
Singapura, detikborneo.com — Upaya Indonesia dalam membangun kohesi sosial melalui Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) menuai pujian internasional. Dalam forum bergengsi The International Conference on Cohesive Societies (ICCS) yang digelar di Singapura pada 24–26 Juni 2025, Presiden Singapura Tharman Shanmugaratnam secara khusus menyoroti keberhasilan program tersebut sebagai model unggulan dalam memperkuat harmoni di masyarakat multikultural.
“Program LKLB yang dijalankan oleh Institut Leimena telah melatih 9.000 guru untuk mengajarkan keberagaman agama di Indonesia, menghapus stereotip masa lalu, dan menumbuhkan rasa saling menghormati,” ungkap Presiden Tharman dalam pidato pembukaan konferensi di Raffles City Convention Centre, Selasa (24/6).
Konferensi ICCS tahun ini mengusung tema “Cohesive Societies, Resilient Futures” dan diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta dari sekitar 50 negara. Acara ini diselenggarakan oleh S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) dan didukung Kementerian Kebudayaan, Masyarakat, dan Pemuda Singapura. Tujuan utamanya adalah mendorong praktik multikulturalisme serta menjawab tantangan keberagaman di era polarisasi sosial yang semakin tajam.

Indonesia turut mengirimkan delegasi penting, termasuk Menteri Agama Nasaruddin Umar yang menjadi pembicara pleno, serta Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, yang dijadwalkan mempresentasikan program LKLB pada sesi showcase hari Kamis (26/6).
“Saya senang (Institut) Leimena hadir dalam konferensi ini dan akan berbagi pengalaman mereka,” tambah Presiden Tharman.
Menurut Matius Ho, undangan ini merupakan pengakuan atas kontribusi Indonesia dalam merawat kohesi sosial melalui pendidikan lintas iman. Sejak 2020, Institut Leimena telah bekerja sama dengan lebih dari 30 lembaga pendidikan dan keagamaan, termasuk Masjid Istiqlal, untuk memperkuat pemahaman lintas agama di kalangan pendidik. Hingga kini, lebih dari 10.000 guru telah mengikuti pelatihan LKLB.
“Program ini dikembangkan untuk membangun rasa saling percaya dengan menanggulangi prasangka dan stereotip terhadap mereka yang berbeda,” ujar Matius. Ia menekankan bahwa program ini melangkah lebih jauh dari dialog antaragama konvensional dengan membekali guru kemampuan kolaboratif—kerja sama dengan mereka yang berbeda kepercayaan untuk tujuan bersama, tanpa menghapus identitas masing-masing.
Dalam sesi presentasi mendatang, dua guru alumni LKLB dari sekolah Islam dan Kristen akan berbagi kisah nyata kolaborasi mereka di dunia pendidikan, membuktikan bahwa harmoni bukan hanya bisa diajarkan, tetapi juga dipraktikkan.
Matius juga menyoroti bahwa apa yang disampaikan Presiden Singapura selaras dengan Visi dan Strategi ASEAN 2045 yang ditegaskan pada KTT ASEAN di Kuala Lumpur bulan lalu. Dalam strategi tersebut, literasi keagamaan lintas budaya disebut sebagai kunci menuju komunitas ASEAN yang inklusif dan kohesif.
“Kami percaya bahwa pengalaman Indonesia ini dapat menjadi referensi bagi negara-negara tetangga di ASEAN dalam menjaga keberagaman sebagai kekuatan, bukan sumber perpecahan. Dalam situasi dunia yang makin terpolarisasi, solidaritas Asia Tenggara adalah hal yang amat penting,” pungkas Matius.
(Press Rilis ICCS/YM/Bajare007)