26.3 C
Singkawang
More
    BerandaSosokTitus Madju, Guru yang Berpikiran Maju

    Titus Madju, Guru yang Berpikiran Maju

    | Penulis: Amon Stefanus

    Di sela-sela kegiatannya sebagai guru Madju juga ikut berladang seperti guru-guru lainnya. Dengan berladang, Madju tidak perlu membeli beras. Selain berladang kegiatan lain yang ia lakukan adalah main bola. Guru Madju dan kawan-kawan memiliki klub sepak bola sendiri yang bernama Kesebelasan BUKABA. Bukaba adalah singkatan dari Bukang-Karab-Banjur, tiga kampung tempat para pemain itu berasal. Kesebelasan ini sering menang ketika bertanding dengan kesebelasan dari kampung lain.

    Pada Tahun Ajaran 1963/1964 Guru Madju mengajar di kelas 6. Sebagai guru kelas 6, maka pada tahun itu Guru Madju harus mengantar anak-anak mengikuti ujian nasional ke Ketapang. Karena SD Banjur Karab ini tergolong masih baru, maka ketika ujian harus menginduk ke SD lain.  

    Perjalanan dari Banjur Karab menuju Ketapang melewati Teluk Melano dengan naik perahu tanpa mesin. Diperlukan waktu 2 hari 2 malam baru sampai ke Teluk Meano.  Dari Teluk Melano berjalan kaki dan bermalam di Sukadana. Dari Sukadana berjalan kaki lagi menuju Ketapang. Berangkat pagi dan sudah malam baru sampai ke Ketapang. Di Ketapang mereka menginap di rumah Persatuan Dayak (PD) di Jalan Saunan.

    Setelah mengikuti ujian selama tiga hari, anak-anak pulang ke Banjur Karab lagi melewati Teluk Melano. Mereka ditemani oleh salah satu orang tua murid. Sedangkan Guru Madju langsung naik motor air pulang liburan ke Kampungnya di Menyumbung.

    Di kampung ia menikah dengan gadis sekampungnya yang bernama Ana Monika Bue.  Pada 22 Agustus 1965 lahirlah anak pertama mereka, Emilia Liberty. Setelah berkeluarga, ia merasa bahwa beban hidupnya semakin bertambah. Karena merasakan gajinya kecil dan tidak memadai untuk membiayai keluarga kecilnya, maka Madju memutuskan untuk berhenti menjadi guru. Pada waktu itu penghasilan penyadap karet lebih besar dibandingkan dengan gaji seorang guru.

    Pada 30 September 1965 terjadi peristiwa Gestapu PKI. Suasana ketakutan sampai ke pelosok negeri. Di suatu pagi di bulan November Pastor Theopile, pastor Paroki Menyumbung datang ke rumah Madju.

    “Guru Madju, kau harus pulang ke Banjur-Karab,” kata Pastor Theopile membuka pembicaraan.

    “Mengapa saya harus pulang ke sana Pastor?” tanya Madju ingin tahu.

    “Tadi malam saya mendengar siaran radio Belanda. Dalam berita itu dikatakan pemerintah Indonesia akan menumpas habis para pemberontak. Bagi mereka yang mangkir dari tugas negara 3 bulan sebelum Gestapu atau 3 bulan setelah Gestapu, maka ia akan ditangkap karena dianggap sebagai orang yang pro pemberontak,” demikian terang Pastor Theopile.

    “Lalu apa yang harus saya lakukan?” tanya Madju.

    “Besok saya akan antar kalian sekeluarga ke Banjur Karab,” demikian janji Pastor Theopile.

    “Baik Pastor. Malam ini kami akan berkemas-kemas,” kata Guru Madju.

    Keesokan harinya berangkatlah Guru Madju, istri dan anaknya yang baru berusia 1 bulan dengan diantar oleh Pastor Theopile menuju tempat tugasnya di SD Usaba Banjur Karab. Dari Menyumbung mereka diantar Pastor Theopile naik speed boat sampai Muara Sungai Laur.

    Dari Muara Sungai Laur naik motor air seorang pedagang Tionghoa menuju Sepotong. Karena sambil berdagang, maka motor air tersebut singgah di beberapa kampung seperti: Riam Bunut, Suka Ramai, dan Sungai Daka. Setelah tiga hari baru sampai di Kampung Sepotong. Dari Sepotong mereka berjalan kaki selama 5 jam baru sampai di Banjur Karab.

    Pada tahun 1966 datang 2 orang guru lulusan SGA Nyarumkop yaitu Matheus Entji Ulik dan Romanus Ignatius Tayso. Guru Entji berasal dari Kampung Bukang, sedangkan Guru Tayso berasal dari kampung Karab. Karena jumlah guru di SD Usaba Banjur Karab sudah memadai, maka guru Madju mengajukan diri kepada yayasan Usaba untuk pindah mengajar di kampungnya Menyumbung. Maka sejak tahun ajaran baru 1966/1967 guru Madju pindah mengajar di SD Usaba Menyumbung, sebuah sekolah yang juga didirikan oleh para misionaris Pasionis.

    Setelah 2 tahun pindah ke SDS Usaba Menyumbung, maka pada tahun 1968 ia diangkat menjadi kepala sekolah. Madju menjabat sebagai kepala sekolah selama 10 tahun hingga tahun 1978.   

    Karena terbuka peluang bagi para guru sekolah swasta untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, maka tahun 1980 guru Madju ikut melamar menjadi pegawai negeri. Setelah lulus menjadi pegawai negeri ia pindah ke SDN Menyumbung dan menjadi kepala sekolah di SD tersebut hingga tahun 1998.

    Pada pertengahan tahun 1980-an pemerintah mensyaratkan bahwa para guru yang ijazahnya setingkat SMP diharuskan mengikuti penyetaraan melalui Kursus Pendidikan Guru (KPG). Maka pada tahun 1984 -1985 guru Madju mengikuti KPG di Ketapang. Setelah lulus ia kembali lagi ke tempat tugasnya semula.

    Pada tahun 1998 guru Madju pindah mengajar di SDN Sengkuang, masih di Kecamatan Hulu Sungai. Di SDN Sengkuang ia menjadi kepala sekolah hingga pada tahun 2000.  Pada tahun 2002 Guru Madju memasuki purna tugasnya sebagai guru.

    Sebagai seorang guru, Madju termasuk orang yang berpikiran maju pada generasinya. Ia telah banyak melewati segala rintangan untuk mengubah kehidupannya lewat pendidikan. Selain mendorong para muridnya melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, ia juga ikut aktif mendorong masyarakat di kampungnya untuk mengikuti program CU. Pada gilirannya CU mampu mengangkat ekonomi masyarakat pedalaman dari keterpurukan.

    ***

    Bionarasi

    Amon Stefanus

    Amon Stefanus dilahirkan Banjur, Ketapang, Kalimantan Barat pada 18 Maret 1966. Guru SMP Santo Augustinus Ketapang.

    Telah menerbitkan 12 buku ber-ISBN. Beberapa tulisan dipublikasikan di Kompas, The Jakarta Post, Bernas, Pontianak Post, Majalah Hidup, dll.

    Artikulli paraprak
    Artikulli tjetër

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita