24.3 C
Singkawang
More
    BerandaBudayaSejarah Singkat Asal usul nama Desa Mentonyek & Penduduknya

    Sejarah Singkat Asal usul nama Desa Mentonyek & Penduduknya

    WhatsApp Image 2023 09 01 at 08.34.51 e1693567263747

    Jakarta, detikborneo.com – Dulu ada dua orang pemuda gagah yang ingin melihat dunia luar. Nama kedua pemuda itu adalah ne’Lete dan ne ‘ Jangar. Mereka pemuda pemberani asal Pahokng. Suatu hari setelah semua akomodasi dirasa cukup , mereka naik ke dalam perahu. Mereka hendak bepergian untuk menambah pengalaman hidup. Dayung pun dikayuh kiri dan kanan. Menelusuri sungai mempawah.

    Dari hulu menuju hilir. Semakin ke hilir sungai yang dilalui semakin lebar, deras dan dalam. Kicauan burung tidak pernah berhenti mengiringi dayungan perahu mereka. Kelokan sungai mereka telusuri. Pepohonan kiri dan kanan tebing sungai seolah menari -nari kegirangan atas keberanian mereka meninggalkan Pahokng. Tanpa takut dan gentar muara demi muara di lewati. Entah kenapa ada satu muara yang arus nya begitu kuat. Semakin kuat saja sehingga perahu tidak dapat dikendalikan . Ternyata ada pusaran air. Ne’Late dan Ne’ Jangar belum sempat melompat ternyata sudah masuk dalam pusaran air.

    WhatsApp Image 2023 09 01 at 08.34.52

    Herannya mereka menemukan dunia lain setelah masuk dalam pusaran. Mereka berjumpa dengan kakek tua yang membantu mengarahkan arah yang hendak mereka tuju. Mereka berdua diminta untuk mengambil ke arah hulu. ” Kalian berdua ambil arah ke arah hulu, dan perhatikan tanda-tanda airnya. Jika berwarna merah jangan kalian telusuri” demikian pesan kakek tua.

    Setelah mengucapkan terima kasih. Kedua pemuda dari Pahokng tersebut berpamitan. Mereka mengayuh dayungnya dengan penuh semangat. Perahu menelusuri sungai entah berapa mil jauhnya. Benar saja, sungai yang airnya berwarna merah tidak mereka telusuri. Mereka memilih arah Muara yang airnya bening.
    Berhenti sebentar untuk minum dan makan. Setelah itu mereka mendayung lagi dan lagi. Tibalah mereka di negeri asing. Sosok-sosok yang dijumpai sosok manusia.

    Pembedanya tidak ada hidung seperti layaknya hidup manusia pada umumnya. Kalau pun ada seperti segi tiga. Takutkah ne Lete dan ne Jangar? Tidak. Namanya juga untuk melihat dunia luar . Pastilah jenis manusia berbeda-beda demikian pikir mereka. Melihat ada tempat persinggahan dan keramahan dari seorang kakek tua yang menyapa di tepi sungai mendorong mereka untuk singgah. Mereka pun akhirnya benar-benar singgah. Awalnya mau beristirahat sejenak. Tidak tahunya lama. Bahkan kakek menawarkan dan berharap keduanya dapat menginap ditempat mereka.

    Perahu pun ditambatkan dengan ikatan tali yang cukup kuat. Ne Lete dan Ne Jangar tanpa curiga singgah di rumah kakek yang menyapa dan mempersilahkan naik ke rumahnya. Di rumah itu ternyata ada cucu kakek. Rupanya sang kakek mengasuh cucunya yang masih kecil.
    Sementara mereka menunggu diruang tamu, sang kakek memasak untuk kedua tamunya. Awalnya mereka tidak melihat keanehan sedikitpun di rumah itu. Seiring waktu cucu sang kakek terus merengek dan menangis. Awalnya tidak jelas permintaan cucu kepada sang kakek. Lama-lama jelas .
    ” kek aku mau bang moe, aku mau bang moe. Sekarang ke” pintar sang cucu.
    ” tidak sekarang, tunggu Bapak dan mama pulang” hibur sang kakek.
    Tetapi cucu tersebut tetap merengek mengulangi permintaan yang sama .
    Akhirnya ne Lete dan ne Jangar sadar. Bangmoe yang dimaksud rupanya buah pelir mereka berdua untuk dipetik dan dimakan. Pantas saja sang cucu sejak awal mereka datang selalu mengarahkan pandangan ke bawah pusar mereka.

    Mereka mencari siasat untuk melarikan diri. Mumpung masih tengah hari. Tetapi caranya gimana. Kalau berdiam diri dipastikan tidak selamat. Akhirnya kesempatan pun tiba. Setelah ngobrol selayaknya tuan rumah dengan tamu, tuan rumah berpamitan sekali lagi. Berpamitan untuk memasak makanan untuk sang tamu. Sambil menggendong cucunya sang kakek pun menuju dapur. Secepat kilat kedua pemuda pahokng tadi menuju belakang rumah, melepas tali pengikat perahu. Dengan sekuat tenaga dayung dikayuh kiri dan kanan. Perahu meluncur dengan cepatnya.

    Sadar tidak terdengar suara manusia di ruang tamu sang kakek bergegas. Ternyata benar saja sudah kosong melompong. Sang kakek mengambil langkah ke belakang rumah. Mata diarahkan ke semua penjuru sungai tidaj saja dimana perahu ditambatkan. Ternyata tidak ada juga. Ia melihat tanda-tanda bahwa dua orang tamunya melarikan diri. Ia lari sekencang mungkin dengan memegang tombak ke arah hulu. Benar saja kedua pemuda tadi terlihat sedang menelusuri sungai dengan gesitnya.

    Sang kakek berada di sisi kiri tebing. Perahu selalu berada di posisi tengah sungai. Kedua pemuda tadi tidak menyadari kalau sedang dalam pengajaran. Tiba-tiba sebuah tombak menyambar mereka. Untung saja tidak mengenai mereka berdua. Demikian juga perahunya. Tombak demi tombak diarahkan ke mereka berdua. Namun satu pun tidak ada yang mengenai. Sambil mengayuh mereka berdua berbagi tugas. Satu mengendalikan perahu, satu melakukan pembalasan.

    Entah siapa yang memegangi tombak. Kebetulan di dalam perahu sudah disiapkan tombak bermata satu yang dinamai Tihukng, yang lainnya bermata tiga yang disebut sarapakng. Sekali mengayunkan tombak menancap ke tubuh kakek tadi. Mereka terus saja mendayung dayungnya Tanpa lelah. Setelah merasa aman barulah perlahan-lahan. Mereka baru sadar ternyata mereka singgah di negeri hantu yang dinamai negeri bintianak.
    Untung saja mereka berdua cepat menyadari sehingga buah pelir mereka baik-baik saja dan hidup mereka selamat.Tidak tahunya mereka menelusuri sungai mempawah.

    Setelah sekian lama akhirnya mereka dapat melihat perkampungan. Mereka menambatkan perahunya. Betapa kagumnya ne Lete dan ne Jangar melihat pemandangan yang tidak biasa. Rumah yang mereka singgahi adalah rumah Maniamas. Halaman rumahnya penuh dengan emas. Mereka disambut dengan ramah. Bahkan mereka diterima dan tinggal dirumah tersebut. Sehari, seminggu dan akhirnya berbulan-bulan.
    Awalnya mereka tidak tahu sama sekali kalau ada anak perempuan cantik dirumah itu. Namanya Panu emas. Ia ditempatkan dilantai dua. Para’ nama tempatnya. Saat jamuan makan mereka berdua dihidangkan dengan sayur Pakis. Sayuran tersebut tidak di potong-potong. Tanpa sengaja mereka menengah.

    Ternyata ada seorang gadis yang sangat cantik. Itulah awal mereka berdua tidak beranjak kemana-mana. Mereka berdua jatuh cinta. Demikian juga dengan Panu amas.
    Entah siapa yang memulai. Dan bagaimana cinta terlarang itu terjadi. Semula berjalan normal. Wajar-wajar saja. Maniamas, hujan emas tidak curiga. Namun sepandai-pandainya tupai melompat sekali waktu jatuh juga. Sepandai-pandainya menutupi bau bangkai pasti tercium juga.

    Ternyata tidak biasa yang harusnya musim kemarau berubah menjadi musim penghujan. Tiada hari tanpa hujan. Terkadang pagi, terkadang siang, terkadang sore dan terkadang malam. Seminggu dan kini sudah beberapa minggu hujan tidak berhenti. Ada yang tidak beres. Benar saja perut Panu amas membuncit.

    Bukan karena cacingan apalagi kegemukan. Intrograsi dilakukan oleh Maniamas kepada Panu amas. Siapa gerangan yang membuat aib tersebut. Ternyata setelah Panu amas membuka mulut. Nama ne Lete dan ne Jangar yang disebutnya.
    Terjadilah kegemparan. Kedua laki-laki itupun diintrogasi. Herannya kedua-duanya mengakui. Kedua-duanya cinta kepada Panu amas. Kedua- duanya siap menjadi suami. Kedua-duanya tidak mau mengalah tetapi tidak juga mau bertarung. Namun tidaklah pantas satu perempuan dinikahi oleh kedua laki-laki sekaligus. Kedua-duanya bersepakat menikahi perempuan yang sama dihari yang sama pula. Kedua-duanya ingin yang terdepan. Ingin menjadikan Panu emas menjadi istrinya.

    Akhirnya mereka berdua menerima hukuman. Mereka harus membayar Sanksi adat yang berlaku. Namun apa daya tiada harta yang dipunya untuk memenuhi hukum adat sekalipun ne lete dan ne jangar menerima semua hukum adat.
    “Kami siap membayar, tetapi izinkan kami pulang ke kampung halaman. Kami akan bayar hukum adat karena demikianlah kami hidup. Lahir baradat, hidup beradat matipun beradat ” kata mereka seperti dikomando saat menanggapi hukum adat.

    “Itu mudah. kalian berdua naik ke atas, ke lantai dua. Lalu buka penutup atap dan kalian pasti tiba dinegeri kalian ” imbuh Maniamas.

    Ne lete dan ne Jangar tiba-tiba saling menatap. Ternyata mereka selama ini bukan hidup di negeri manusia. Setelah berpamitan mereka berdua pun naik ke atas. Membuka atap rumah. Dan ternyata benar saja mereka kembali ditanah Pahokng. Kembali ka kampung halaman.
    Betapa kaget ne Lete dan ne Jangar. Mereka hidup seperti dalam mimpi. Mereka kembali di alam nyata.
    Mereka berdua lupa ada kewajiban yang harus dipenuhi. Membayar adat. Tetapi mereka juga tidak tahu bagaimana harus kembali.

    Ternyata Maniamas geram. Ia menuntut balas. Memang tidak ada pembunuhan. Tidak ada sampar berupa penyakit kepada talino Pahokng. Ia melampiaskan amarahnya dengan memotong(sampokng) setiap rambut perempuan Pahokng. Yang menderita adalah para perempuan. Maka untuk menghindari pemotongan rambut penduduk melarikan diri. Berpindah rumah. Berpencar. Ada yang lari ke Sarape, Bawat, Sompe, tamiangan, nangka, Napal, Lirakng. Dan Saroa. Sedangkan yang menetap di Antus dan Marit adalah mereka yang menganggap itu hal biasa saja. Tindakan pemotongan rambut (Sampokng) perempuan oleh Maniamas disudahi dengan perjanjian upacara Ka guna lima tahutn sekali bagi talino Pahokng. Tempatnya di Antus. Ada lubang besar yang dipercaya tempat keluar masuknya maniamas dan awal keluarnya ne Lete dan Ne Jangar untuk kembali ka Talino.

    Talino Mantonyek Awalnya tinggal di Saroa. Dari Saroa ke mentonyek, dari mentonyek ke Lambu, dari Lambu ke ne Titi. Dari ne Titi ke taboyo( semua tempat yang disebutkan sekarang ini ada dibelakang kampung mentonyek dalam) dari taboyo ke Timawakng ( dataran atas di belakang gereja Bukit Zaitun)
    Ada ceritera mengiringi perpindahan dari sarowa ke mentonyek, lalu ke ne Titi dan berpindah ke lambu. Yaitu ada seorang suku Bugis yang sangat terkenal kesaktiannya. Berbagai senjata tidak mempan melukai tubuhnys. Dengan kesaktiannya ia dengan bebasnya meniduri istri atau anak gadis orang. Untuk menghindari segala hal yang tidak diinginkan maka dari Sarowa berpindah ke Mentonyek.

    Dari mana datangnya Bugis itu? Dari mempawah. Disana ada kerajaan melayu-Bugis. Mengapa bisa nyasar ke pahokng karena untuk ke kerajaan Pakana harus melewati Pahokng. Kerajaan Pakana zaman bahola cukup di kenal luas. Bahkan sekelas patih gajahmada pun sempat mengundang seluruh masyarakat termasuk dari Saroa untuk hadir memenuhi undangan di Pangkalatn. Karena dari manusia di saroa tidak hadir maka gajah mada menghamburkan batu larakngatn- diyakini tidak akan jadi apa-apa jika tidak keluar dari Saroa-cikal bakal Mentonyek.

    Mukim di Tinawakng akhirnya dianggap tidak membawa kehidupan. Harus berpindah tempat. Berawal saat memakan daging moyet yang di dapatkan sehabis membakar ladang di bukit sahabat. Musibah pun datang. Seperti sampar di Mesir setiap keluarga ada yang meninggal. Belum sempat di kubur sudah ada yang meninggal lagi. Tidak tahan dengan situasi itu maka dipanggil seorang Sobat yang pandai bertenung. Sobat itu berfisik Bangkok.ia menenung bahwa yang layak ditempati adalah dari rumah Sibo hingga Antiti.

    Dibangunlah rumah di sibo dan Antiti. Maka orang tua zaman dulu menyebut tempat mukim itu adalah Bongkok sesuai nama Sobat yang diminta jasanya.
    Seiring waktu terus berkembang dan berkembang.
    Di Simpang Mentonyek ada keluarga Sobat yang mukim yakni Asiu,Amen, dan Asao.

    Kemudian dari mentonyek dalam beberapa keluarga ikut berpindah ke simpang Mentonyek. Tahun delapan puluhan ada proyek sosial yang dimotori Pak Iyos. Memilih lokasi di Pate. Dibangunlah perumahan berblok-blok dengan nama Pate Jaya Mentonyek. Maka gabungan dari berbagai kampung ditampung di sana. Ada dari Mentonyek, dari simpang mentonyek, dari Totong, Karask, Balida dll.

    Kini kampung mentonyek tidak lagi berlokasi ditempat yang sekarang. Jangkauannya sudah semakin luas. Demikian juga dengan penduduknya Terutama di simpang Mentonyek yang biasa dilabeli Menteng(Mentonyek tengah) sudah dari mana-mama. Mereka menjadi penduduk
    Mentonyek. Dari kampung berubah menjadi desa yang terdiri dari beberapa dusun. Namanya desa Mentonyek. Dulu sebutannya Mantonye’. Untuk mempermudah penulisan maka menjadi Mentonyek. Mentonyek meliputi dusun sahabat, dusun pate Jaya, dan dusun Lirakng. Jumlah manusianya sudah ribuan jiwa. Demikian dikisahkan awal mentonyek dan penduduknya.

    (Paran Sakiu)

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita