular.
Setelah 2 minggu istirahat di rumah, makan yang teratur, konsumsi vitamin dan buah-buahan, seluruh anggota keluarga tidak mengalami gejala lagi. Senin 7 Maret 2022 kembali saya test antigen di RS Fatima. Puji Tuhan, hasilnya sudah negatif. Saya lega karena Om Micron sudah pergi dari tempat kami. Maka Selasa, saya dan anak-anak bisa masuk sekolah dengan tenang.
***
Bionarasi
Amon Stefanus dilahirkan Banjur, Ketapang, Kalimantan Barat pada 18 Maret 1966. Guru SMP Santo Augustinus Ketapang.
Telah menerbitkan 12 buku ber-ISBN. Beberapa tulisan dipublikasikan di Kompas, The Jakarta Post, Bernas, Pontianak Post, Majalah Hidup, dll.