28.2 C
Singkawang
More
    BerandaBudayaPandangan Y. Boelaars tentang Rasa Takut Petani Ladang terhadap Alam dan Leluhur...

    Pandangan Y. Boelaars tentang Rasa Takut Petani Ladang terhadap Alam dan Leluhur di Mata Seorang Pastor Dayak

    Petani

    | Penulis: Fransiskus Gregorius Nyaming

    Bagi masyarakat Dayak, alam merupakan bagian dari seluruh kehidupan mereka. Untuk itu, harus diperlakukan dengan hormat dan beradat. Perlakuan dan pemanfaatan yang bijaksana, hormat dan beradat terhadap alam tidak ada tujuan lain selain terpeliharanya relasi yang harmonis dengan alam itu sendiri.

    Perlakuan dan pemanfaatan alam secara hormat dan beradat didasarkan pada keyakinan kalau Yang Ilahi itu hadir dalam dan melalui alam. Juga, didasarkan pada keyakinan bahwa alam itu memiliki kekuatan mistis. Kekuatan mistis ini tidak hanya menimbulkan rasa hormat dalam diri manusia, tapi juga ketakutan.

    Berkaitan dengan rasa takut itu, Y. Boelaars berpendapat bahwa para petani ladang belum menjadi manusia yang bebas dalam mengasihi Allah dan sesama. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka seringkali masih terkurung dalam rasa takut. Rasa takut itu diakibatkan adanya malapetaka, celaka, leluhur yang marah, arwah yang belum tenang, dsb, yang sering kali mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

    Namun, menurutnya, di situlah letak peran Kekristenan. Dalam agama Kristen petani menemukan seorang Allah-Pencipta-Bapa yang penuh kasih kepada umat-Nya sehingga manusia berani menyerahkan diri kepada-Nya dengan harapan akan selamat walaupun bencana dan malapetaka berlangsung terus. Kebaikan sempurna Allah-lah yang telah menebus petani dari ketakutan-ketakutan yang membuat mereka merasa tidak bebas mengasihi Allah dan sesama (Y. Boelaars: Kepribadian Indonesia Modern, 1984).

    Hemat saya, pandangan Boelaars di atas menemukan relevansinya sejauh dilihat dalam konteks perjumpaan iman Kristiani dengan ragam tradisi dan budaya manusia. Sebuah perjumpaan yang menuntut Gereja untuk berusaha menilai dalam terang Injil segala harta kekayaan yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa (bdk. Ad Gentes art.11). 

    Atau juga sejauh ditempatkan dalam konteks pemahaman Kristus sebagai kepenuhan wahyu Allah, yang dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat-Nya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari alam maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, dan meneguhkan dengan kesaksian Ilahi bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitan kita bagi hidup kekal (bdk. Dei Verbum art. 4). 

    Rasa takut memang menjadi penghalang bagi manusia untuk bisa mengasihi Allah dan sesama dengan bebas. Oleh karena itulah, tidak heran bila Tuhan Yesus sendiri berulang kali berkata kepada para murid-Nya: “Jangan takut!”. Dalam konteks ini pulalah kita bisa memahami tesis yang Boelaars kemukakan. 

    Akan tetapi, mengapa rasa takut itu hinggap dalam diri para peladang, juga tidak boleh diabaikan. Dia mesti dipahami dan dimaknai dengan baik dan benar. Tentu saja dengan bertolak dari konteks hidup mereka sebagai petani ladang.

    Beberapa waktu yang lalu banjir melanda beberapa daerah di Kalimantan Barat. Salah satunya ialah Kabupaten Sintang. Curah hujan yang tinggi menjadi faktor penentu meluapnya sungai Kapuas dan Melawi. Akan tetapi, bila merujuk pada pernyataan Presiden Jokowi bahwa terjadinya banjir karena rusaknya area tangkapan hujan (Detiknews.com, 16/11/2021), nampaknya sikap dan perlakuan manusia yang tidak ramah terhadap alam turut menjadi faktor penentunya.

    Dengan berangkat dari konteks kehidupan agraris suku Dayak Desa, salah satu subsuku yang masuk dalam rumpun Ibanik, saya membagikan buah-buah pemikiran berikut dengan harapan agar mulai hari ini dan seterusnya manusia melihat alam sebagai sesama ciptaan yang wajib untuk dilindungi, bukan hanya sebagai objek untuk dieksploitasi. Bukan hanya dilihat sebagai sarana pemuas kebutuhan. 

    Pandangan tentang Alam

    Orang Dayak meyakini bahwa alam itu memiliki roh, jiwa tertentu yang memberikan kehidupan kepada manusia. Maka dari itu harus dihormati. Oleh karena itu pula perilaku manusia harus baik dan sopan dalam memanfaatkan alam atau ketika harus bersentuhan dengan alam. Rasa hormat diungkapkan dengan sikap dan tutur kata yang sopan dan santun, serta lewat upacara atau ritual adat.

    Alam tidak hanya bisa mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, tapi juga bisa mendatangkan celaka dan bencana bagi manusia bila tidak diolah dengan bijaksana. Rasa hormat yang tinggi kepada kekuatan-kekuatan gaib dan roh leluhur, dengan demikian, harus selalu ditunjukkan dalam seluruh laku hidup masyarakat.

    Manusia harus menghargai dan menghormati alam agar hidup mereka penuh dengan berkat, bukan kutuk. Alam tidak hanya bisa mendatangkan bahagia, tetapi juga celaka. Wujud-wujud yang tak nampak itu bisa mendatangkan sakit, luka dan celaka bila diabaikan dalam gerak hidup sehari-hari. Sebaliknya, mereka bisa mendukung usaha, mendatangkan selamat bila keberadaan mereka diakui, dihormati dan dihargai.

    Karena itulah tidak mengherankan bila dalam berladang para petani selalu memperhatikan tanda-tanda alam. Tanda-tanda alam, dalam keyakinan mereka, merupakan sarana yang melaluinya Yang Ilahi menyampaikan pesan apakah lokasi tertentu boleh digarap atau tidak. Bagian-bagian tertentu dari hutan atau lahan tidak pernah bisa digarap, apabila dianggap tidak direstui oleh Yang Ilahi.

    Tahap pemilihan dan penentuan lokasi (mangul) barangkali bisa menjadi contoh bagaimana tanda-tanda alam senantiasa diperhatikan dalam kegiatan berladang. Sebagai sebuah tahap awal, pemilihan lokasi tentu saja memainkan peran yang sangat penting. Tahap ini menjadi penentu apakah lahan yang dipilih bisa mendatangkan hasil yang baik atau tidak.

    Akan tetapi, dalam alam kepercayaan komunitas adat suku Dayak Desa, pemilihan lokasi ini tidak hanya berkaitan dengan kesuburan tanah, tapi juga berkaitan dengan keselamatan anggota keluarga.

    Di sinilah tanda alam dalam rupa suara burung memainkan peranannya. Suara burung menjadi salah satu tanda alam yang sampai hari ini masih diyakini membawa pesan-pesan penting bagi kebaikan dan keselamatan warga.  

    Masyarakat Dayak Desa meyakini ada tujuh jenis burung yang suaranya merupakan pertanda buruk: ketupung, beragai, bejampung, pangkas, embuas (ngemuas), papau dan nendak. Ketujuh jenis burung ini disebut sebagai tujuh burung pamali. Mereka merupakan jenis burung yang langka dan hanya menampakkan diri dan mengeluarkan suaranya pada momen-momen tertentu saja.

    Berdasarkan informasi yang saya gali dari Ayah, selaku ketua adat di kampung, saat membuka lokasi baru untuk berladang begini syaratnya: Kalau ketupung berbunyi hanya sekali itu artinya pertanda tidak baik. Warga harus memukul sarung parang beberapa kali atau bersiul memanggilnya agar dia menyahut isyarat yang kita keluarkan. Kalau burung itu bersuara lagi, itu artinya mereka bisa membuka lahan di situ. Tetapi kalau tidak ada suara sahutan, maka mereka tidak boleh membuka lahan di situ.

    Suara-suara burung tersebut tidak hanya mesti diperhatikan saat musim berladang tiba, tapi juga dalam keseharian hidup masyarakat Dayak Desa. Saya pernah menjumpai di mana saat acara adat menjemput calon mempelai perempuan, di tengah perjalanan tiba-tiba terdengar suara salah satu dari ketujuh burung itu. 

    Sesuai dengan ketentuan adat, agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan, kedua mempelai tidak diperbolehkan untuk tinggal serumah terlebih dahulu. Setelah batas waktu yang ditentukan itu selesai dijalani, barulah mereka boleh hidup serumah.

    Peran Leluhur

    Leluhur memainkan peran yang sangat penting dan krusial dalam seluruh gerak dan dinamika hidup orang Dayak. Untuk mau mengatakan bahwa peran mereka tidak sebatas dialami dan diperlukan hanya dalam dunia perladangan. 

    Salah satu contoh dari luar dunia perladangan yang bisa diangkat untuk menunjukkan peran leluhur ialah upacara adat pemberian nama anak.

    Dalam komunitas adat suku Dayak Desa, nama yang diberikan secara adat ini disebut juga nama kampung atau nama belah pinang. Disebut sebagai nama belah pinang karena buah pinang memainkan peranan yang sangat penting dalam upacara adat ini. Lewat pinanglah akan diketahui apakah nama yang telah dipilih boleh digunakan atau tidak.

    Seperti ini aturannya. Apabila setelah dilemparkan di atas sebuah piring tua, kedua belah pinang itu posisinya sama-sama telungkup atau sama-sama telentang, itu berarti nama yang telah dipilih tersebut tidak boleh dipakai. Sebaliknya, jika yang sebelah dalam posisi telentang dan yang sebelahnya lagi dalam posisi telungkup, itu artinya nama tersebut direstui oleh Petara dan para leluhur. Dengan kata lain, nama tersebut boleh digunakan.

    Dalam dunia perladangan, leluhur memainkan perannya lewat kehadiran mereka di dalam mimpi untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Pesan itu biasanya terkait dengan lokasi untuk berladang yang telah dipilih oleh warga.

    Seperti yang sudah dijabarkan di atas, pemilihan lokasi tidak hanya berkaitan dengan kesuburan tanah, tapi juga berkaitan dengan keselamatan anggota keluarga dan seluruh warga kampung. Dalam perjalanan mengolah lahan yang sudah dipilih, ada kalanya warga mengalami macam ragam mimpi yang tidak baik. Bila hal itu terjadi, mereka harus menyampaikannya kepada para tua-tua di kampung untuk meminta nasihat dan petunjuk.

    Dari beberapa pengalaman yang pernah saya jumpai, demi keselamatan keluarga yang empunya ladang dan seluruh warga kampung, para tua-tua menyarankan agar di lokasi tersebut diadakan ritual adat. Yang mana tujuannya ialah memohon ijin kepada Puyang Gana (Sang Penguasa tanah dalam kepercayaan suku Dayak Desa) agar keluarga yang empunya ladang boleh melanjutkan kembali pekerjaan mereka. 

    Begitu pentingnya peran para leluhur, warga harus mengadakan ritual adat pati apabila lokasi makam leluhur (gupung) termakan api selama proses pembakaran ladang. Ritual adat ini wajib dilakukan sebagai bentuk permohonan maaf kepada para leluhur karena telah mengusik rumah kediaman mereka. 

    Selain itu, ritual adat ini juga bertujuan untuk memulihkan relasi harmonis yang sudah sedikit terganggu. Pemulihan tersebut harus dilakukan agar ke depannya segala usaha dan jerih payah mereka dalam berladang diberkati dan direstui oleh Yang Mahakuasa (Petara Nan Agung), leluhur dan alam semesta itu sendiri.

    Wasana Kata

    Tulisan ini tidak bermaksud menegasi sepenuhnya pemikiran Y. Boelaars terkait dengan relasi manusia dan alam. Dalam bukunya tersebut, yang saya pribadi tentu sangat sependapat, Boelaars menggariskan dengan jelas bahwa hidup bergantung pada alam memanggil para petani untuk memiliki partisipasi pada alam. 

    Partisipasi tersebut bukan sebagai partisipasi konsumtif, melainkan partisipasi aktif untuk bekerja sama. Dalam bentuk partisipasi aktif itu, masyarakat tidak mengambil sebagian dari dunia untuk diri mereka sendiri, tetapi tetap memperhatikan kepentingan dan kebutuhan bersama (Y. Boelaars: 1984).

    Pun bukan sebagai bentuk penyangkalan terhadap iman dan ajaran Kristiani yang meyakini Yesus Kristus sebagai kepenuhan wahyu Allah. Yang datang untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mat 20:28).

    Saya hanya hendak memaparkan apa adanya tentang hal yang pernah saya alami dan pernah saya lihat dalam dinamika hidup masyarakat Dayak Desa sebagai petani ladang. Dan dari pemaparan di atas, memang harus diakui bahwa alam dan roh leluhur selain mendatangkan berkat dan perlindungan, kadangkala juga menampilkan wajah yang menakutkan sehingga muncul rasa takut dalam diri para petani ladang. 

    Namun, apakah rasa takut yang kerap muncul itu kemudian harus dilihat sebagai penghalang bagi mereka untuk dengan bebas mengasihi Pencipta, sesama dan alam?

    Hemat saya, rasa takut tersebut barangkali tidak harus langsung dilihat dalam kaitannya dengan perkara bebas atau tidaknya mereka mengasihi, tetapi mesti diletakkan dalam kaitannya dengan pandangan mereka terhadap alam dan leluhur. 

    Justru dengan adanya rasa takut itu, mereka akan memperlakukan alam dengan bijaksana, penuh hormat dan beradat. Mereka akan mendengarkan dan mematuhi apa yang dipesankan oleh leluhur agar hidup mereka selamat dan jerih payah mereka dalam berladang mendatangkan hasil yang baik.

    Rasa takut terhadap alam dan leluhur, dengan demikian, mau menunjukkan bahwa para peladang adalah manusia-manusia yang berkeutamaan. Manusia-manusia yang tahu kapan harus berkata cukup. Manusia-manusia yang hidupnya tidak diperbudak oleh nafsu keserakahan. Bukankah terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan dikarenakan memudarnya atau bahkan mungkin hilangnya rasa takut manusia terhadap Yang Ilahi yang juga hadir dalam alam? “Takut akan Tuhan adalah pangkal kebijaksanaan”, demikian ditulis dalam Kitab Putra Sirakh 1:20.

    ***

    Bionarasi

    DSC 0155 Grego Nyaming

    Fransiskus Gregorius Nyaming, dilahirkan di Medang, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada 17 Agustus 1984.

    Seorang Pastor Katolik. Sedang menempuh studi program doktoral jurusan Teologi Dogmatik di Universitas Katolik St. Paus Yohanes Paulus II Lublin, Polandia

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita