26.5 C
Singkawang
More
    BerandaFeaturesSambas, Tiga Suku dari Bahasa Hakka (1)

    Sambas, Tiga Suku dari Bahasa Hakka (1)

    | Penulis: R. Masri Sareb Putra

    Tahun 1997. Ketika baru pecah kerusuhan Sambas. Saya diundang menjadi narasumber di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Pesertanya kebanyakan jenderal, selain perwira menengah. Juga para akademisi. Saya memaparkan makna di balik asal usul nama “Sambas”.

    Banyak orang belum mafhum. Dari mana etimologi, sekaligus etiologi, Sambas. Ada tiga suku dominan di sana. Yakni Dayak, Melayu, dan Cina di pesisir utara Kalbar itu.

    Lalu menjelaskan, mengapa tiga suku bersekutu. Bukan tidak ada legenda serta asal muasal duduk perkara historisnya.

    Saya merasa. Bahwa diskusi dengan para-bintang amat berkesan. Mereka mendegar paparan kita dengan saksama. Lalu bertanya, dengan kesungguhan. Bertanya menguji sangat berbeda dengan bertanya ingin tahu.

    Ketika itu, saya memaparkan topik khusus yang sedang aktual lagi panas. Tentang casus belli kerusuhan Sambas. Asal muasal nama “Sambas”, mengapa satu suku diserang, dua lain membantu? Sampai kepada sejarah sosial Sambas dan Kalbar pada umumnya.

    Untuk topik Papua, senior saya sesama insan KKG (Kompas Gramedia) Manuel Kaisiepo. Ia dikenal sebagai wartawan bidang politik yang tangguh. Untuk Aceh, ada pakarnya Hasballah M. Saad. Yang saya ingat, kedua narsum satu podium kemudian jadi Menteri. Kaisiepo, senior saya di Kompas –wartawan Politik– Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Sedangkan Hasballah Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia. Keduanya menteri Kabinet Persatuan Nasional era Gus Dur.

    Hanya saya yang belum beruntung diangkat Menteri oleh Gus Dur. Tapi yang merasa menteri juga. Sebab malang melintang ke rumah pribadinya tanpa halangan di Ciganjur, Jakarta Selatan. Ketika menulis buku Matori Abdul Djalil: dari NU untuk Kebangkitan Bangsa (PT Grasindo, 1999), ISBN 979-669-569-3.
    ***
    Tapi bukan itu topik kita. Saya ingin menjelaskan asal muasal “Sambas”. Paper saya waktu itu berbahasa “Dayak internasional”. Saya kutip saja aslinya. Yang kemudian dimuat harian The Jakarta Post. Antara lain saya menulis ihwal yang demikian ini:

    As known, the Dayaks, Malays, and Chinese are the majority tribe of West Kalimantan. Of the three tribes that formed the word “Sambas” which means: three tribes (sam = three, bass = tribe). This etymology comes from the Hakka (Khek) language used everyday conversations in Sambas.

    Outsiders often confused, why the three tribes were able to get along. But I do not. I am knowledgeable, long before Indonesian independence, the three tribes have agreed. Will support each other if there is need. If one tribe attacked outside parties, other tribes must help.

    Hence, the Riot Sambas, casus belli was a private dispute originated from the Malayo-Madura. But then so massive and involve other tribes. There is history. All three tribes have agreed to an alliance since colonial times.

    Pada 1812. Terjadi perang antara tentara Inggris melawan kerajaan Sambas. Inggris berhasil masuk kota raja. Lalu membumihanguskan sebuah kampung sehingga kemudian dijuluki “Kampung Angus”. Tiga suku di situ pun bersumpah untuk saling membantu, jika salah satu suku diserang.

    Khusus Pembaca portal berita dan informasi ini. Saya sarikan saja paper itu ke dalam bahasa kita.

    Kompeni Belanda, melalui bendera VOC-nya, mulai berhubungan secara intensif dengan kerajaan-kerajaan di Borneo sejak abad 16. Pada 1604, VOC mendarat di wilayah kerajaan Tanjungpura dengan maksud mengadakan hubungan niaga, ingin membeli intan Kobi, intan pusaka di kerajaan Landak, tidak jauh letaknya dari Jangkang.

    Pada 1822, pasukan VOC dipimpin C. Muller berniat menaklukkan kerajaan Sukadana, namun mendapatkan perlawanan sengit dari raja Muara Mursiddin sehingga VOC berpaling ke wilayah kerajaan lain. VOC sempat ke Tayan, namun juga mendapatkan perlawanan raja lokal dengan dibantu oleh panglima-panglima perang dari daerah Jangkang yang dikenal gagah berani, terampil, lagi sakti mandraguna. Salah satu “macan” dari Jangkang yang aktif membantu melawan pendudukan kompeni adalah macan Luar yang di kemudian hari digelari “Kek Gila”.

    Inggris melalui bendera EIC-nya berhasil mendirikan Kantor Dagang di Matan (kerajaan Tanjungpura) sekitar abad XVII. Namun, karena bersaing ketat dengan VOC, Inggris terpaksa menyingkir. Pada 1812 terjadi perang antara tentara Inggris melawan kerajaan Sambas. Inggris berhasil masuk kota raja. Lalu membumihanguskan sebuah kampung sehingga kemudian dijuluki “Kampung Angus”.

    Diperkirakan inilah awal mula Sambas terbentuk menjadi sebuah wilayah yang solid, didukung tiga suku besar yang bermukim di sana yakni Melayu, Dayak, dan Cina. Sambas berasal dari dialek Cina setempat, Hakka. Yakni dari kata sam yang berarti tiga dan bas yang berarti suku. Jadi, ketiga suku di wilayah yang diserang Inggris tadi bersepakat: jika salah satu diserang, yang lain wajib membantu.

    Akar pertalian sejarah itu bisa menjelaskan, mengapa pada 1997 suku Melayu yang berseteru dengan pendatang. Lalu menyeret Dayak dan Cina. Ya, dari sejarah asal muasal Perjanjian 1812 dan etimologi dan semantik kata “Sambas” tadi!

    ***
    SAMBUTAN floor ketika itu luar biasa.
    Masih segar dalam ingatan. Usai turun dari podium, Jenderal Agum menghampiri. “Terima kasih. Luar biasa, bung!”

    Agum Gumelar memeluk erat. Dan menepuk-nepuk bahu saya. Sejak itu, saya banyak diskusi dengan para jenderal. Kemudian diundang jadi dosen tamu di Sekolah Tinggi Hukum Militer, di bilangan Salemba.

    Saya suka diskusi dengan perwira. Santun dan rasional.

    Dalam banyak hal, konsepsi dan ideologinya sama. Mereka kawan kita dalam hal berbangsa dan bernegara. Saya mendapat umpan balik dalam banyak hal. Termasuk petuah, dan nasihat, mengenai kerusuhan dan pemberontakan.

    Tapi terkait hal itu, kiranya akan dinarasikan pada tulisan yang akan datang. (Bersambung).

    ***

    Bionarasi

    WhatsApp Image 2021 08 06 at 10.27.34

    R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.

    Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.

    Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita