27.4 C
Singkawang
More
    BerandaBudaya“Ngamik Bini”: Tradisi Menjemput Calon Istri dalam Suku Dayak Desa

    “Ngamik Bini”: Tradisi Menjemput Calon Istri dalam Suku Dayak Desa

    | Penulis: Fransiskus Gregorius Nyaming

    Berbicara tentang tradisi dan adat pernikahan, setiap daerah di belahan Nusantara ini menyajikan kekhasan dan keunikannya masing-masing. Dalam segala keunikannya itu terkandung nilai-nilai sosio-kultural dan sosio-religius suatu daerah.

    Suku Dayak yang juga menjadi bagian dari Nusantara ini juga memiliki kekhasannya tersendiri terkait dengan tradisi dan adat pernikahan.  

    Dalam artikel ini saya ingin menyajikan tradisi ngamik bini dalam suku kami Dayak Desa. Sebuah tradisi penting dan sakral bagi kedua mempelai karena ini menjadi salah satu bagian dari tahap awal dalam memulai hidup berumah tangga. 

    Seperti apa bentuknya dan bagaimana tradisi ngamik bini ini dilakukan?

    Pertama-tama, bagi suku Dayak Desa, penjemputan secara adat atas calon istri wajib hukumnya. Karena itu, dalam kasus di mana calon istri berasal dari tempat yang cukup jauh dan tidak memungkinkan mengikutsertakan sebanyak mungkin orang kampung untuk pergi menjemputnya, sang calon istri harus datang beberapa hari sebelumnya. 

    Dia tidak singgah dan menginap di rumah calon suaminya, tapi di salah satu rumah kerabat calon suami. Dari rumah ini nantilah dia akan diamik, dijemput secara adat.

    ***

    Dalam kasus di mana rumah calon istri masih memungkinkan bagi rombongan penjemput untuk balik hari, sehari sebelum hari penjemputan, beberapa pengurus adat serta perwakilan keluarga dari calon suami akan berangkat terlebih dahulu ke rumah calon istri. 

    Kedatangan mereka mendahului rombongan penjemput dengan maksud untuk memastikan calon istri dan keluarga besarnya bahwa proses penjemputan akan berjalan sesuai dengan yang telah disepakati. Dengan kata lain tidak ada pembatalan dari pihak calon suami. Untuk itu, calon istri dan keluarga besarnya harus mempersiapkan diri beserta segala sesuatunya untuk menyambut rombongan penjemput.

    Baca juga: Memikirkan Kembali Ritual Adat Tolak Bala Suku Dayak (2)

    Bergeser ke rombongan penjemput. Dengan berangkat menggunakan mobil truk atau pick up, mereka diingatkan untuk selalu menjaga sikap dan tutur kata selama dalam perjalanan. Mereka bukan pergi untuk bersenang-senang, melainkan untuk menjemput seorang calon mempelai perempuan. Begitu juga segala perlengkapan dan keperluan adat yang diperlukan mesti dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.

    Salah satunya dapat dilihat dari keharusan adanya seorang pemimpin atau kepala rombongan. Kepala rombongan itu bisa dari kepala desa/dusun atau pengurus adat. 

    Penggunaan tawak, gong, juga hal lain yang mau menunjukkan diindahkannya aturan adat. Dalam masyarakat Dayak secara umum, tawak selalu digunakan dalam beragam upacara dan pesta adat.  Karena itu, apa pesan yang mau disampaikan mesti selalu dilihat dalam konteks apa dia digunakan.

    Dalam adat ngamik bini, tawak dibunyikan secara bersahut-sahutan sepanjang perjalanan dengan tujuan menambah semaraknya suasana. Selain itu, ia juga menjadi sarana informasi dan komunikasi baik dengan pihak calon istri saat penjemputan maupun dengan pihak calon suami saat nanti kembali dari penjemputan.

    Saat penjemputan, bila suara tawak sudah mulai terdengar sayup-sayup dari kejauhan itu tandanya rombongan sudah mulai mendekat. Yang artinya juga calon istri beserta keluarga besarnya harus bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Hal yang sama juga berlaku bagi calon suami dan seluruh keluarga besar ketika nanti rombongan penjemput calon mempelai kembali.

    Sekarang masyarakat sudah sangat terbantu dengan kemajuan teknologi informasi. Meski demikian, peran sosio-kultural dan religius tawak tidak akan pernah dapat tergantikan.

    Apakah tawak juga berfungsi untuk menghalau segala hal jahat yang dapat mengganggu kelancaran proses ngamik bini? Karena itu harus dibunyikan sepanjang perjalanan? Bisa jadi. Tawak oleh masyarakat Dayak dijadikan sebagai sarana komunikasi dengan roh leluhur. Dengan membunyikannya, mereka memohon penyertaan dan perlindungan dari para leluhur agar menjauhkan segala hal jahat yang dapat menghambat kelancaran proses adat ngamik bini.

    Kembali ke rombongan penjemput. Setibanya di kampung calon mempelai perempuan, rombongan akan disambut seturut adat istiadat setempat. Setiap sub suku Dayak memiliki caranya masing-masing dalam hal menyambut tamu yang datang.

    Setelah rangkaian adat penyambutan rombongan selesai dilakukan, tahap berikutnya ialah mendandani calon mempelai perempuan dengan pakaian pengantin adat Dayak. 

    Proses pendandanan ini sedapat mungkin tidak memakan banyak waktu agar rombongan penjemput bisa kembali secepat mungkin. Karena itu, dari pihak suami biasanya mengutus satu atau dua orang ibu-ibu yang ahli dalam memasang baju pengantin ala suku Dayak.

    Setelah proses pendandanan selesai dilakukan, saatnya bagi rombongan untuk kembali pulang menuju rumah calon suami. Suka cita semakin bertambah karena sekarang sang calon mempelai perempuan sudah ada bersama mereka. Dia harus dijaga dan dilindungi dengan baik selama dalam perjalanan.

    ***

    Setibanya di rumah calon suami, sang calon istri diterima dan disambut dengan penuh suka cita oleh sang belahan jiwa, keluarga besar dan orang sekampung, yang tentu saja sudah tidak sabar menanti kedatangannya.

    Sebelum diperbolehkan masuk ke dalam rumah, akan ada serangkaian upacara adat yang akan dilangsungkan. Salah satunya ialah ritual adat betabak

    Betabak dapat diartikan sebagai ritual menghalau roh-roh jahat yang dapat mendatangkan hal-hal buruk baik terhadap perseorangan maupun komunitas.

    Selain untuk mendoakan agar sang calon istri selalu sehat dan kelak bisa menjadi seorang istri dan ibu yang baik, betabak dilakukan untuk menghalau roh-roh jahat yang mungkin telah menyertai rombongan selama dalam perjalanan.

    Masyarakat Dayak Desa meyakini keberadaan roh-roh jahat di dalam alam. Roh-roh jahat ini seringkali mengacaukan niat dan rencana baik anak manusia. Perjalanan yang kadangkala mengalami hambatan oleh masyarakat Dayak Desa dipandang sebagai karya si jahat yang bermaksud menggagalkan niat baik manusia.

    Atas alasan tersebutlah betabak harus dilakukan. Tujuannya agar manusia bisa menata dan menjalani kehidupan dengan hati yang tenang dan damai.

    Ritual betabak itu dilakukan dengan menggunakan air yang sudah dicampur dengan beras dan darah hewan. Air ini nanti akan dipercikkan di atas kepala dengan menggunakan akar pohon tengang atau serat kulit pohon kepuak (Artocarpus elasticus).

    Menggunakan beras karena dalam alam kepercayaan masyarakat Dayak Desa ia berfungsi untuk meneguhkan hidup batiniah manusia. Karena itu, orang yang baru sembuh dari sakit atau mereka yang luput dari kecelakaan akan ditaburi dengan beras. Dalam dunia perladangan, penggunaan beras dimaksudkan sebagai bentuk penyucian atas ladang.

    Mengapa menggunakan serat kulit pohon kepuak barangkali alasannya karena teksturnya yang sangat kuat. Dia digunakan karena selaras dengan tujuan dari ritual betabak itu sendiri, yakni untuk menguatkan jiwa (semengat) seseorang.

    Sementara itu penggunaan darah hewan merupakan bentuk berkat terhadap calon mempelai. Dalam bahasa Dayak Desa, pemberkatan itu sendiri dinamakan dengan nyengkelan. Ada ragam bentuk nyengkelan yang dijumpai dalam Dayak Desa seperti nyengkelan kampung, nyengkelan rumah, nyengkelan benih padi dan alat-alat pertanian dan sebagainya.

    Setelah selesai ditabak si calon istri dipersilakan masuk ke dalam rumah sambil disuguhi tuak. Hal serupa juga dilakukan terhadap rombongan keluarga dan kerabat yang mengantarnya. 

    Dalam masyarakat Dayak, penyuguhan tuak merupakan simbol penghormatan dan penerimaan tulus ikhlas terhadap tamu yang datang berkunjung. 

    Dalam adat ngamik bini, penyuguhan tuak terhadap calon istri menjadi ungkapan penerimaan atas seluruh pribadinya oleh calon suaminya, mertuanya dan bahkan oleh seluruh warga kampung. Sekarang dia bukan lagi orang asing dan pendatang.

    ***

    Dalam proses penjemputan ini, masyarakat juga selalu memperhatikan tanda-tanda alam. Salah satunya ialah suara burung. Setidaknya ada tujuh jenis burung yang suaranya harus diperhatikan baik saat berladang maupun dalam peristiwa hidup lainnya. Ketujuh burung ini disebut sebagai tujuh burung pamali: ketupung, beragai, bejampung, pangkas, embuas (ngemuas), papau dan nendak.

    Beberapa di antaranya diyakini membawa pertanda buruk. Sebagai contoh, ketika burung bejampung masuk ke dalam rumah, ia membawa pesan kalau rumah tersebut akan mengalami kebakaran.

    Dalam kegiatan sehari-hari yang terkait dengan perladangan, suara burung juga memainkan peran yang sangat penting. Saat membuka lokasi baru untuk berladang begini syaratnya: Kalau ketupung berbunyi hanya sekali itu artinya pertanda tidak baik. 

    Warga harus memukul sarung parang beberapa kali atau bersiul memanggilnya agar dia menyahut isyarat yang kita keluarkan. Kalau burung itu bersuara lagi, itu artinya mereka bisa membuka lahan di situ. Tetapi kalau tidak ada suara sahutan, maka mereka tidak boleh membuka lahan di situ.

    Kalau suara burung itu diabaikan dapat mendatangkan akibat yang fatal terutama bagi segenap anggota keluarga.

    Di luar dari ketujuh jenis burung itu, ada juga jenis burung yang kehadirannya membawa kebaikan dan manfaat bagi masyarakat. Orang Dayak Desa menamainya sesuai dengan suara yang ia keluarkan: burung tidudi.

    Burung ini biasanya hanya mengeluarkan suara menjelang tengah hari dan menjelang matahari terbenam. Karena itu, dia dijadikan sebagai penanda waktu oleh masyarakat saat bekerja di ladang. Bila ia bersuara menjelang tengah hari, itu pertanda bagi mereka untuk istirahat sejenak dari pekerjaan. Dan bila ia bersuara pada sore hari menjelang matahari terbenam, itu pertanda bagi peladang untuk bersiap-siap pulang ke rumah.

    Kembali ke proses penjemputan calon mempelai perempuan. Saya masih ingat di mana ada salah satu pasangan yang setelah menikah tidak diperbolehkan tinggal serumah. Penyebabnya ialah ketika dalam perjalanan menuju rumah calon suami, rombongan calon mempelai perempuan ada mendengar suara burung yang diyakini membawa pertanda buruk.

    Sesuai dengan ketentuan adat kedua pasangan itu harus tinggal terpisah dalam jangka waktu tertentu. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

    Wasana kata. Begitulah keunikan tradisi ngamik bini dalam suku Dayak Desa. Ada adat ngamik bini, tentu juga ada adat ngamik laki (calon mempelai pria). Dalam suku Dayak Desa, adat penjemputan calon suami agak sedikit berbeda dengan adat ngamik bini. Salah satunya ialah di mana yang boleh turut serta dalam penjemputan hanyalah kaum laki-laki. Mengapa demikian aturan adatnya akan dibahas di lain kesempatan.

    ***

    Bionarasi

    DSC 0155 Grego Nyaming

    Fransiskus Gregorius Nyaming, dilahirkan di Medang, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada 17 Agustus 1984.

    Seorang Pastor Katolik. Sedang menempuh studi program doktoral jurusan Teologi Dogmatik di Universitas Katolik St. Paus Yohanes Paulus II Lublin, Polandia

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita