| Penulis: Fidelis Saputra
Kiranya, perlu lebih dulu dijelaskan judul tulisan ini.
Lica’ dalam bahasa Dayak Jangkang, rumpun bahasa Bidayuh, berarti: lumpur, becek, tanah basah layaknya bubur. Adapun “pongatn” berarti: nikmat, nyaman, santai saja. My dalam bahasa Inggris artinya: saya, aku. Dalam bahasa kami, my (baca: mae) berarti: tidak.
Judul di atas terinspirasi dari sebuah tagline acara di televisi yakni My Trip My Adventure. Khusus dari judul itu mengundang keinginanku untuk menulis Trip yang sudah sepuluhan tahun kujalani. Tiap kali melawat ke medan tugas, yakni melalui jalanan berlumpur menuju ke tempat saya mengabdi sebagai guru.
Ya! Sebuah daerah terpencil di wilayah tersudut kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Dikenal sebagai dusun Ketori. Terletak di wilayah Pemerintahan Desa Ketori.
Perjalanan yang menantang itu sudah start semenjak dari rumahku di dusun Landau, sekitar 4 kilometer dari ibu kota kecamatan Jangkang, Balai Sebut. Melewati ruas jalan Provinsi, yakni jalan Merakai kearah batas kecamatan Belitang Hulu, wilayah Kabupaten Sekadau. Jalanan itu berlumpur dimusim hujan, sementara di musim kemarau berlubang-lubang karena bekas ban mobil serta yang pasti penuh dengan debu.
Di kampung Sekampet sekitar 24 kilometer dari Balai Sebut terdapat persimpangan. Jika lurus dari arah Balai Sebut, itu merupakan jalan kearah Belitang Hulu, namun jika kita mau ke Ketori maka kita mengambil simpang ke kiri.
Nah, dari Kampung Sekampet inilah baru petualangan seru itu dimulai. Disuguhkan dengan medan gambut di sepanjang ruas jalan kita mulai bertransformasi menjadi crosser dadakan. Harus bisa mengambil keputusan mana jejak lumpur yang tidak terlampau dalam. Jika salah maka pasti terjebak sehingga motor amblas oleh lumpur. Mau tidak mau kita mengeluarkan tenaga ekstra. Hanya untuk mengangkat motor dari kubangan lumpur.
Suatu ketika ban motor harus meniti satu bilah papan seukuran 16 senti meter untuk alternatif melalui rintangan lumpur. Jika tangan tidak lihai menggerakkan stang motor atau arah roda sedikit melenceng dari papan, maka sudah pasti motor beserta pengendaranya bermandikan lumpur.
Maka judul diatas menjadi tagline yang kerap menghibur di kala sudah berkubang dengan lumpur, My Lica’, My Pongatn. Tidak Becek, Tidak Puas. Begitu arti harafiahnya. Satu bait pembangkit semangat dikala rasa putus asa muncul karena tantangan alam.
Daerah Ketori yang rawa dan dataran rendah itu juga kerap dilanda banjir ketika musim hujan yang kuat. Ketika itu terjadi bagaimana solusi untuk melewatinya? Apakah harus putus asa dan balik kanan saja? Tentu tidak, maju terus pantang mundur itu semangat yang diajarkan oleh orang tua kita.
Alternatif pertama jika tidak ada orang membantu atau seorang diri saja, maka solusinya kita ambil kantong kresek dan ikat knalpot motor menggunakan tali karet dengan kantong itu. Lalu seret motor tanpa menghidupkan mesinnya melalui banjir itu.
Atau alternatif kedua, jika ada empat orang kawan yang ada di sekitaran banjir. Maka bisa bergotong royong memikul motor dengan melintangkan sebilah kayu di antara jari-jari roda depan dan belakang, dua orang didepan dan dua orang dibelakang.
Kalau sudah begini maka, bukan orang yang naik motor lagi, melainkan: motor yang naik orang.
JIka bukan berlumpur bubur jalannya, tidak nikmat. Mirip lafas bahasa Inggris:
My lica’, mae pogatn!
***
Bionarasi
Fidelis Saputra, S.Pd. dilahirkan di Jangkang pada 28 Maret 1976. Pegawai Negeri Sipil. Menulis dan menerbitkan buku: Cerita Dayak Jangkang dan Hukum Adat Dayak Jangkang.