24.9 C
Singkawang
More
    BerandaBudayaMaruba Menguak Asal-muasal Kerajaan Hulu Aik

    Maruba Menguak Asal-muasal Kerajaan Hulu Aik

    detikboreneo.com – 28/06/2021

    | Penulis: Thomas Tion | Humas Kerajaan Hulu Aik

    Maruba adalah upacara adat membersihkan pusaka Kerajaan Hulu Aik. Maruba diadakan setiap tahun pada tanggal 25 Juni.

    Satu per satu masuk ruang situs pusaka Raja Hulu Aik. Yang pertama masuk adalah Ucit (Sutaragi Kerajaan Hulu Aik). Disusul Yohanes (Domong Mantir Kerajaan Hulu Aik), Petrus Singa Bansa (Raja Hulu Aik ke-51 bersama permaisuri dan beberapa pengawalnya,  

    Patih Jaga Banua, Raden Cendaga Pintu Bumi Alexander Wilyo, Suherman, SH, MH (Pj. Sekda Ketapang, mewakili Bupati Ketapan) dan Alfino DJ (videographer). Hanya itu yang boleh masuk ke ruang situs pusaka Kerajaan Hulu Aik.

    Begitulah suasana puncak acara Maruba di Istana Raja Hulu Aik, di Laman Sengkuang, Deea Benua Krio, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, 25 Juni 2021.

    Di ruang situs pusaka Raka Hulu Aik itu, Raja Singa Bansa membuka peti pusaka, yang di dalamnya tersimpan sebilah keris ukuran kecil, yang lazimnya disebut Bosi Koling. Raja Bansa juga mengeluarkan barang pusaka lainnya, yang merupakan pusaka pendamping Bosi Koling.

    Barang pusaka lainnya itu antara lain, (1) Tungkat Rakyat (dari kayu ulin/belian), (2) Piring Pemali (piring antik ukuran besar), (3) Jangka Damar (alat untuk menghidupkan api damar), (4) Batu Udang, (5) Batu Buntal, (6) Puntung Berasap (unggun tembaga), (7) Tempayan Pemandik.

    Sedangkan dua jenis barang pusaka pendamping Bosi Koling lainnya sudah tidak bisa dihadirkan lantaran sudah hilang. Menurut Singa Bansa, Raja Hulu Aik ke-51, Batu Beranak, menurut kisahnya masih dipinjam warga Kerajaan Hulu Aik di tempat lain sebagai keramat.

    Yang satunya lagi, Kain Kelambu Potang hilang secara gaib saat kematian Raja Hulu Aik ke-50. Kala itu, Kelambu Potang lupa diamankan. Sejatinya, saat Raja Hulu Aik ke-50 meninggal dunia dulu, Kelambu Potang yang tersimpan di atas bumbungan istana raja itu harus dipindah atau diamankan ke tempat lain. Karena lupa memindahkannya, maka Kelambu Potang itu pun hilang secara gaib.

    “Awalnya, barang pusaka itu terdiri dari Bosi Koling sebagai pusaka utama didampingi 9 pusaka lainnya, Tungkat Rakyat, Piring Pemali, Jangka Damar, Batu Udang, Batu Buntal, Puntung Berasap, Tempayan Pemandik, Batu Beranak dan Kelambu Potang,” tutur Raja Singa Bansa.

    Di ruang pusaka, sebelum membersihkan pusaka Bosi Koling, Raja Singa Bansa terlebih dahulu harus menutup matanya dengan kain khusus. Setelah mata tertutup, Raja Singa Bansa pun membuka peti pusaka dan membersihnya dengan minyak khusus yang terbuat dari kelapa. Usai membersih Bosi Koling, Raja Hulu Aik pun membersih barang pusaka lainnya.

    Setelah menari adat di ruang situs, Raja Singa Bansa beserta rombongan keluar dari ruang situs menuju ke Pangkalan Raja Hulu Aik, di tepian Sungai Krio untuk melanjutkan upacara adat Buang Sial. Ritual buang siak ini diawali dengan doa secara adat oleh Raja Singa Bansa.

    Usai berdoa secara adat, Raja Singa Bansa pun menghamburkan semangkok beras kuning, lalu disertai dengan tembakan senapan. Bertepatan dengan itu, warga yang hendak buang sial pun langsung menceburkan diri ke Sungai Krio.

    Setelah ritual buang selesai, acara Maruba dilanjutkan dengan ritual Timang Tanduk. Pada acara ini Raja Singa Bansa dan tamu-tamu  kehormatan raja minum tuak dengan tanduk, sambil menari adat secara bergilir-ganti, selama lima putaran. Satu putaran menari adat terdiri empat penari, dua laki-laki, dua perempuan atau dua pasang. Raja Singa Bansa dan permaisuri menari adat dan minum tuak di tanduk pada putaran putaran kelima, putaran terakhir.

    Setiap putaran, usai minum tuak di tanduk, para penari kemudian didoakan secara adat. Mantir adat (petugas khusus) mengipas-ngipas ayam di atas kepala setiap penari secara bergiliran, sambil memanjatkan doa-doanya.

    Rangkaian upacara adat Maruba tiap tahun selalu diawali acara pembukaan yang diadakan malam sebelum hari pelaksanaannya, esok harinya. Pada acara pembukaan ini, Raja Hulu Aik mengumumkan banyak hal terkait dengan pelaksanaan Maruba, seperti para personil dan persiapan sesajiannya.

    Hari “H” Maruba diawali acara Meramu (mencari bambu untuk bahan sesajian). Petugas meramu sendiri ada lima orang: empat perempuan, satu laki-laki. Petugas ini pergi ke hutan untuk mencari buluh atau bambu secukupnya untuk bahan sesajian.

    Ucit (Sutaragi Kerajaan Hulu Aik), yang memimpin ritual Maruba menjelaskan, Maruba ini adalah upacara adat membersihkan pusaka Kerajaan Hulu Aik. Maruba Kerajaan Hulu Aik ini diadakan setiap tahun pada tanggal 25 Juni.

    Raja Singa Bansa menambahkan, Maruba adalah salah satu tradisi Kerajaan Hulu Aik. Maruba ini diadakan untuk mengetahui beberapa hal. Pertama, untuk mengetahui keadaan alam, musim hujan atau musim kemarau. Kedua, Maruba adalah bagian dari adat-istiadat Dayak.

    Raja Singa Bansa pun menjelaskan, Kerajaan Hulu Aik memiliki lima rutinitas adat. Pertama, Bacampui Roba, upacara adat membakar ladang. Kedua, Bacampui Makan Bayam-Sawi, upacara adat makan sayur-sayuran. Ketiga, Bacampui Puyak Kanukng Padi, upacara adat padi bunting. Keempat, Bacampui Maharu Padi Baru, upacara adat makan beras baru. Kelima, Maruba, membersihkan pusaka Kerajaan Hulu Aik.

    Pada Maruba tahun ini, terang Raja Singa Bansa, kita bisa melihat bagaimana situasi dan kondisi tahun ini. “Keadaan tahun ini, separuh hujan, separuh panas. Situasi pun boleh dikatakan aman,” ujar Petrus Singa Bansa, Raja Hulu Aik ke-51.

    Rencana Pembangunan Istana

    Maruba tahun ini, dilontarkan juga wacana untuk membangun Istana Raja Hulu. Wacana ini disampaikan oleh Patih Jaga Banua, Raden Cendaga Pintu Bumi Alexander Wilyo selaku Patih Jaga Banua, saat memberi sambutan, mewakili Raja Singa Bansa, Raja Hulu Aik ke-51.

    Wacana untuk membangun istana Raja Hulu Aik ini mendapat sambutan dari Drs. Heronimus Tanam, ME, Ketua Umum DAD Ketapang. Dalam sambutannya, Heronimus Tanam mengatakan, DAD berkomitmen untuk mendukung rencana pembangunan istana Raja Hulu Aik, dengan syarat lokasi yang memadai tersedia.

    Ia pun berharap agar struktur kelembagaan Raja Hulu Aik pun harus ditata kembali. “DAD dalam beberapa tahun belakangan ini masih fokus pembangunan rumah adat. Ini merupakan salah satu program DAD Ketapang. Ke depan, saya berharap tidak hanya pembangunan istananya, tetapi juga pembenahan struktur kelembagaan Raja Hulu Aik itu sendiri,” tandas Heronimus Tanam.

    Sambutan positif pun datang dari Suherman, SH, MH, Pj. Sekda Ketapang. Dikatakan Suherman, soal Kerajaan Dayak, faktanya ada Kerajaan Hulu. Ada Raja Senggaok, tapi situs dan penerusnya sudah tidak ada. “Kerajaan Hulu Aik harus kita pertahankan dan kita lestarikan,” ujar Suherman.

    “Terkait dengan tanggung jawab Pemda. Kegiatan Raja Hulu Aik dan insfrasrtuktur menjadi tanggung jawab Pemda. Pemkab Ketapang pun tetap berkomitmen untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur,” tukas Suherman.

    Mengangkat Patih Jaga Pati

    Maruba tahun 2021 ini berbeda dengan Maruba tahun-tahun sebelumnya. Pada Maruba tahun ini, Raja Singa Bansa, Raja Hulu Aik ke-51 melantik dan mengukuhkan Patih Jaga Banua Alexander Wilyo sebagai Patih Jaga Pati Desa Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik. Acara ini berlangsung di rumah kediaman Raja Hulu Aik, 26 Juni 2021.

    Pelantikan Patih Jaga Pati Desa Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik ini dilakukan dengan ritual adat Kisar Pesalin, yang dipimpin oleh Florianus Sudirnus (54), Demong Mantir Laman Sengkuang.

    Prosesi Kisar Pesalin diawali dengan Bebisau-beibu. Demong Mantir mendoakan Patih Jaga Banua Alexander Wilyo secara adat. Sambil mengucapkan doa-doa adat, Demong Mantir mengipas-ngipaskan ayam.

    Usai Bebisau-beibu, Demong Mantir Sudirnus melakukan Kisar Pesalin.

    Barang pesalinnya adalah piring penunduk taring todung dan tepayan pemungkam lidah hantu. Oleh Mantir Demong Sudirnus, kedua barang pesalin tersebut dikisar di atas kepala Patih Jaga Banua Alexander Wilyo. Acara kisar pesalin ini diiringi dengan musik gamalan dan bunyi tembakan.

    Setelah acara kisar pesalin, dilanjutkan pengangkatan Patih Jaga Banua Alexander Wilyo sebagai Patih Jaga Pati oleh Raja Singa Bansa, Raja Hulu Aik ke-51. Sambil berdiri, Raja Singa Bansa pun membacakan teks pengangkatan Patih Jaga Pati. Selesai itu, Raja Singa Bansa menyerahkan bendera pusaka Patih Jaga Pati Desa Sembilan Domong Sepuluh kepada Patih Jaga Banua Akexander Wilyo.

    Mantir Demong Sudirnus menjelaskan, Patih adalah orang yang mampu ke luar – ke dalam. Dalam bahasa adatnya, kompang ke beruang, berani ke babi, tanduk tinggi taring tajam. Pati adalah adat tertinggi dan terbesar di Desa Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik. Pati juga berarti adil dan bijaksana. Bijak, dalam bahasa adatnya, pemupuh (pemukul) jangan patah, tanah jangan longgam (berbekas), ular jangan mati.

    Dijelaskan Sudirnus, tugas utama Patih Jaga Pati adalah melestarikan budaya, adat dan istiadat. “Karna, masyarakat yang sudah melupakan budaya dan adat-istiadat,” kata Sudirnus.

    “Dengan piring penunduk taring todung dan tepayan pemungkam lidah hantu, diharapkan, ketika Patih Jaga Pati bicara, orang akan tunduk, taat, mendengar apa yang dia katakan. Karena itu, piring pesalin tersebut bisa dijadikan barang pusaka,”  terang Mantir Demong Sudirnus.

    Raja Singa Bansa menegaskan, pengangkatan Patih Jaga Pati ini bukanlah tidak beralasan. Pengangkatan Patih Jaga Pati ini adalah kebutuhan. Kerajaan Raja Hulu Aik membutuhkan orang yang peduli dengan Dayak. Kepedulian terhadap Dayak itu ada dalam diri Patih Jaga Banua, Raden Cendaga Pintu Bumi Alexander Wilyo.

    “Patih Jaga Banua Alexander Wilyo adalah orang Simpang Hulu, yang merupakan wilayah Desa Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik. Saya sangat menaruh harapan agar Patih Jaga Banua bisa memajukan Dayak,” tandas Raja Singa Bansa

    Menanggapi harapan Raja Hulu Aik itu, dalam sambutannya, Patih Jaga Pati Desa Sembilan Domong Sepuluh mengatakan, tugas yang diberikan oleh Raja Hulu Aik itu adalah amanah untuk menjaga harkat dan martabat bangsa Dayak. Patih Jaga Pati Alexander Wilyo mengaku memang punya semangat untuk berjuang demi kedaulatan Dayak. “Mari bersatu demi Dayak,” ajak Alex, sapaan akrabnya.

    Patih Jaga Pati, Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua Alexander Wilyo pun berkomitnen untuk menata kembali Kerajaan Hulu Aik. “Saya ingin menata struktur kelembagaan adat Dayak dengan tersentral ke Raja Hulu Aik. Mari kita bersatu, berjuang dan menjaga bangsa Dayak menegakkan dan mengangkat marwah Kerajaan Hulu Aik. Saya pun mohon doa restu. Mari kita mewujudkan Dayak bersatu,” harap Patih Jaga Pati Alexander Wilyo.

    Letkol. Abdul Rozak, Danlanal Ketapang sangat mengapresiasi acara Maruba Kerajaan Hulu Aik dan pengangkatan Patih Jaga Banua Alexander Wilyo menjadi Patih Jaga Pati. Abdul Rozak berharap agar acara Maruba dapat menjadi aset budaya di Ketapang. Karana itu, Maruba harus tetap dipertahankan.

    Abdul Rozak pun mengucapkan profisiat kepada Patih Jaga Banua Akexander Wilyo yang telah dilantik menjadi Patih Jaga Pati Desa Sembilan Domong Sepuluh. “Semoga Patih Jaga Pati dapat mengemban tugas yang diamanahkan kepadanya,” harap Abdul Rozak

    Pada kesempatan yang sama, Raja Singa Bansa melantik Matius Amad, S.Ag sebagai Petinggi Mangku Dangeri, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, beserta para pengurusnya.

    Pada saat pelantikan, dengan pusaka Tongkat Rakyat di tangan, Raja Singa Bansa pun membacakan naskah pelantikan untuk seorang Petinggi, gelar pemangku adat tertinggi di Kecamatan Simpang Dua.

    Pengangkatan Patih Jaga Pati dan pelantikan Petinggi Mangku Dangeri ini disaksikan oleh para Demong Desa Sembilan Domong di wilayah Kabupaten Ketapang, utusan dari Sanggau, utusan dari Kalteng, Danlanal Ketapang, pengurus, anggota dan pengurus Tariu Borneo Bangkule Rajang (TBBR) dari berbagai daerah di Kalbar, pengurus Nek Gajah Kalbar, pengurus Gerakan Pemuda Dayak (GPD) Ketapang, Pengurus Persatuan Pemuda Dayak (PPD) Ketapang, pengurus Gerakan Dayak Nasional (GDN) Ketapang.

    Menguak Asal-muasal Kerajaan Hulu

    Pada Maruba tahun 2021 ini, walau tidak panjang-lebar, sempat dipaparkan juga tentang asal-muasal Kerajaan Hulu Aik oleh Dolanang dan Ariyanto (Peneliti Kerajaan Hulu Aik dari Sanggau). Mereka menyampaikan secara sekilas mengenai hasil penelitian mereka yang dilakukan selama belasan tahun.

    “Bersama Tuanku Yang Mulia Patih Singa Bansa, Raja Ulu Aik ke-51 (Tanjungpura kuno) di Laman Sengkuang, ibukota kerajaan (26/6). Saya menghadiri undangan beliau untuk suatu upacara penghormatan dan memandikan benda-benda pusaka milik kerajaan, suatu upacara yang disebut Maruba.

    Bersamaan dengan upacara Maruba, juga dilakukan pengangkatan dan penganugerahan gelar kepada tokoh Dayak, yang berjasa bagi kerajaan dan keluarganya, seperti Patih Jaga Pati dan Petinggi Mangku Dangeri,” begitu Dolanang mengawali paparannya.

    Disebutkan, Kerajaan Hulu Aik adalah kerajaan tertua di Kalimantan Barat, semasa dengan Kerajaan Nansarunai di Kalimantan Selatan, Kerajaan Wijayapura di Sarawak, Kerajaan Kutai Martadipura di Kalimantan Timur, maupun Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Kerajaan ini eksis sejak abad ke – 4 Masehi hingga sekarang (th 2021), dan telah memiliki 51 orang raja, turun temurun. Hingga hari ini, Patih Singa Bansa adalah satu-satunya Raja yang beragama non muslim di seluruh pulau Kalimantan.

    Ibukota Kerajaan adalah di Laman Sengkuang, hulu Sungai Pawan, Desa Benua Krio, Kecamatan Hulu Sungai Kabupaten Ketapang, Kalbar. Wilayah kekuasaannya dikenal sebagai LAMAN/DESA SEMBILAN DOMONG SEPULUH, yang meliputi seluruh Kabupaten Ketapang, sebagian Kabupaten Kayong Utara (Kec. Simpang Hilir, Kec. Seponti, Kec. Sukadana), sebagian Kabupaten Sanggau (Kec. Meliau, Kec. Tayan Hilir dan Kec. Toba) dan sebagian  Kabupaten Kubu Raya (Kec. Terentang, Kec. Batu Ampar, Kec. Kubu), Kalimantan Barat.

    Kerajaan ini mengalami masa emas pada masa pemerintahan Raja Patih Golor Mandang atau dikenal sebagai Raja Siaq Bahulun (Raja yang memiliki banyak budak), dengan panglima perangnya yang terkenal Singa Tedong Rusi. Pernah menyerang Kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) di hulu Sungai Entabai, anak Sungai Sekayam, dan membuat negeri itu ditinggalkan penduduknya.

    Dalam penelitian selama sebelas tahun, mereka juga menemukan bahwa peradaban Dayak Togag di Laman Pupu Tagua, Laman Tanjung Bungai di Pegunungan Schwanner-Muller pindah untuk pertama kalinya ke Bumbun Maya, kemudian pindah untuk kedua kalinya ke Benua Raya.

    Selanjutnya, dari Benua Raya, Kerajaan Hulu Aik menyebarlah ke Sepode, Kapuas, Segolap dan Labai. Dari Benua Raya sampai Sepode, pada tahun 1340 M, berkembang menjadi Kerajaan Benua Raya, yang dipimpin oleh Adipati Batu Antik. Kerajaan Adipati ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bakulapura (Tanjungpura).

    Setelah tahun 1540 M, Kerajaan Benua Raya pindah ke Kapuas, yang dikenak dengan Kerajaan Tayan. Adipati pertamanya adalah Dayang Laga Batu Puteh. Kerajaan Tayan ini di bawah kekuasaan Kerajaan Tanjungpura juga.

    Pada tahun 1630 M, Kerajaan Tayan kemudian memisahkan diri dari Kerajaan Tanjungpura. Likar, putra mahkota Kerajaan Tanjungpura Menjadi raja pertamanya.

    Pada tahun 1747 M, Gusti Komarudin mengangkat Tumenggung Mangko sebagai Mangku Setya Raja.

    Pada tahun 1853, Tumenggung Abong menjadi Mangku Pertama di Kampung Beginjan dan Mangku Tapoh sebagai Mangku yang terakhir.

    Dolanang dan Ariyanto juga mencatat, sekitar tahun 200 SM, di Tanah Tanjung Kuring, Kalimantan Tengah, Singkumang Si Tongkat Langit mengutus Gremeng untuk menjadi Raja Dayak, dengan memberi Keramat Raja Tongkat Rakyat, yang menjadi simbol abadi bangsa Dayak.

    “Sampai kini pun, Keramat Raja Aik tersebut masih dipelihara baik oleh keturunan Raja Hulu Aik di Laman Sengkuang, Desa Benua Krio, Kecamatan Hulu Sungai, Ketapang,” tulis Dolanang dan Ariyanto.

    Mereka juga mencatat, pada tahun 1957, Raja Bibek mendirikan Tiang Bendera Keramat Raja Tongkat Rakyat di Desa Beginjan, Tayan Hilir. Keramat Tiang Bendera tersebut adalah sebagai simbol ikatan kekeluargaan yang terjalin selama Adipati Batu Antik berkuasa sejak tahun 1540.

    Catatan sejarah tentang Raja Hulu Aik pernah juga ditemukan oleh Kauru Zuzika, seorang peneliti Jepang. Mahasiswa S3 Jepang itu menemukan kisah tentang Raja Hulu Aik di sebuah buku di sebuah perpustakaan di Belanda.

    “De Radja Oeloe Ajer verschijnt voor den regerenden vorst van Matan, zonder  de gowone pligtplegingen; taal van een ondergeschikte,” demikian penggalan kalimat tentang Raja Hulu Aik, yang tertulis di sebuah buku di sebuah perpustakaan di Belanda.

    “Raja Ulu Aik muncul di hadapan pangeran Matan yang memerintah, secara diam-diam; sebagai rakyat biasa,” begitu terjemahannya.

    Kamaru, yang bernama Indonesia Jedo juga menemukan kisah tentang Raja Hulu Aik di sebuah buku yang ada di sebuah perpustakaan di Amerika Serikat.

    “Toengkat Ra’jat, Dayak chief of Moeara Kajong, recived orders from the Japanese to report to Ketapang, but refused, saying the Japanese should visit him first. No further action was taken by the Japanese,” demikian tulisan yang ditemukan Jedo, yang pernah dua tahun meneliti tentang Kerajaan Hulu Aik.

    “Tongkat Rakyat, kepala suku Dayak Moeara Kayong, menerima perintah dari Jepang untuk melapor ke Ketapang, tetapi menolak, dengan mengatakan bahwa Jepang harus mengunjunginya terlebih dahulu. Tidak ada tindakan lebih lanjut yang diambil oleh Jepang,” begitu terjemahannya.

    Begitulah sekilas tentang kisah dan asal-usul Kerajaan Hulu Aik. Semoga Kerajaan Hulu Aik tetap eksis.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita