26.5 C
Singkawang
More
    BerandaSosokHaitami: Pemahat dan Khasiat Limpasu

    Haitami: Pemahat dan Khasiat Limpasu

    | Penulis: R. Masri Sareb Putra

    Seni rupa nenek moyang suku bangsa Dayak sejak zaman baheula tersohor ke mancanegara. Kerajinan tangan memahat kayu ulin, yang dahulu kala dianggap “punya jiwa” dan multimakna, menarik para antropolog luar bandar untuk menjadi objek penelitian dan bahan kajian. Salah satunya yang amat masyhur adalah karya Vredenbregt, Hampatong (PT Gramedia, 1985).

    Seni rupa suku bangsa Dayak, tak syak, sudah mendunia. Museum-museum tertua dan terlengkap dunia, menyimpan berbagai karya seni asli Dayak, termasuk artefaknya. Namun, para perupa Dayak yang legendaris itu, tinggal segelintir. Dari yang sedikit itu, tersebutlah nama Haitami.

    Kini lelaki yang pernah menjadi guru SD itu memang belum renta, tapi sudah tidak lagi muda. Usianya sudah kepala enam. Lebih seperempat abad, perupa itu menggeluti dan berkanjang pada kebudayaan, sekaligus kearifan tradisional Dayak.

    Dari kesederhanaan, ia merintis sebuah usaha kecil. Sebuah workshop yang bersahaja di Mentaya Seberang, Kecamatan Seranau, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Usaha kerajinan kayu yang dirintis Haitami diberi nama Baniang.

    Di atas tanah ukuran 19 x 150, lebih seperempat abad lalu Tamik, panggilannya, memulai usaha kerajinan ini. Lahan ini memang dipinjam-pakai. Seorang pengusaha di Malang meminjamkan lahan itu untuk usahanya. Sayang, tempat ini sekarang dalam kesulitan. Haitami harus memutar otak bagaimana survive dan menurunkan keterampilan seni pahatnya.

    Atas kepiawaiannya dalam seni pahat tradisional Dayak, Haitami kerap diundang ikut pameran ke luar pulau Kalimantan. Antara lain ke Jawa dan Bali. Bahkan, ketika pameran di Bali, ia sempat bertemu seseorang yang menawarinya total bekerja pada seni pahat tradisional Dayak. Dijanjikan akan digaji tetap tiap bulan. Rumah dan mobil ditanggung. Namun, ia bergeming. Namun, Haitami tetap memutuskan tinggal di kampung halaman, berkanjang pada seni pahat tradisional nenek moyang.

    Baca juga: Sumiati: Pambakal Maju Tak Gentar

    Haitami pertama kali diajak berpameran ketika Suparmanto menjadi Gubernur Kalimantan Tengah era 1990-an. Pada pameran, ia mengirimkan 16 patung kayu yang dikerjakan lembur karena hanya punya waktu kurang dari dua pekan untuk menyelesaikannya. Termasuk juga menyiapkan bahan, desain, sekaligus alat. Hal itu mengingat Haitami memang mengawali usahanya dari alif dan dengan modal dengkul.

    Akan tetapi, respons masyarakat di luar dugaan. Rupa-rupa hasil pahatannya pada kayu keras bercorak Dayak primitif mendapat sambutan luar biasa. Sederhana saja konsepnya. Ia memahat manusia (Dayak) sedang menombak kelep (kura-kura kecil), menyumpit, dan memancing. Saking unik dan juga indah, begitu dipajang di meja utama stan pameran, hasil kerajinan tangan yang lain langsung menyingkir, atau dipinggirkan ke tempat lain.

    Sayangnya, beberapa kali ikut pameran, Haitami merasa ada yang janggal. Seusai pameran, banyak karyanya tercampakkan, tidak diurus, dan berantakan. Jika diuangkan, jumlahnya mencapai puluhan juta. Selain itu, ia merasa bahwa pameran yang diadakan Pemda, kurang mengena pada dirinya.

    Maka, Haitami pun memutuskan konsentrasi menerima pesanan pribadi di workshop-nya. Kini, di usia yang tidak lagi muda, Haitami ingin menurunkan ilmunya. Memang putranya, Mufti, kini bersamanya bekerja. Pemuda yang terpaksa drop out kuliah di Universitas Negeri JogJakarta karena terbentur biaya itu akan melanjutkan karya sang ayah.

    Toh Haitami tetap merasa belum puas. Ia ingin sebanyak mungkin orang terampil memahat. Ia pernah menawarkan diri ke Dinas Pariwisata untuk membantu sosialisasi, sekaligus mengajari orang-orang seni rupa secara cuma-cuma. Dinas diminta menyiapkan mobil dilengkapi alat-alat memahat. Haitami siap menurunkan ilmu memahatnya. Apalagi di pedalaman, banyak bahan untuk memahat, yakni bonggol-bonggol ulin. Sayang, gayung tak bersambut. Cita-cita Haitami menurunkan ilmu ke banyak orang pun terhambat.

    Hal yang unik, Haitami tetap mempertahankan ciri asli pahatan tradisional Dayak. Jika toh pun dibantu alat berupa mesin dalam pekerjaannya, itu sekadar untuk memotong dan menghaluskan. Sementara lekak lekuk dan ukiran yang lain-lain, sampai detail, tetap dengan sentuhan tangan. Karena itu, seni rupa karyanya tidak pernah diproduksi massal.

    Selain perupa, Haitami juga pelestari lingkungan dan keanekaragaman hayati. Di pekarangan rumahnya, ia melestarikan salah satu tanaman khas Dayak: limpasu. Selain melestarikan alam, generasi mendatang tidak perlu jauh-jauh untuk melihat kekayaan keragaman hayati bumi Borneo.

    Seperti diketahui, buah limpasu semacam asam kandis. Sedap untuk bumbu masak. Selain itu, cairan limpasu bahan pembeku karet terbaik. Hasilnya, setelah ditetes cairan limpasu, terjadi penggumpalan lateks karet secara sempurna, warna putih kuning, dan aman.

    Lebih dari segalanya, dan tentu yang akan dikenang sepanjang masa, Haitami perupa patung perdamaian di Sampit di tempat terjadi tragedi kemanusiaan yang meletus dan menumpahkan darah pada 2001. Patung hasil karya Haitami simbol perdamaian dan diharapkan jangan tragedi berulang lagi.

    Haitami seperti menggenapi pepatah: vita brevis, ars longa –hidup itu singkat, tapi seni abadi.

    ***

    Bionarasi

    WhatsApp Image 2021 08 06 at 10.27.34

    R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.

    Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.

    Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita