| Penulis: Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom., M.Pd
Kerukunan sesungguhnya bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia, baik sebagai wacana maupun praktis kehidupan. Buktinya, sejak dulu seringkali kita dengar kata “Rukun Warga” dan “Rukun Tetangga” sebagai perangkat yang ada dalam struktur organisasi di pemerintahan, baik di Desa maupun di Kota.
Namun mengapa kerukunan masih terus diperjuangkan dalam kehidupan antar umat beragama? Apakah kerukunan itu berjalan bersamaan dengan iman seseorang sehingga harus terus dipupuk, dipelihara dan dijaga? Ataukah seiring berkembangnya kesadaran kehidupan bermasyarakat sehingga seharusnya kerukunan itu tercipta dan terjaga dengan sendirinya?
Aksi anarkis yang dilakukan teroris pada beberapa bagian wilayah Indonesia dan masih adanya segelintir orang melakukan serangkaian perusakan tempat ibadah dengan mengatasnamakan agama. Apa yang harus dilakukan dalam menanggapi realita tersebut? Ataukah itu hanya urusan pemerintah?
Sejalan dengan itu, seringkali segelintir orang masih dengan mudahnya melakukan serangkaian perusakan tempat ibadah dengan mengatasnamakan agama. Mereka menganggap apa yang dilakukannya adalah sah menurut agama.
Beberapa tahun ini Indonesia diguncang oleh peristiwa kekerasan, seperti perampokan, penganiayaan, pembunuhan, serta pembakaran dan yang paling ironis adalah perusakan dan/atau penutupan rumah ibadah kaum minoritas. Banyak sekali berita-berita yang dimuat di majalah, buletin, koran ataupun melalui siaran radio dan televisi mengenai penutupan tempat ibadah di Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan di Jakarta, bahkan di beberapa tempat yang mungkin tidak terekspos oleh media. Rumah ibadah kaum minoritas telah menjadi sasaran perusakan dan pembakaran, yang walaupun pemicu masalahnya seringkali gamang dan tidak ada kaitannya dengan umat.
Mengerikan? Inilah realitanya!
Barangkali juga beberapa penulis memiliki keengganan menulis tentang ini karena mungkin saja hal tersebut masih berada dalam ruang lingkup ”sensitivitas sosial” yang bila diangkat kembali dapat memantik konflik horizontal yang sudah ada.
Menghindari topik sejenis ini, bisa saja itu juga menjadi ”jalan ninja” bagi media agar tidak menjadi perdebatan panjang di kolom komentar yang dapat berdampak bagi ”kelangsungan hidup” media itu sendiri.
Namun, bukankah pembahasan ini normal untuk kita diskusikan dengan kedewasaan intelektual sebagai masyarakat yang hidup secara majemuk dan heterogen?
Teringat saya akan acara stand up comedy di televisi. Disampaikan bahwa mereka memiliki bahan untuk disampaikan dari unek-unek yang dimiliki, kegelisahan yang mereka alami, dan warna-warni kehidupan baik yang mereka jalani sendiri maupun yang mereka dengar dan lihat secara nyata yang berasal dari kehidupan di sekitar mereka. Sama halnya demikian, pembahasan ini pun berangkat dari hal serupa, yaitu unek-unek, kegelisahan dan warna-warni kehidupan yang terjadi di Indonesia. Kekuatiran, kemarahan dan umpatan-umpatan kesal yang dituangkan dalam tulisan.
”Satu minggu menjelang perayaan Paskah 2021, dua terduga teroris meledakkan bom bunuh diri di depan gerbang Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Peristiwa ini menambah daftar panjang serangan bom menyasar gereja di Indonesia.” begitu kalimat awal berita yang dilansir dari kompaspedia.kompas.id ter tanggal 29 Maret 2021.
Memasuki bulan Desember 2021, apakah kejadian-kejadian buruk seperti itu kembali terjadi di bumi nusantara ini? Haruskah korban kembali berjatuhan hanya karena kepentingan segelintir manusia yang membenci kedamaian? Haruskah Ibu Pertiwi kembali menangis? Tidak cukupkah kita melihat korban-korban yang berjatuhan?
Kerukunan antar umat beragama dengan demikian menjadi sesuatu yang amat penting dan merupakan satu-satunya pilihan. Di Bumi Pertiwi yang penuh dengan kemajemukan ini, kerukunan antar umat beragama seharusnya dikembangkan dalam konteks Undang Undang Dasar 1945, Pancasila dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam kenyataannya menghadirkan manusia-manusia yang konkret. Kehadiran orang-orang, kiri dan kanan, tetangga serta rekan kerja yang mengakui bahwa Indonesia sebagai tanah air dan tumpah darahnya; apapun itu, baik suku, ras, golongan, dan agamanya haruslah disadari bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu pada hakekatnya menjadi kodrat manusia di Indonesia, atau jangan-jangan Bhinneka telah tinggalkan Ika. Bila benar demikian, ironis sekali.
Tidak ada tawar menawar!
Kerukunan agama sudah seyogyanya menjadi jembatan penghubung antar umat beragama di Indonesia. Tidak boleh lagi terciptanya pengkotak-kotakan kepercayaan yang membuka ruang bagi egoisme kefanatikan agama.
Berbagai kerusuhan sosial paling tidak dipicu oleh perbedaan agama, atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa agama-agama dipakai secara “keliru” oleh beberapa orang tertentu untuk memenuhi ambisi mereka. Entah itu untuk kepentingan politik, maupun untuk kepentingan golongan yang berlandaskan pada sebuah agama.
Kerusuhan-kerusuhan tersebut sebenarnya sudah membawa bangsa Indonesia kepada tembok pemisah dari makna kerukunan itu sendiri. Menyiasati berbagai peristiwa yang telah terjadi di bumi Indonesia yang telah membuat bangsa ini menangis, maka sangatlah wajar apabila ada masyarakat Indonesia bertanya, sebenarnya masih perlukah topik tentang kerukunan itu dibicarakan?
Jawabannya adalah bukan saja perlu tetapi harus! Sebab ini adalah sesuatu yang sangat penting yang harus tetap dijaga bagi kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memang sangat majemuk.
Bila kita masih membuka ruang bagi kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang berbalut ajaran agama, masihkah ada damai di bumi ini? Dimana letak kerukunan itu?
Sahabat, masing-masing orang memiliki amanat berbeda yang diajarkan dalam agamanya, namun marilah belajar untuk saling menghargai hak orang lain, dan itu dimulai dari menghargai diri sendiri dan perbedaan.
***
Bionarasi
Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom
Penulis merupakan Pendiri Ruhiman Ministry, sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pewartaan dan Kegiatan Sosial.