| Penulis: Gregorius Nyaming
Sebagai orang yang hidup di bumi Kalimantan, sudah layak dan sepantasnya kita menghaturkan syukur kepada Tuhan, Pencipta semesta alam, atas kebaikan-Nya karena telah menganugerahkan alam beserta isinya untuk kita olah dan kita nikmati hasilnya.
Hari-hari belakangan ini, rasa syukur kita semakin membumbung tinggi dengan tibanya musim buah-buahan. Macam ragam jenis buah bisa kita nikmati sepuasnya. Namun, haruslah tetap menjadi manusia yang beradab dan beradat dalam menikmatinya.
Menikmati hasil alam dengan beradab dan beradat mau mengajak setiap pribadi untuk selalu menjunjung tinggi kebersamaan. Dengan begitu, maka ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang menjadi sumber kekuatan dalam hidup berkomunitas akan selalu terjaga.
Saudara-saudariku sebangsa Dayak, bagaimana masyarakat di tempatmu menyikapi dan menikmati setiap kali datangnya musim buah? Apakah ada yang unik dan spesial?
Dalam kesempatan ini saya ingin sedikit berbagi tentang prinsip yang berlaku dalam komunitas kami, suku Dayak Desa, dalam menikmati hasil alam. Prinsip yang saya maksudkan ialah: KALAU ABIH SAMA AMPIT. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya: “Kalau habis sama-sama kebagian.”
Prinsip ini umumnya berkaitan dengan soal makanan. Pesan yang mau disampaikan oleh prinsip ini ialah ketika ada makanan, entah banyak ataupun sedikit, anggota komunitas atau anggota keluarga semua harus mendapat bagian.
Dalam subsuku Dayak lainnya, saya merasa yakin pasti juga terdapat prinsip yang serupa.
Prinsip ini menjadi dasar bagi satu tradisi yang oleh masyarakat adat Dayak Desa dinamakan dengan “Bepeduak” (Berbagi sama rata).
Terhadap pohon buah yang menjadi milik bersama sejumlah keluarga, durian misalnya, wajib dilakukan bepeduak. Dalam hal ini, akan selalu ada kesepakatan di antara mereka: apakah buahnya dipanen ketika masih mentah atau dibiarkan matang dulu baru nanti ditunggui secara bergiliran menurut kelompok yang sudah dibagi.
Keputusan untuk memanen saat buahnya masih mentah dibuat bila dilihat buahnya tidak terlalu lebat. Sedangkan kalau buahnya cukup lebat, mereka bersepakat untuk membiarkannya matang terlebih dahulu. Ketika sudah mulai berjatuhan, akan dibuat kelompok untuk menunggunya.
Prinsip “kalau abih sama ampit” juga diberlakukan untuk jenis buah-buahan lain di hutan yang sudah menjadi milik bersama beberapa kepala keluarga. Apakah buahnya hanya sedikit atau sedang lebat atau sangat lebat harus selalu ada kesepakatan bersama tentang tindakan apa yang harus diambil.
Adalah haram hukumnya sebuah keluarga atau beberapa keluarga memanen buah yang menjadi milik bersama tanpa memberitahu keluarga yang lain. Mereka bisa saja terkena sanksi adat. Namun yang harus mereka ingat, tindakan mereka itu bisa mendatangkan malapetaka bagi yang lain. Atau dalam alam kepercayaan masyarakat Dayak Desa, tindakan demikian bisa menyebabkan orang lain kempunan.
Kempunan memang dipahami sebagai sebuah kondisi di mana seseorang mengalami nasib sial karena tidak mencicipi atau sekadar menyentuh (palit) makanan/minuman yang ditawarkan orang lain kepadanya. Namun dalam kasus mereka yang memanen buah milik bersama hanya seorang diri, tindakan mereka itu juga bisa menyebabkan orang lain mengalami kempunan.
Kempunan, bagi masyarakat Dayak Desa, sampai saat ini masih menjadi fenomena yang menakutkan. Karena itu, melalui prinsip “abih sama ampit” ini, setiap anggota komunitas sesungguhnya hendak diingatkan untuk tidak serakah. Keserakahan hanya akan mendatangkan celaka bagi orang lain dan kerugian bagi hidup bersama sebagai komunitas.
Wasana kata. Prinsip hidup bersama ini lahir ketika dulu masyarakat Dayak Desa masih tinggal di rumah panjang (betang). Hidup bersama di rumah panjang sungguh menjadikan mereka sebagai satu keluarga. Suka duka hidup mereka rasakan dan jalani bersama. Bila ada rejeki, prinsip “kalau abih sama ampit” sungguh-sungguh mereka hayati.
Sekarang beberapa komunitas adat suku Dayak Desa tidak lagi tinggal di rumah panjang. Sebuah situasi yang tentu saja sedikit banyak bisa membuat anggota komunitas menjadi individu yang egois dan serakah. Dengan adanya prinsip hidup bersama ini tentu saja diharapkan agar setiap anggota komunitas tidak hidup hanya memikirkan kepuasan perutnya sendiri. Berapapun banyak rejeki yang disediakan oleh alam haruslah dinikmati secara bersama-sama.
“Kalau abih sama ampit”, demikian leluhur sudah berpesan.
***