27.1 C
Singkawang
More
    BerandaSastraTak Pernah Hujan Berhenti Hanya Karna Tangismu

    Tak Pernah Hujan Berhenti Hanya Karna Tangismu

    Penulis | Maria Amanda

    Aku duduk termangu.

    Peristiwa empat tahun lalu seakan membuatku berputar di ruang waktu. Saat mama menjalani operasi. Dengan segera aku, Shein kakak laki-lakiku dan papa menuju rumah sakit. Mama terkena penyakit kista.

    Aku yang pada saat itu berumur sebelas tahun tidak mengetahui apa-apa tentang penyakit itu. Yang aku tau penyakit itu tidak akan merenggut nyawa mama. Tapi aku, Shein dan papa sangat khawatir kepada kondisi mama.

    Sesampainya di rumah sakit. Kami berlali kecil ke ruangan ICU.

    Mama sudah berada di dalam ruangan itu dua jam sebelum kami datang. Aku lihat papa menangis begitu juga dengan Shein. Aku menjadi bingung. Begitu parahkah penyakit mama? Tidak lama, suster yang memakai baju operasi itu memanggil nama papa dan mereka berbincang sedikit tentang kondisi mama saat itu. Papa tersenyum lega. Aku pun dapat mengetahui bahwa mama sekarang baik-baik saja.

    Mama adalah wanita yang kukagumi. Ia tidak tidak kenal lelah untuk mengajariku hal apa pun. Dia selalu memaafkan kesalahanku. Yang selalu menangis jikalau aku membentaknya atau bahkan melawan perkataannya.

    Aku memejamkan mata dan mencoba melupakan apa yang terjadi setelah operasi itu. Mama yang dulu telah berubah.

    Tidak ada lagi yang mengajari aku, untuk memaafkan kesalahan kecil yang aku buat saja sampai berhari-hari. Beruntung, aku masih punya papa yang sangat menyayangi aku dan selalu membela aku jika aku dimarahi mama.

    “Pa, do you miss mom like the way she used to?” tanyaku penasaran saat papa sedang bekerja di ruangan pribadinya.

    I miss the old us,” jawaban papa tepat, sasaran tepat seperti yang sudah aku duga jawabannya.

    “Terus kenapa papa belain aku kalo aku dimarahin sama mama? You’re still love her, aren’t you?” papa diam.

    Aku tau apa jawaban yang papa tidak dapat katakan.

    Tatapan papa kosong. Aku nggak tega melihat papa seperti itu. Refleks, aku pun memeluk papa dan papa menangis.

    **

    “Sienna, kamu tuh udah gede jadi bisa beresin apa yang harusnya diberesin!” mama mulai berkicau dengan ocehannya. Aku cukup kenyang untuk sarapan pagi itu. Jam menunjukkan pukul 07.15 dan harusnya aku udah ada di sekolah. Masa bodoh dengan ucapan mama.

    Aku langsung melompat girang dan memasuki mobil yang dikendarain oleh Shein.

    “Lama-lama jok mobil gue rusak gara-gara lo. Dikira ringan kali badan lo.” Aku hanya ngengir. Senang bisa keluar dari rumah dan lepas dari ocehan mama.

    Sesampainya di sekolah hingga pada pelajaran terakhir aku nggak konsentrasi belajar. Pikiranku buyar dan tertuju kepada mama. Aku mulai deg-degan. Aku sangat takut jika terjadi apa-apa sama mama. Nekad, aku mengeluarkan hp dri tas kemudian memencet nomor ponsel mama. Nggak ada jawaban.

    Semakin campur aduk apa yang aku pikirkan. Tak lama, hpku pun bergetar menandakan ada pesan masuk dan pesan itu dari papa. Tepat, seperti yang aku pikirkan. Mama dilarikan ke rumah sakit.

    Segera aku mencari taksi dan menuju rumah sakit yang papa maksud. Aku mengutuk diri aku sendiri apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bertubi-tubi aku menyalahkan diriku. Bodohnya, aku selalu membantah kata-kata mama. Ingin sekali menangis tapi aku tau itu useless, toh itu nggak akan membuat mama kembali seperti semula. Setibanya di rumah sakit, aku melihat papa sedang menungguku di lobby.

    “Mama sakit kanker hati, Nak. Udah stadium empat.”

    Mata papa sembab kelihatan sekali kalau papa memangis. Dari ujung kepala hingga ujung kakiku pun melemah mendengar perkataan papa. Aku ingin sekali melihat mama, tapi mama memperingatkan papa supaya aku dan Shein jangan sampai melihatnya.

    Aku menunggu di lobby dan tiba-tiba terfikir bunga kesukaan mama. Bunga mawar. Dulu mama selalu ingin punya taman khusus bunga mawar dan dia mau aku seperti bunga mawar yang cantik apa adanya. Bukan cantik dari luar melainkan dari hati.
    Kemudian aku melihat ke sekeliling sudut lobby rumah sakit.

    Di ujung sana, terdapat toko bunga. Aku berdiri beranjak ke sana. Pandanganku tertuju pada bucket yang diisi dengan mawar puspawarna.

    Aku mengambil uang sisa uang saku yang papa kasih pagi ini. Di toko ini juga menjual kartu ucapan. ‘Get well soon, my dearest’ pas sekali untuk mama. Aku menambahkan kata-kata singkat di kartu itu. ‘Ma, aku tau aku telat buat nyeselin apa yang udah aku lakuin. Tapi believe me ma aku nggak mau liat mama kesel atau bahkan benci sama aku. Kalo mama sembuh, aku janji aku bakal ngerawat taman bunga yang mau mama buat. Love you always, your daughter. Xoxo.

    Aku menelepon papa, menanyakan di mana posisi papa sekarang. “Ruang terapi,” katanya, “Menemani mama.”

    Aku menaiki lift dan menyusul papa. Ketika lift terbuka, yang aku lihat papa dan Shein menangis. Aku berlari kecil ke tempat mereka berdiri. “Sienna, kita doain mama ya supaya dia tenang di sisi Tuhan.” Dadaku sesak. Serasa ditusuk, ditikam dengan pisau. Aku menangis. Benar-benar mengutuk diriku sendiri.

    “Mama titip ini buat lo….” Shein menyodorkan kertas pink, warna kesukaanku dan mama selalu membelikan barang-barang warna pink untukku.

    if one day i’m not live beside you anymore, always remember i’ll always in your deepest heart. Maafin mama kalau mama udah nggak jadi yang kalian mau tapi yang perlu kalian tau mama selalu coba buat jadi mama yang dulu tapi buat mikirin penyakit ini aja buat mama tertekan. Mama nggak mau kalian jadi mikirin mama. Jadi anak yang baik ya, sayang. Dengerin kata-kata papa.

    Mama sayang Sienna’

    **

    Bunga yang aku beli kemarin di rumah sakit sudah setengah layu.

    Siang yang teduh untuk pemakaman mama. Aku membawa bucket mawar dan kartu itu. Meletakkannya di depan batu nisan mama. Aku tegar beitu juga dengan papa dan Shein.

    Aku tersenyum. Aku yakin mama akan bahagia di sana. Mama tetap mama yang dulu. Mama yang tidak kenal lelah untuk mengajariku hal apa pun. Ia selalu memaafkan kesalahnku dan yang mengajariku untuk cantik dari hati, apa adanya.

    Aku bakal buat mama bangga sama aku.

    Aku janji…

    ***

    Pagi datang. Pagi pergi. Bagai singkat matahari.

    Kuseka airmata. Yang terus mengalir. Bagai air hujan jatuh ke bumi dari talang-talang surga.

    Kuingat sepenggal syair lagu Rinto Harahap, “Tak pernah hujan berhenti hanya karna tangismu………..”

    Airmata hanyalah hujan. Jatuh dari langit. Yang menyuburkan rerumputan dan menghidupkan tanaman.

    ***

    detikborneo.com - Senin, 12 Juli 2021, 13.51

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita