Ngah Zakiyah ke Tanjung Nipah sepekan lalu. Datang ke rumahku. Bertemu emak. Bepadah. Hendak membawa bapaknya, Pakcik Norzaman ke rumah sakit di Kota Pontianak.
Tiga tahun belakangan selalu saja ada kabar Pakcik Norzaman sakit. Demam. Hipertensi. Kolesterol. Asam urat. Ya, Allah!
Emak sontak bersedih. Maklum, Pakcik Norzaman adik bungsu emak satu-satunya. Pamanku sendiri. Sakit tak bisa bangun Sudah berhari-hari. Sering sakit di kepala. Nyeri. Tak gampang hilang. Tak mempan lagi dengan obat warung, iklannya sering muncul di tivi. Harus dibawa ke dokter. Selekasnya. Hanya, itulah. Selalu saja jadi persoalan. Apa lagi kalau bukan uang. Ya. Pakcik Norzaman tak punya uang cukup untuk berobat. Ngah Zakiyah bilang terus terang. Mungkin emak ada solusi soal uang ini.
Di bilik tamu itu emak memandang aku yang duduk di kursi sebelah kiri Ngah Zakiyah. Berkirim isyarat. Bertanya, apakah aku ada pegang uang. Kubilang saja ada. Aku punya uang satu juta rupiah. Bisa dipakai Pakcik Norzaman lima ratus ribu. Sisanya untuk keperluan sehari-hari keluargaku. Insya Allah nanti aku akan dapat uang lagi. Hasil mesin giling padi. Maksudku hasil orang bayar jasa menggiling padi, mesinnya berada di sebelah rumah.
Ngah Zakiyah berucap alhamdulillah. Senyumnya mengembang cerah. Dengan lima ratus ribu itu bisalah ia membawa Pakcik Norzaman ke rumah sakit. Perempuan kakak sepupuku itu berjanji akan mengembalikan uang jika ayahnya telah sembuh, bisa menurunkan buah kelapa di kebun belakang surau. Dijual ke tauke di pasar Tanjung Nipah. Sebutir kelapa tua telah bersih tanpa sabut dua ribu rupiah. Ah, betapa murah.
O ya, sebidang kebun kelapa dan surau yang letaknya di sebelah timur Tanjung Nipah itu, ingatlah aku. Kebun kelapa sebenarnya tanah milik datuk. Tak besar. Tak sampai setengah hektar. Datuk yang dulu membangun surau enam kali tujuh meter. Menanam ratusan batang kelapa.
Semasa remajaku dulu kelas tiga SMP samar-samar kuingat pernah ada pembicaraan keluarga. Datuk yang masih gagah mengumpulkan tiga anaknya, dua perempuan, satu lelaki. Anak perempuannya yang sulung Long Normila, nomor dua emakku Noranisa. Anak lelaki datuk nomor tiga Norzaman, si bungsu bertubuh kecil. Long Noramila meninggal dunia semasa aku lulus SMA. Tinggallah emakku dan Pakcik Norzaman. Datuk berpesan kepada anak-anaknya agar memelihara kebun kelapa. Petik buahnya. Jual. Sebagian hasil penjualan harus diserahkan ke surau sebagai infak atau sedekah. Sebagian lagi pakailah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Seiring waktu berjalan, emak tak sanggup ikut memelihara kebun kelapa milik datuk. Ayahku tak mau. Fokus bertanam padi saja. Beli mesin giling padi. Jadi ya, sudahlah. Kebun kelapa datuk biar Pakcik Norzaman yang mengurusnya, sesuai ketentuan dari datuk. Buah kelapa dijual. Serahkan sebagian hadipnya ke surau. Pakcik Norzaman siap menerima amanat itu. Sanggup. Bismilah! Begitu dari tahun ke tahun Pakcik Norzaman yang mengurus kebun kelapa sampai datuk meninggal dunia tujuh tahun lalu, usia delapan puluh tujuh.
Sekarang, Pakcik Norzaman didera sakit lagi. Sedang tak pegang uang. Jika begitu, infak untuk surau itu lancarkah? Apakah uang Pakcik Norzaman sudah habis karena memberi infak ke surau juga?
Perihal infak untuk surau kutanyakan pada Ngah Zakiyah. Ia menggeleng. tak pernah tahu apakah ayahnya biasa berinfak di surau setelah menjual buah kelapa dari kebun datuk. Pakcik Norzaman tak pernah cerita dengan Ngah Zakiyah dan dua anaknya yang lain soal amanah itu.
Tiba-tiba aku ingin menelepon ketua pengurus surau. Namanya Munawir yang kukenal baik sebagai sesama orang Tanjung Nipah, teman nongkrong di kedai kopi.
Kuambil ponsel menghubunginya. Bertanya soal infak surau dari Pakcik Norzaman, memastikan, apakah ada? Kata Munawir tak ada. Tujuh tahun sudah masa kepengurusannya. Tak pernah memberikan infak ke surau. Entahlah masa pengurus yang lama sewaktu datuk masih hidup. Kukatakan pada emak sengaja menelepon Munawir, agar tak ada suudzon tentang Pakcik Norzaman. Aku tak mau menduga-duga. kata Munawir tak pernah ada infak dari Pakcik Norzaman untuk surau. Sepasang mata enak sontak membulat. Mulutnya sedikit terbuka. Emak yang berjilbab cokelat tua tak percaya. Masa kan adiknya bisa begitu. Tak amanah. Wajah Ngah Zakiyah memerah. Ditutupnya hidung dan mulut dengan telapak tangan kanan. Diam. Aku menduga ia malu perilaku ayahnya ketahuan begitu.
Bilik tamu lantas hening. Kami bertiga tak ada yang bersuara. Emak memecah keheningan, bicara menatap Ngah Zakiyah. Kata emak, setelah tadi sempat merenung sebentar, emak menyarankan, sebaiknya Pakcik Norzaman tak usah dibawa berobat ke rumah sakit. Biarlah ia di rumah saja. Perbanyak salat. Istigfar. Tobat. Jika ada barang yang bisa dijual, juallah! Hasilnya lekas diserahkan ke surau. Jadi infak. Ini saran, kata emak. Dilaksanakan silakan, tak dilaksanakan pun tak apa-apa. Emak tak rugi.
Ngah Zakiyah diam. Emak menyebut namanya, barulah ia mengangguk. Paham. Matanya berkaca-kaca. Aku beranjak ke dalam bilik pribadi. Keluar lagi membawa uang lima ratus ribu rupiah. Kuserahkan pada Ngah Zakiyah. Dari aku untuk Pakcik Norzaman. Tak perlu dikembalikan. Ngah Zakiyah mengucapkan terima kasih lantas pamit pulang ke rumahnya di kampung sebelah. Maklum. Jelang magrib. Di jalan belum terpasang lampu penerang. Dari rumahku ke rumah Ngah Zakiyah kira-kira setengah jam ber-Honda.
Sebulan sudah sejak turun dari rumah Ngah Zakiyah tak ada kabarnya. Emak resah. Berulang kali emak menelepon adik sepupuku itu selalu gagal. Ponsel Ngah Zakiyah tak aktif. Emak ingin tahu apa kabar Pakcik Norzaman. Sudah sehatkah atau sakitnya makin parah. Jika Ngah Zakiyah tak datang, emak mengajakku ke rumah Pakcik Norzaman.
Semalam lepas Isya aku dan emak telah bersiap berangkat ke kampung sebelah, hendak menjenguk Pakcik Norzaman ketika Ngah Zakiyah datang. Cerah benar wajahnya memeluk emak. Cium pipi kiri. Cium pipi kanan. Maafkanlah, katanya. Ponsel rusak tak bisa berkirim kabar.
Ngah Zakiyah membawa buah langsat dalam kantong kresek hitam. Mungkin lima kilo. Ada pula rantang bersusun tiga. Isinya, asam pedas ikan kembung. Lauk kesukaan emak. Emak bertanya kabar Pakcik Norzaman. Kata Ngah Zakiyah, beberapa pekan belakangan ayahnya lebih rajin salat. Perbanyak zikir. Istigfar. Salawat. Ia berangsur sembuh. Tak mengeluh sakit di kepala. Badan segar. Sepeda motor bebek lawas miliknya pun telah dijual. Laku tiga juta rupiah. Langsung diserahkan ke surau. Pak Munawir yang menerima. Masya Allah, alhamdulillah, ucap emak. Allahu akbar! Emak dan Ngah Zakiyah berpelukan lagi. Lebih erat. Wajah keduanya basah oleh tetesan air mata.
Kalimas, 17 Februari 2024.
****
| Penulis : E. Widiantoro
Sumber gambar: by wirestock on freepik.com