| Penulis R. Masri Sareb Putra
Literasi bukan saja terjadi pada baca-tulis di ranah Dayak. Melainkan lebih menohok ke: literasi finansial. Sembari jalan pulang. Saya bertanya, “Haruskah modernisasi. Terutama ditinggalkannya rumah panjang, seperti di Kopar ini, disesali?”
Siang itu.
Kami naik mobil dari Bodok. Saya ditemani sahabat Fabian. Jarak 15 kilometer kami tempuh tanpa terasa. Mata tertumbuk pada pemandangan: prakapitalisme di dusun-dusun orang Dayak Dosatn.
Hampir di setiap halaman rumah di Kopar, warga menanam sayur dalam wadah polybag.
Matahari khatulistiwa memancar sinarnya. Saya ditemani Fabianus dari CU Lantang Tipo Pusat Damai menembus jalan keras berbatu dan berdebu. Kiri kanan pohon sawit. Sejauh mata memandang, hijau gurun seperti horizon. Dan memang jalan ke arah Kopar, kampung yang menyisa rumah betang tua, dikelilingi kebun-kebun sawit. Pemiliknya bukan Dayak, tapi orang Malaysia.
Adan dan istri: haruskah rumah panjang yang ditinggalkan, disesali
Lihatlah perubahan pola kultur Malaysia belakangan ini. Mereka menyuntik mati pohon sawit di negerinya. Lalu menggantinya re-plantasi dengan karet. Sementara sawit ditanam di Indonesia.
Sepanjang jalan Bodok-Kopar, terbentang jalan. Tidak mulus, namun juga tidak berlubang. Mobil dobel gardan yang kami tumpangi sama sekali tidak goyah lewat kebun-kebun sawit yang menarik perhatian saya. Siapa punya? Taipan Malaysia.
Baca juga: Kopar dan Rumah Panjang yang Ditinggalkan
Ada apa dengan Malaysia? Mereka, harus diakui, lebih cerdas dan lebih tangkas. Selain sesedikit mungkin pejabat negara melakukan raswah, pemerintahnya malu hati jika infrastrukturnya terlihat buruk-rupa.
Adan termasuk anggota nomor muda CU Lantang Tipo. Ia sudah mengenal koperasi kredit itu tahun-tahun awal berdiri. Kebetulan, dirinya “terdampar” menjadi siswa SMA Karya Kasih, Pusat Damai, angkatan pertama.
“Waktu itulah saya mengenal CU Lantang Tipo dari guru-guru. Kantornya dekat sekolah, satu atap dengan kantor paroki. Jadi, setiap hari melihat plang nama dan kegiatannya.”
Setelah berkeluarga, dan bekerja, Adan menjadi warga kampung Kopar. Dari Pusat Damai, jaraknya sekitar 15 kilometer. Ketika era 1980-an, penduduk masih tinggal di rumah betang. Namun, kini setiap keluarga punya rumah tinggal masing-masing yang layak huni dan memenuhi standar kesehatan.
Ketika awal ber-CU, hampir setiap minggu Adan ke Pusat Damai mengayuh sepeda. Ia mengaku sangat disiplin dalam mengansur kredit atau pinjaman. “Tidak pernah terlambat nyetor cicilan melewati tanggal jatuh tempo. Saya biasakan diri untuk disiplin. Sudah mulai belajar membagi-bagi penghasilan dari noreh getah untuk berbagai keperluan, termasuk uang sekolah anak,” paparnya.
Atas kedisiplinan itu, Adan diberi pinjaman lagi. Ia mengaku, dari pinjaman itu bisa renovasi rumah. “Itu rumah pertama dari pinjaman Lantang Tipo,” katanya.
Masih merasa belum puas, Adan ingin memperluas dan menambah ruang lagi di rumahnya. Di bagian depan, ingin ia buatkan toko kelontong. Maka ia meminjam lagi. Kali ini mudah cara mengansur pinjaman, tidak perlu harus ke Pusat Damai lagi. “Ada orang CU datang ke sini yang bisa dititipi yaitu petugas kolektor,” jelasnya.
Hal yang menarik, menurut pengakuan Adan, “Semua keluarga saya anggota CU. Juga anak-anak.
Mereka punya simpanan dengan nomor Buku Anggota (B.A.) sendiri-sendiri.”
Ketika ditanya “berapa”, Adan enggan menyebut angka pasti. Tetapi dari isyarat istrinya, dapat dikira-kira bahwa simpanan keluarga ini sangat lumayan. Bahkan, orang kota sekalipun jarang punya tabungan sejumlah itu.
“Itu karena kami sudah lama jadi anggota,” jelas istrinya.
Dengan simpanan itu, Adan merasa tenang di hari tua. Ia kini masih bugar sebagai peladang dan pekebun. Ia memiliki kebun sawit dan kebut karet unggul. “Karet unggul kami sadap sendiri, hitung-hitung untuk olahraga,” paparnya.
Sekali turun noreh. Adan bisa mendapat belasan kilogram karet. Jika harganya sedang naik, katanya, “Untuk apa menjadi pegawai?”
Baca juga: Mengenal 7 Dimensi Rumah Panjang Orang Iban
Ia mengaku, kebun-kebunnya pun dari hasil disiplin menabung dan ber-CU. CU diakuinya telah mengubah taraf kehidupan keluarganya. Juga kehidupan warga kampung Kopar.
“Hampir seluruh warga kampung Kopar anggota CU,” katanya. “Melihat anggota hidupnya sukses dan meningkat, orang yang tadinya enggan masuk CU, lama-lama menjadi anggota,” jelasnya.
Di Kopar, orang Dosatn sekampung anggota CU. Indikator taraf hidup warga semakin meningkat setelah ber-CU, tampak dari rumah yang sudah permanen, tertata baik, antena parabola, serta kepemilikan motor dan mobil. Pendidikan rata-rata masyarakat Kopar pun baik. Jarang menemukan anak putus sekolah di tengah jalan di kampung yang masih berdiri rumah panjang itu.
Hampir di setiap halaman rumah di Kopar, warga menanam sayur dalam wadah polybag.
Kreativitas mengalir. Seperti tipo.
Nasib berubah! Literasi bukan saja terjadi pada baca-tulis, melainkan lebih menohok: literasi finansial.
Sembari jalan pulang, saya bertanya, “Haruskah modernisasi. Terutama ditinggalkannya rumah panjang disesali?”
Ya, haruskah disesali?
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.