30.1 C
Singkawang
More
    BerandaGnōthi SeautonBias dalam Negarakertagama dan tentang Sejarah yang Ditulis Pemenang

    Bias dalam Negarakertagama dan tentang Sejarah yang Ditulis Pemenang

    | Penulis R. Masri Sareb Putra

    Saya membaca saksama Negarakertagama. Decak kekaguman tiada putus kepada sang empu, penulisnya. Dari sudut kepenulisan, sudah sangat menunjukkan ia, kitab itu, sebuah mahakarya yang dituliskan.

    Benar-benar empu Rakawi Prapañca, atawa Mpu Prapañca. Saya, sebagai penulis-pengarang,  hanya seujung kuku hitamnya saja. Mungkin hanya “menang” pada bilangan  kitab yang ditulis, dan diterbitkan. Tapi mengenai dampak dari kitab itu, sang mpu itu: nulli secundus!

    Alur kitab ditulis demikian urut secara kronologis maupun kategoris. Hal mana menunjukkan tingkat intelektualnya di atas rata-rata. Meski tidak menggambarkan secara utuh imperium Majapahit, ketika itu, apalagi wilayah feudatori, taklukannya di sentero Nusantara.

    Saya kemudian menjadi mafhum. Bahwa ada bias yang amat sangat diperhitungkan. Telah ditimbang-timbang dengan dacin yang presisi, apa dampaknya kelak di kemudian hari? Sedemikian rupa, sehingga penulisan Negarakertagama sebenarnya berisi apa yang oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 M) menyebutnya sebagai nuntia vetustatis –yakni pesan di masa lampau.

    Masih ada 4 dimensi historia, sejarah, selain nuntia vetustatis. Tapi, lihatlah, dampaknya! Sumpah Palapa, yang aslinya lamun huwus, dijadikan ideologi Negara. Menjadi perekat, pengikat. Tanpa dikritisi bahwa kebesaran Majapahit mengalahkan Nusantara dianggap sebagai “mempersatukan”.

    Setelah kuliah selama 4 semester di bidang media, konsentrasi “media studies, saya baru mafhum. Bahwa media impact, dampak media, luar biasa (Biagi, 1988). Ia bagai jarum suntik. Menembus alam bawah sadar kolektif suatu masyarakat-bangsa.

    Di era Orde Baru, “kesaktian” atau spirit Sumpah Palapa dijadikan perekat oleh penguasa untuk menghidupkan kembali semangat menaklukkan Nusantara. Satelit Palapa, namanya tidak banyak dikritisi. Program Transmigrasi adalah pola penaklukan yang lambat-laun, tersistem. Meski kini disadari, dan di beberapa wilayah di Borneo, banyak demonstrasi menolak program Transmigrasi –hanya yang spontan yang diterima, karena alami.

    Demikian pula, program Keluarga Berencana (KB) yang menyatakan “2 anak cukup”, tidak pas untuk Borneo yang penduduknya amat sangat jarang. Di Jawa, yang padat penduduk, tepat. Bayangkan! Penduduk yang sedikit, semakin sedikit populasinya.

    Teorinya, jika dalam satu keluarga, anak hanya 2 saja, maka dalam 5 generasi, tidak sampai 7, klan / keluarga itu akan: musnah.

    Adalah Cirrino (1971) yang mencelikkan, bahwa terdapat 14 bias media. Tidak saya bahas satu-satu. Namun, yang relevan dengan Negarakertagama saja, yakni bias itu datang dari: penulis dan rajanya (Hayamwuruk) sebagai produser, atau pemilik media.

    Yang dituliskan tentang Sang Raja hanya yang baik-baik saja. Tentang Perang Bubat misalnya, di mana Majapahit dipecundangi, tidak dituliskan. Sebab hal itu hanya akan, “Menyakiti hati raja”. Ditengarai Perang Bubat terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14. Persis pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja Majapahit.

    Peristiwa dan bagaimana Majapahit juga tunggang langgang dihadang penduduk Tanjungpura, tidak dikisahkan.

    Di Tampun Juah, menurut Buah Kana. Di perbatasan Sarawak Malaysia, di mana terdapat pusat kerajaan Dayak, setelah 3 kali serangan dilakukan pasukan Majapahit baru bisa di-huwus (tunduk) atau dikalahkan. Itu melalui perjuangan yang tidak mudah. Konspirasi tingkat tinggi antara pasukan kerajaan Mapajahit dengan oknum penguasa lokal yang tamak, bersekongkol. Dan terjadilah political decay di dalam. Tampun juah pecah karena ada orang dalam yang berkhianat.

    Hal-hal, dan peristiwa seperti itu, tidak dikisahkan dalam Negarakertagama.

    ***

    Bionarasi

    WhatsApp Image 2021 08 06 at 10.27.34

    R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.

    Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.

    Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita