24.6 C
Singkawang
More
    BerandaFeaturesDelly Sape: Melestarikan Musik Tradisional Khas Borneo

    Delly Sape: Melestarikan Musik Tradisional Khas Borneo

    | Penulis: Lisa Mardani

    Sosok yang masih muda, energik dan cantik. Jemarinya begitu lentik dan piawai dalam memetik setiap senar musik khas Borneo. Di tengah kesibukannya sebagai seorang mahasiswi di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti Jakarta, ia tetap meluangkan waktunya untuk melestarikan budaya.

    Terutama di bidang musik tradisional suku Dayak yang disebut sape. Baginya, musik sape adalah sahabat dan teman hidupnya. Sebab di mana pun ia berada, alat musik sape akan selalu ia bawa untuk mengiringi langkah hidupnya.

    Namun siapa sangka. Dalam usia mudanya, ia telah tampil memperkenalkan alat musik khas Borneo di beberapa wilayah di luar Kalimantan. Misalnya, di Jawa Barat, Jakarta dan pulau Dewata (Bali).

    Ia juga pernah tampil untuk mengisi acara saat pemilihan presiden Dayak (MADN) di hotel Menara Paninsula Jakarta, Sabtu 19 Juni 2021.

    Dalam momen penting dan sakral bagi bangsa Dayak, tentu mengukir banyak catatan sejarah. Salah satunya dengan kehadiran sosok yang bernama Florentini Deliana Winki. Ia turut memeriahkan acara dengan memainkan alat musik sape, pertanda momen bersejarah itu telah mencapai puncaknya.

    Florentini Deliana Winki, lahir di desa Balai Semandang, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, 16 Agustus 2001. Ia lahir dari pasangan bapak Julianus dan ibu Kristina Yulia Mara.

    Delly Sape, panggilan akrabnya, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pertama kali ia melihat dan mengenal alat musik sape saat di bangku kelas 6 SD. Saat itu ia melihat para senior pemain musik sape tampil di TV dan memainkan alat musik sape. Saat itulah ia mulai jatuh hati pada alunan nada musik sape.

    Memasuki usia remaja saat masuk SMP, Delly memiliki keinginan dan dorongan yang kuat untuk latihan memainkan alat musik sape. Namun, untuk mewujudkan impiannya, ia mengalami begitu banyak tantangan dan kendala. Terutama karena tidak ada alat musik sape dan tidak ada orang yang bisa mengajarinya. Terlebih lagi ketika orangtuanya tidak ada yang bisa memainkan alat musik.

    Namun, berkat sang ayah yang jeli melihat potensi anaknya. Maka ayah Delly pun berusaha untuk membuat alat musik sederhana, dengan cara meniru alat usik sape yang ia lihat dari sebuah foto.

    Dengan alat musik sape mini yang sederhana, Delly mulai belajar sendiri secara otodidak. Sejak masuk SMA, ia ikut les musik sape selama satu bulan. Selanjutnya ia latihan sendiri melalui internet dan melihat tutorial di YouTube. Namun, ia masih mengalami banyak kendala dan kesulitan.

    Hingga membuatnya nyaris putus asa. Hingga pada akhirnya, suatu ketika ia dipertemukan dengan para senior pemain musik sape, yaitu; Uyau Moris, Leo Sape, dan bang Indri. Ini bukanlah akhir, melainkan langkah awal bagi Delly untuk meniti karirnya dibidang seni musik tradisional.

    Ia latihan lebih giat lagi hingga bisa tampil di berbagai kegiatan dan pentas seni. Berkat ketekunannya dalam memainkan alat musik sape, kini Delly pun membuahkan hasil yang memuaskan.

    Delly juga sering diundang untuk tampil memainkan alat musik sape, dalam berbagai acara di luar pulau Kalimantan, misalnya;

    1. Tampil di Bali dalam pembuatan film suku Dayak, yang berjudul “Lost Love” pada tanggal 6 Desember 2020.
    2. Di Bali International Indigenous Film Festival, pada tanggal 12-13 Desember 2020.
    3. Tampil pada acara kesenian daerah Kaltim di Anjungan Kaltim, Taman Mini Indonesia Indah Jakarta (TMMI) Pada tanggal 22 Maret 2021.
    4. Acara Musyawarah Nasional (MUNAS) Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) 19 Juni 2021 di Jakarta.

    Delly merupakan seniman Dayak asal Kalimantan Barat yang multi talenta. Selain piawai dalam memainkan alat musik sape, Delly juga gemar menari dan bernyanyi. Ia juga membuat konten-konten YouTube tentang tutorial main musik sape.

    Pada tahun 2014, Delly bersama kakaknya mendirikan sebuah sekolah nonformal yang disebut “Sekolah Adat Arust Kualant”, di desa Tahak dan Sungaibansi. Sekolah nonformal tersebut berbasis budaya, tradisi, lingkungan, dan literasi.

    Di tengah kesibukannya, Delly meluangkan waktu untuk pulang ke kampung halaman dan mengajar anak-anak di sekolah adat Arus Kualant. Delly mengajarkan anak-anak tentang permainan tradisional, menganyam manik-manik, membuat pakaian tradisional, menari dan berliterasi.

    Delly berharap, pemerintah terkait bisa lebih memperhatikan alat musik tradisional sape. Jeli melihat potensi anak daerah. Terutama di bidang musik tradisional sape. Harapannya pihak pemerintah bisa membantu memfasilitasi dan memberi ruang yang cukup untuk anak daerah. Supaya bisa mengeksplor diri lebih lagi lewat seni musik tradisional.  

    Sape digunakan masyarakat Dayak sebagai alat musik yang menyatukan perasaan suka maupun duka (ungkapan jiwa seseorang). Sebab musik sape biasanya dimainkan mengikuti perasaan pemain atau pemetiknya. Suku Dayak yang hidup dengan alam terbuka, membuat alunan musik sape mengikuti suasana alam sekitarnya. Dentingan melodi tidak hanya terdengar melalui alat musik, tapi terdengar memukau dan membuat pendengarnya terpesona.

    Irama musik sape memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan alat musik lainnya. Alunan musik sape dapat membuat pendengarnya merinding, hingga menyentuh kedalaman jiwa seseorang. Irama dalam setiap nada musik sape dipercaya dapat menenangkan, menyejukkan hati, menghibur, membuat rasa kagum pada kekuasaan Tuhan, memperkuat jiwa, hingga digunakan dalam terapi pengobatan di sebuah rumah sakit di Kalimantan.

    Harapan Delly kepada anak muda generasi Dayak, agar terus melestarikan budaya dan musik tradisional sape.

    “Jika bukan kita siapa lagi, jika bukan sekarang kapan lagi,” demikian ungkap Delly.

    ***

    Bionarasi

    Profil BionarasiLisa

    Lisa Mardani, S.Pd.K., dilahirkan di Kepingoi, Kalimantan Barat pada 11 Oktober 1986. Seorang perempuan dari suku Dayak Uud Danum. Sejak tahun 2021 aktif menulis feature tentang suku Dayak Uud Danum.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita