Ketika kolomnis era 1990. Apa yang kutulis, nyaris selalu jadi artikel utama di koran milik Surya Paloh yang berkantor di Jl. Gondangdia, Cikini, Jakarta Pusat ini. Jika ingin tulisan dimuat, maka angkatlah bahasan isu yang tidak pernah basi. Itulah makna “aktual”. Dari kata Latin “actu” yang harfiahnya berarti: terkini, hangat, baru.
Tapi bukan soal isu, atau saya pernah jadi kolomnis yang merajalela pada era ’80 hingga tahun 2000. Saya ingat. Tatkala menyerahkan artikel baru dan mengambil honor yang dimuat Rp150.000/ artikel, bertemu Surya Paloh di kantor Media Indonesia,
“Nah ini dia penulis kita,” katanya ketika itu. Tatkala pria Aceh tinggi langsing (belum besar waktu itu) muda, namun telah memelihara kumis dengan cambang lebat serta memasang jenggot seraya mengelus-ngelus kepala saya. Ada saksi mata staf redaksi dan sekretaris redaksi pada waktu Theresia Aluan, dari Pontianak. Mereka mengulas senyum.
Kemudian, panahlah pandang ke logo Media Indonesia yang lama. Sebelum pindah ke Kedoya kantornya. Pasti Anda, generasi muda, tidak punya jembatan keledai. Itu adalah metamorfosis dari Prioritas, koran Surya Paloh yang dibredel semasa Orde Baru.
Saya masih menyimpan ingatan. Pada ruang tamu kantor Media Indonesia yang tertata apik dan artistik di Jalan Gondangdia itulah terpampang dokumen koran Prioritas yang dibredel. Tergantung pada dinding halaman muka, utuh, koran yang diframe kaca begitu saja. Di sana ada secercah kisah mengapa Prioritas dibredel. Saya tahu sebab musababnya justru ketika berkantor di Gondangdia itu dan saya menangkap bagaimana Surya Paloh dengan idealisme yang tinggi ingin mengubah wajah negeri ini menjadi lebih demokratis.
Dan kini, tiap kali lewat jalan Gondangdia. Saya terkenang koran Prioritas dan Media Indonesia media yang turut “membesarkan” saya. Juga tentang idealisme Surya Paloh.
Namun, kini Gedung Prioritas dan Media Indonesia lama, telah berubah menjadi kantor pusat sebuah partai yang dinahkodai dan didirikan oleh SP.
***
Ya. Dulu namanya memang Gedung Prioritas. Ketika bernama Prioritas, artikel saya beberapa kali dimuat.
Waktu itu, saya masih tinggal di Malang. Kebetulan, kenal salah seorang Redakturnya. Pada Juli tahun 1989. Ketika pertama datang Jakarta mengadu nasib di kota metropolitan. Masih oon. Belum paham betul jalan jalan di Jakarta. Saya titip teman itu mengambil honor.
Kemudian, beberapa bulan setelahnya. Saya telah bisa datang sendiri ke Gondangdia. Saya ngekos di bilangan Pisangan, dekat stasiun Jatinegara. Ketika ke Gondangdia, naik Metromini betapa sukacitanya. Ambil honor.
“Sudah diambilkan kawan Mas,” jawab Sekretaris Redaksinya setelah memeriksa buku harian.
Saya hanya bisa menari napas panjang.
Kawan itu. Yang saya titipkan amanah. Ternyata telah mengambilnya secara harfiah.
Memanglah! Honor di koran Priorotas itu. Bukan jadi prioritas bagi saya!
***