Balikpapan, detikborneo.com –
Tokoh Dayak Kalimantan Timur sekaligus pengusaha nasional, Dr. Abriantinus, meluapkan kemarahannya atas masih suburnya praktik intoleransi di Indonesia. Ia menilai persoalan bukan hanya terletak pada pelaku di lapangan, tetapi juga pada oknum pejabat negara yang justru memberi ruang aman bagi pelanggaran hak asasi manusia.
“Jangan heran kalau intoleransi tetap berjaya. Ada stafsus Menteri HAM yang kerjanya bukan melindungi rakyat yang teraniaya, tapi malah membela pelaku intoleransi. Ini benar-benar sontoloyo!” tegas Dr. Abriantinus saat diwawancarai di Balikpapan, Jumat (5/7).
Pernyataan keras itu muncul setelah beredar informasi bahwa Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, menjadi penjamin penangguhan penahanan terhadap tujuh tersangka kasus intoleransi di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Para tersangka diduga membubarkan secara paksa kegiatan retret pelajar Kristen dan merusak rumah singgah yang dijadikan tempat ibadah.

Pihak Kementerian HAM berdalih bahwa penangguhan penahanan dilakukan agar proses hukum dapat berjalan secara profesional, proporsional, dan berkeadilan. Namun bagi Dr. Abriantinus, justru penjelasan ini semakin menimbulkan pertanyaan serius.
“Kalau pembubaran retret dan perusakan rumah ibadah bukan pelanggaran HAM, lalu apa lagi? Ini jelas melukai keadilan publik. Tapi justru pejabat HAM ikut menjamin para pelakunya. Logika hukum seperti ini sangat membingungkan,” tegasnya.
Ia bahkan menyerukan agar para akademisi dan mahasiswa hukum memberikan penjelasan kepada publik terkait keabsahan tindakan pejabat negara tersebut.

“Buat teman-teman jurusan hukum, tolong bantu jelaskan… apakah boleh pejabat negara—khususnya yang bekerja di bidang HAM—menjadi penjamin tersangka pelanggar HAM? Saya sungguh tak habis pikir,” tulisnya dalam unggahan media sosial yang viral di kalangan aktivis dan akademisi.
Sebagai tokoh adat dan keturunan Kerajaan Nan Sarunai, Dr. Abriantinus menegaskan bahwa keragaman adalah fondasi Indonesia yang wajib dijaga dan dihormati.
“Cukup sudah kompromi atas nama stabilitas, tapi yang dikorbankan justru rakyat kecil yang berbeda keyakinan dan adat. Negara harus hadir, atau rakyat akan melawan dengan caranya sendiri,” katanya tegas.
Tak hanya itu, ia memperingatkan bahwa pembiaran ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusi.
“Bagaimana mungkin pejabat negara—yang seharusnya jadi penjaga keadilan dan kemanusiaan—malah pasang badan membela pelaku kekerasan? Kalau hukum sudah diinjak-injak bahkan oleh pejabatnya sendiri, jangan salahkan bila masyarakat yang dizalimi akan memilih melawan dengan caranya sendiri.”
Pernyataan tegas Dr. Abriantinus ini langsung menuai reaksi luas. Aktivis HAM, tokoh lintas iman, dan komunitas adat di Kalimantan menyatakan dukungan penuh serta mendesak evaluasi menyeluruh terhadap pejabat yang terlibat atau terindikasi membekingi praktik intoleransi.
Apakah suara keras dari tanah Borneo ini akan mampu mengguncang istana dan menggugah nurani bangsa? Waktu yang akan menjawab. Yang pasti, suara rakyat adat kini tak bisa lagi dibungkam.(Bajare007)