| Penulis: Paran Sakiu
Ketika hari mulai malam ada nada panggilan masuk di Hp ku. Ternyata yang menghubungi salah satu anggota FDKJ di Jakarta Barat, Miming namanya. Jangan salah kira, namanya memang nama dari Cungkok tetapi yang empunya nama asli Dayak.
Ia langsung to the point, “ Bang Paran mau ikut ke Joglo panen timun di sana, hari Sabtu kita berangkat,” demikian ajakannya. “Ooo panen timun, boleh. Saya mau ikut,” jawabku. Pembicaraan itu terjadi hari kamis malam.
Hari Sabtu biasanya saya jarang keluar karena fokus pelayanan perkunjungan ke Jemaat. Sabtu pagi sekali, via Whattshap. Saya kirim berita kalau ke sana jangan lama-lama, jam empat sore atau jam lima sore sudah harus ada di Jakarta. Apa daya berita itu masih contreng satu. Jam delapan pagi baru ada balasan bahwa keberangkatan jam sembilan. Start-nya dari Kembangan utara.
Saya pun berangkat menuju Miming bermukim. Setibanya di sana saya masih sempat nguping pembicaraan Miming dengan Herdianus via HP. Pak Herdianus meminta segera berangkat karena kalau berangkat siang dipastikan terjebak macet.
Mesin mobil di start oleh Bapak Budi. Kami pun bergegas masuk ke dalam mobil. Moncong mobil mengarah ke pintu masuk tol. Miming berkali-kali menanyakan pintu tol keluar untuk menjemput Herdianus yang berlokasi di daerah Jakarta Selatan.
Setelah keluar dari tol Andara, mobil tersendat. Setelah Herdianus di jemput, mobil kembali mengarah ke jalan tol menuju arah Cibubur. Setelah keluar dari pintu tol Cibubur, mobil kembali melambat Bahkan berhenti. Kemacetan tidak terhindarkan.
Benar prediksi Herdianus kami terjebak macet karena berangkat siang. Tiba-tiba hujan deras disertai angin mengguyur. Hujan semakin menambah kemacetan. Diantara kami tidak seperti Rara Sang pawang hujan di Mandalika-Lombok yang dapat menghentikan atau mengalihkan hujan.
Akibat kemacetan, makan siang terlewatkan. Perut tidak dapat diajak kompromi. Kami putuskan setelah tidak terjebak macet akan mencari warung Makan. Warung Makan nasi Padang yang menjadi pilihan.
Benar saja setelah keluar dari kemacetan kami menemukan warung nasi Padang. Saya sempat berkhayal ada warung Nasi Dayak dengan menu pucuk rotan, tempoyak, daun ubi tumbuk dengan pakatikngnya, pakasamp, ular phyton, terong asam dll.
Setelah perut tidak dangdutan lagi, kami bergegas menuju mobil. Pengganti maps ada duduk di bangku belakang. Panduannya melebihi panduan Maps. Maps terkadang masih ada kekeliruan, tetapi Herdianus tidak. Buktinya Kebun hasil garapan C4 di Jonggol dapat kami sasar tanpa sedikit pun nyasar.
Menjelang lokasi perkebunan ada perumahan di bahu kanan jalan. Beberapa rumah dengan tembok mengelupas. Bata merah terlihat jelas. Atap rumah mulai rusak. Bangunan perumahan itu dipastikan sudah berumur puluhan tahun.
Mobil yang kami tumpangi mencari lokasi parkiran. Bapak Budi, bebas memarkir mobil tidak seperti di Jakarta. Hanya gara-gara parkiran ada yang naik darah. Ternyata sebelum kami tiba sudah ada beberapa mobil dan motor yang terparkir di depan pondok.
Kami pun disambut dengan penuh kehangatan. Ada Ibu Selvie bersama suami. Ada Bapak Yosef, Bapak Andis, bapak Gunawan, nyonya pak Salawin, nyonya Nicodemus Sabudin, ada beberapa Bapak-Bapak dan Ibu yang tidak saya kenal. Tawaran makanan siang dan jus mentimun ditujukan kepada kami yang baru datang. Sangat di sayangkan perut kami belum bersahabat karena masih kekenyangan.
Saya melepas sandal. Saya langsung keluar pondok untuk mengambil beberapa foto dan menemui Bapak Salawin yang sedang menanam bibit cabe diantara tanaman mentimun yang penuh dengan bunga dan buah. Wawancara pun saya lakukan tanpa beliau sadari tentang apa dan bagaimana mengenai kebun C4 yang ada di wilayah Jonggol.
Kebun C4 berawal dengan kongkow-kongkow berarisan Dayak Kalbar perantauan. Mereka sangat inspiratif dan kreatif. Berkunjung kepada yang sakit, mereka yang berduka bahkan ke tempat berpesta dianggap hal yang biasa. Termasuk berarisan. Tetapi berkebun seperti di tanah kelahiran di Kalimantan, itu baru luar biasa.
Dari kongkow-kongkow terdengar juga gagasan itu di telinga Katherine Oendoen. Beliau adalah anggota DPR RI dari Gerindra. Beliau adalah sosok yang sangat peduli dengan komunitas Dayak Kalbar di perantauan.
Dana pun mengucur dari saku Ibu Katherine Oendoen sebagai bentuk dukungan. Dana itu digunakan untuk menyewa tanah selama lima tahun. Satu hektar per tahun sekitar delapan juta rupiah. Modal pembibitan, mengolah lahan, dan lain-lain di rogoh dari setiap anggota.
Mereka mulai menanam jahe. Dengan semangat empat lima, bibit jahe merah di tanam. Anggota C4 berharap akan meraih untung. Ternyata buntung yang di dapat. Bapak Salestianus Salawin asal Pahuman sebagai motor penggerak bukan tipe orang yang mudah menyerah.
Mereka turun rembuk. Lahan kembali ditanami dengan terong. Ternyata hasilnya tidak memuaskan. Berputus asa dan kecewakah mereka? Berhenti berkebun mereka ini? Sama sekali tidak. Mereka berpikir dan bertindak. Sumur di gali. Mesin pompa, paralon dan lain-lain disiapkan. Termasuk membayar seorang petani yang siap dua puluh empat jam di tempat.
Sejauh mata memandang setiap petak gundukan tanah (bedeng) dibenamkan paralon. Air mengalir melalui paralon menyirami akar tanaman. Lembaran plastik buram menutup permukaan kecuali untuk tanaman yang ditanam. Ternyata ada pupuk dan sekam dibalik plastik tadi. Mereka menggunakan pupuk kandang.
Ada beberapa jenis tanaman yang mereka tanam. Ada mentimun. Ada timun suri. Ada timun dan ode Kalimantan. Kemudian di bawah rimbunan tanaman mentimun di tanam pula bibit cabe. Kini timun telah mulai berbuah dan dipanen.
Awalnya hanya dua ratus kilo, meningkat menjadi delapan ratus kilo. Dan akan terus meningkat selama dua bulan mendatang. Diperkirakan hingga panen berakhir sekitar enam puluh tonan. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil. Pembeli datang dengan penawaran harga yang menguntungkan.
Panen timun nantinya akan berakhir karena batas waktu. Setelah itu akan di panen timun suri, timun Kalimantan dan Ode kalimantan bertepatan dengan bulan puasa. Berlanjut akan ada panen cabe bertepatan dengan hari Raya Lebaran. Siklus penanaman akan terus dilakukan.
Apakah program lainnya dari C4? Program jangka Panjang sebagaimana yang dikatakan oleh Salestinus Salawin, akan menanam tanaman Sargum. Menanam terong asam dan beternak sapi atau kambing. Ini Program yang sangat brilian dan Fantastis untuk komunitas Dayak di C4. C4 itu menunjuk dimana Dayak Kalibar bermukim yang meliputi Cileungsi, Cibubur, Cibinong dan Citeureup.
Dengan melihat semangat, prospek, program dan hasil dari kebun C4. Tidaklah keliru jika Komunitas Dayak Kalbar di wilayah lain meniru atau menjiplak. Pertanian di Jonggol tersebut sangat modern. Lahan diolah dengan profesional setelah sebelumnya gagal panen.
Berwisata, panen dan belajar bertani secara modern kebun C4 tempatnya. Silahkan anggota FDKJ di wilayah lain berkunjung dijamin akan mendapatkan ilmu.
Selesai berbincang-bincang dengan Bapak Salestinus Salawin dan Bapak-bapak yang lain. Kami bergegas pulang dengan membawa hasil dua bal plastik besar berisi buah mentimun. Tidak ada yang gratis, kecuali makan ditempat. Harganya jauh lebih murah dibandingkan jika membeli di pasar tradisional.
Dalam mobil saya berpikir sekiranya anggota FDKJ memiliki keluarga seorang kades di Kalbar dapat kiranya mengadakan studi banding. Melalui perkebunan modern Dayak di tanah Borneo tidak lagi bermental pembeli tetapi penjual apalagi Ibu Kota Negara (IKN) ada di tanah Borneo.
Sebelum beranjak dari Kebun C4, Bapak Salestianus Salawin mengajak kami mampir ke rumahnya. Kami membuntuti dari belakang. Sempat berhenti di salah satu Indomaret. Terkejut sudah pasti. Bapak Salestinus keluar dan menghampiri kami.
Katanya musik di indomaret memperdengarkan lagu Dayak Kalbar. Herdianus pun masuk ke dalam Indomaret. Dipikir karyawan atau pemiliknya orang Dayak. Ternyata salah satu karyawannya menyukai lagu khas Dayak.
Kami beriringan menuju rumah Bapak Salestianus Salawin. Rumahnya yang baru dibangun, ternyata satu area dengan gudang dan tempat pembuatan furniture. Gudang dan tempat pembuatan furniture adalah miliknya.
Masih di area sekitar rumah dibangun kantor CU untuk anggota FDKJ Se-Jabotabek. Lama kami berbincang. Banyak hal yang di gali dan didapatkan dari pengalaman hidupnya.
Membangun usaha dari keringat sendiri. Ternyata Bapak yang beristri orang Jawa ini memiliki beberapa hektar kebun yang juga telah menghasilkan nilai rupiah yang tidak sedikit.
Doa kami naikkan sebelum menuju mobil. Perjalanan dilanjutkan. Singgah di tempat Bapak Herdianus. Ternyata di serambi depan ada warungnya. Di sisi kanan ada gudang. Di belakang ada usaha rumah tangga. Di belakangnya lagi ada lahan luas.
Dari Tempat Herdianus kami menuju Kembangaan Utara, mampir di Pecel lele. Singgah di Pom Bensin. Berlanjut ke tempat Bapak Miming dan Bapak Budi bermukim. Kami pun berbagi hasil “Jarahan” baik mentimun maupun Cabe.
Dengan motor butut dan alat penerangan yang mati total kecuali lampu sen, saya menuju Penjaringan di mana anak istri sudah menanti. Dalam hati sambil berhati-hati sepanjang jalan, terbesit buah pemikiran “jika Dayak Kalbar di tempat perantauan memiliki visi-misi, kreatif dan tidak mudah menyerah, dipastikan tidak akan pulang kampung.
Tidak kembali menyadap karet, menuntut tanah warisan kepada keluarga. Tidak menjadi beban keluarga dan keprihatinan bagi sesama komunitas. Khusus Dayak Kalbar bermodal nekat yang bukan latar belakang PNS, orang kaya dan politisi. Pemikiran ini membayangi dan tidak lepas dari pengalaman perkunjungan di perkebunan C4.
***
Bionarasi
Paran Sakiu, S.Th., M.Pd. dilahirkan di Mentonyek pada 19 Maret 1971. Guru PAK di SMPK Rahmani, pegiat literasi.
Gembala Sidang GKRI Epifania Penjaringan, Jakarta Utara.
Menulis dan menerbitkan buku:
1. Menimba dari Sumur Yakub (Tangerang, 2019)
2. Kumpulan Cerpen: Hari Terakhir (Tangerang, 2020)
3. Kumpulan Cerpen: Seusai Pesta Naik Dango (Tangerang, 2021)
4. Panglima Jilah (Tangerang, 2022)
Aktif menulis untuk www.detikborneo.com.
Menikah dengan Okseviorita dan telah dikarunia tiga orang anak, menetap di penjaringan, Jakarta Utara.