
Jakarta, detikborneo.com – Wakil Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Dr. Andersius Namsi, Ph.D, mengeluarkan pernyataan keras terkait kaburnya narasi sejarah kerusuhan massal Mei 1998. Ia secara terbuka mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, yang menyebut tragedi tersebut belum menjadi “fakta hukum.”
“Peristiwa Mei 1998 adalah fakta sejarah, bukan sekadar opini politik atau persepsi elite. Saya saksi hidup. Saya tinggal di Jakarta Pusat saat itu, sebelum studi ke luar negeri. Kami jaga tempat tinggal kami siang malam dengan Mandau, karena negara seolah hilang. Jakarta dibiarkan kosong. Lalu pecahlah kerusuhan, penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan massal di berbagai wilayah,” ungkapnya.

Menurut Dr. Namsi, upaya untuk mengaburkan atau menunda pengakuan atas peristiwa tersebut adalah bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pengkhianatan terhadap Pancasila sebagai dasar negara.
“Itu bukan hanya kekerasan sosial. Itu kebiadaban manusia terhadap manusia. Itu dosa besar bangsa ini. Bila Negara Republik Indonesia tak mampu mengakui kebenaran sejarahnya sendiri, maka bangsa Dayak berhak menyatakan pisah. Kami tidak akan ikut menanggung dosa sejarah yang bukan perbuatan kami,” tegasnya.
Dr. Namsi menyatakan bahwa bangsa Dayak memiliki falsafah hidup luhur yang tak bisa ditawar. Hidup dalam kebenaran dan keadilan adalah prinsip mendasar dalam adat dan iman Dayak.

“Kami hidup dalam falsafah: Adil ka Talino, Bacuramin ka’ Saruga, Basengat ka’ Jubata. Kami tidak akan terus memikul kutukan sejarah atas perbuatan biadab yang tidak kami lakukan. Maka, jika negara ini tak mau berdamai dengan kebenaran, kami harus memerdekakan diri dari dosa bangsa Indonesia.”
Pernyataan ini menjadi penanda bahwa bangsa Dayak menolak menjadi bagian dari bangsa yang menutupi luka sejarah. Ia menyerukan bahwa rekonsiliasi sejati hanya bisa dimulai dari kejujuran dan keberanian untuk mengakui dosa kolektif masa lalu. ( Bajare007)