24.9 C
Singkawang
More
    BerandaBudayaTemawokng

    Temawokng

    | Penulis: Maria Fransiska

    Tembawang merupakan sistem penggunaan lahan masyarakat suku Dayak. Menurut Krissusandi Gunui, Direktur Institut Dayakologi, setiap subsuku Dayak memiliki sebutan tersendiri untuk tembawang.

    Di Kabupaten Ketapang, Dayak Pesaguan menyebutnya dohas. Dayak  Jalai menyebutnya dahas. Sementara di beberapa tempat lainnya, tembawang disebut kobotn, kobun kelokak, dan juga kampung temawakng. Kami, Dayak Hibun menyebutnya temawokng.

    Tembawang semula pernah dijadikan sebagai kawasan ladang dan tempat mukim penduduk (tempat rumah betang berdiri). Tembawang ditinggalkan karena ada suatu kejadian. Contohnya seperti tembawang Hibun yang terletak di Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau. Konon, tembawang ini ditinggalkan karena ada suatu wabah penyakit yang terjadi di kampung itu, sejenis pagebluk yang terjadi saat ini.

    Kawasan tembawang biasanya bercirikan banyak pohon berukuran besar dan terdapat tanda-tanda, seperti adanya bekas perabot rumah tangga, pakaian, dan kuburan tua (pengahetn muntuh). Karena itu, jika tanah tembawang hendak digunakan, sebelumnya harus diremah terlebih dahulu. Tujuannya untuk permisi kepada si penunggu tanah agar tidak “mengganggu”.

    Tidak hanya sekadar memiliki keanekaragaman hayati yang beragam, tembawang juga mengandung nilai ekonomi, nilai rekreasi, dan nilai budaya. Di masa lampau, masyarakat suku Dayak memiliki pola pemukiman berpindah-pindah. Di lokasi mukim, mereka menanam berbagai jenis tanaman yang menurut pengetahuan mereka dapat dikonsumsi. Mereka menanam buah-buahan yang bisa kita nikmati sekarang, seperti durian, mentawa, peluntan, langsat, tasapm, cempedak, rambai, dll.

    Saat musim buah tiba, buah yang melimpah ruah tak habis dimakan, maka akan diawetkan. Entah di fermentasi atau dijemur. Pola kebudayaan mempengaruhi orang dalam memperoleh makanan dan  mengolahnya yang kemudian berkembang menjadi makanan yang cocok (Suharjo et al., 1986). Seperti durian yang difermentasikan menjadi tempoyak dengan taburan garam dan cempedak yang diawetkan dengan cara dijemur hingga kering. Tujuan pengawetan ini agar dapat disimpan dalam waktu yang lama.

    Orang zaman baheula, juga telah mengenal etnobotani. Mereka memiliki pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan secara tradisional. Mereka  menanam tumbuhan  rempah-rempah dan obat-obatan, seperti jerangau merah (Acorus calamus), asam kandis (Garcinia xanthocymus Clusiaceae), molay (Alpinia galanga L. Sw Zingiberaceace), keminting (Aleurites moluccanus L. Euphorbiaceace), dll.  Tahun makin tahun, mereka juga menanam tengkawang dan karet di lokus tersebut. Kendati pun, tidak semua tanaman di tembawang merupakan hasil tanam. Ada juga tumbuhan yang tumbuh secara alami, seperti tipo (Etlingera elatior), rotan, kantong semar, pakis, dll.

    Nembawang di Masa Pagebluk

    Di masa pagebluk Covid-19, daerah tempat saya mukim dinyatakan berstatus zona merah. Untuk melepas penat dan rasa bosan, saya memutuskan pergi ke jameh (bekas ladang). Tahun ini jameh tersebut akan dipakai berladang lagi. Kebetulan di sampingnya ada tembawang. Pukul 05.45, saya sudah  tiba di jamih, sejauh 6 kilometer dari mukim saya. Masih di daerah Pusat Damai juga.

    Selama perjalanan ke jamih, beberapa kali saya bertemu dengan anak-anak kecil, remaja, bahkan orang tua. Ada yang jalan memanen sawit. Ada juga yang membawa durian sapak (durian yang belum ranum, tetapi sudah jatuh), memenuhi keranjangnya yang dibentangkan di jok motor. Ada juga yang mengambin karung berisi mentawa. Saat ditanya, selama musim buah, mereka sudah ke hutan sejak dini hari.

    Saat tiba di jameh, saya melihat banyak kuhak bodoh (jamur yang tumbuh di pohon karet mati). Sementara, bapak saya memasang jerat burung keruak dan tajur di pinggiran sungai.  

    Berbicara tentang lingkungan, khususnya hutan dan kaitannya dengan manusia. Seperti healing forest yang dikembangkan oleh Dosen ITB, Hikmat Hamdan. Menurutnya, stres pada manusia timbul karena tubuh merespons negatif terhadap keadaan sekeliling. Karena itu, konsep penyembuhan kini memanfaatkan ekosistem hutan, agar manusia dan lingkungannya saling terkoneksi.

    Ada beberapa syarat yang harus dimiliki agar sebuah ekosistem menjadi sarana penyembuhan. Ada juga psikologi lingkungan. Cabang disiplin ilmu psikologi tentang kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang meliputi tanaman, hewan, objek material, dan manusia. Ada beberapa hal yang dapat menimbulkan “ketegangan” lingkungan (environmenyal stress), misalnya keadaaan ruang yang akan memicu kejiwaan seseorang, temperatur, suasana, dan cahaya.

    Seperti yang saya dan banyak orang rasakan saat ini, bahkan Anda yang sedang membaca tulisan ini. Ruang gerak terbatas karena pandemi. Sedangkan, pengaruh lingkungan terhadap kejiwaan seseorang dapat bersifat internal, eksternal, dan transedental.

    Tidak hanya memperhatikan manusia, psikologi lingkungan juga mempelajari kebudayaan dan kearifan lokal suatu tempat, dalam memandang alam semesta. Selain itu, juga mempengaruhi sikap dan mental manusia. Apabila kebudayaan dan kearifan lokal dapat dipahami dalam konteks manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya, maka introspeksi diri akan menjadi poin penting dari psikologi lingkungan.  

    Terlahir sebagai gen Z yang berusia 25 tahun, saya bersyukur masih dapat merasakan atmosfer tembawang. Bersyukur masih dapat menikmati hasil dari tembawang waris generasi. Ada sensasi tersendiri yang dirasakan. Di dangau, saya bisa bekerja: menyunting naskah atau menulis, sembari menunggu buah durian jatuh. Sudah beberapa kali saya bekerja di jamih. Nagih. Seperti ada magnet untuk kembali lagi. Selama di tembawang, badan dan pikiran menyatu dengan alam. Baik visual, pendengaran, maupun penciuman.

    Apalagi ini musim buah. Tanpa dicari-cari, aroma-aroma buah itulah yang menyapa indera penciuman. Saat angin bertiup kencang, bisa mendengar “buuuggg” dan melihat buah durian berjatuhan dari pohonnya yang sangat tinggi itu. Dengan semangat, langsung menuju pohon di mana ada buah durian yang jatuh.  Masih bisa melihat burung punai beterbangan bebas. Mendengar suara burung tekukur, dan juga burung keruak.

    Saat pulang, kami membawa burung keruak hasil jeratan. Ikan baung hasil tajur. Durian yang jatuh. Kuhak bodoh untuk sayur. Kayu leban (Vitex pinnata L.) untuk diisi di para-para, sebagai stok kayu bakar. Buah keluwih, dan buah terong.

    Betapa semesta sudah menyediakan semuanya. Terima kasih, Abai Penompo!

    Daftar Rujukan:

    Saputra, Emanuel Edi (23 April 2019). “Merawat Tembawang, Merawat Kehidupan”. Kompas. Hlm. 1-15.

    https://www.forestdigest.com/detail/393/hutan-yang-menyembuhkan

    IDENTITAS DAYAK BUKAN DITENTUKAN AGAMA MODERN

    ***

    Maria Fransisca

    Maria Fransiska dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat Copyeditor di Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja di Andi Publisher (CV. Andi Offset Yogyakarta) editor e-Book. Beberapa kali ikut dalam penulisan antologi cerpen, salah satunya Antologi Cerpen “Ganar” (2021).

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita