| Penulis: R. Masri Sareb Putra, M.A
Malang melintang di jagad sastra Indonesia, sejak mahasiswa. Pada 1984, saya telah ikut meramaikan sastra kita dalam “Perdebatan Sastra Kontekstual”. Tulisan saya dimuat majalah kebudayaan umum, Basis. Lalu, Ariel Heryanto mengumpulkannya dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual (Rajawali Press, 1995).
Tak tanggung-tanggung yang turut perdebatan itu. Ada Sutan Takdir Alisjahbana. Arief Budiman. Budi Darma. Mangunwijaya. Umar Khayam. Kuntowijoyo. Ignas Kleden. Dan, apalah saya, ketika itu. Seorang anak bawang. Hanya modal berani, selain banyak baca buku-buku sastra dan filsafat.
Sejak mahasiswa, saya aktivis sastra-budaya di Jawa Timur. Berkesempatan berkenalan langsung dengan para sastrawan dan kritikus sastra nasional. Ignas Kleden, Dami N. Toda, Julius Siyaranamual. Ketika kerja di Jakarta, saya kemudian intens berkawan dengan Eka Budianta, Titie Said, La Rose, Korrie Layun Rampan, Ismail Marahimin, dan K. Usman. Karena editor di PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) saya jadi sangat dekat dengan sastrawati Titis Basno. Saya yang mengedit naskah novelnya Dari Lembah ke Coolibah. Yang memenangkan hadiah Sastra Asia Tenggara, Mastera (1999).
Saya berecana, menulis setidak-tidaknya kesanku subjektif bersama para sastrawan. Hanya di Web yang saya cinta. Sekaligus saya suka ini.
Mulai dari Titis Basino.
***
Lebih dari sepuluh tahun ia mangkir di dunia sastra Indonesia. Begitu muncul lagi, setelah menerbitkan novel Pelabuhan Hati pada tahun 1997, Titis Basino langsung menggebrak. Sebuah novelnya memenangkan sayembara yang diselenggarakan Pusat Bahasa Depdikbud.
Novel yang sama, mengantarnya menerima hadiah sastra ASEAN (SEA Write Award) pada Oktober 1998. Novel yang sama menang lomba lagi pada MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara).
Trilogi novelnya (Dari Lembah ke Coolibah, Welas Asih Merengkuh Tajali, dan Menyucikan Perselingkuhan) telah pun terbit dalam bahasa Malaysia. Dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (2000). Dengan tebal: 484 halaman. Ber-glosaria pula.
Dalam setiap novel, Titis senantiasa menempatkan perempuan sejajar dengan pria. Di matanya, sosok perempuan lebih kuat dibanding lelaki. Sebuah obsesi, ataukah pengalaman nyatanya sendiri?
Usia ternyata tidak menjadi halangan bagi sastrawan untuk tetap produktif. Titis Basino, 60 tahun, membuktikannya. Setelah absen selama sepuluh tahun dari kancah sastra Indonesia, pada 1997 ia tampil dengan novel Dari Lembah ke Coolibah.
Barangkali karena kelahiran novel itu lama ia persiapkan, dan karena itu penuh dengan refleksi, begitu muncul langsung menggebrak. Novel itu pula yang mengantarnya menerima Anugerah Karya Sastra 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Saya telah baca cerpen Titis sejak SMA. Tak menyangka jika, kelak di kemudian hari, bisa bersua dengannya. Malah berkawan. Berdiksusi tentang sastra. Dan tentang apa saja.
Titis, jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang lahir pada 17 Januari 1939 dan mantan pramugari udara Garuda Indonesia Airways itu menyisihkan nominator lain, termasuk Ayu Utami dengan karyanya Saman, meskipun sukses besar dalam setahun mengalami cetak ulang ke-10.
Menurut Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dr. Hasan Alwi, penghargaan ini merupakan penjabaran dari program pembinaan sastra yang bertujuan meningkatkan apresiasi sastra. Sekaligus memberikan rangsangan kepada para sastrawan untuk menciptakan karya yang mampu mengundang apresiasi dari masyarakat.
Seperti diketahui, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa mulai memberikan penghargaan sastra sejak tahun 1978. Pemenangnya ditetapkan pada bulan Oktober bertepatan dengan Bulan Bahasa. Sekaligus bersamaan waktunya dengan kegiatan pemberian Hadiah Sastra ASEAN yang saban tahun diselenggarakan oleh Thailand.
Sejak 1989, penghargaan diberikan kepada tiga penerima. Penerima teratas sekaligus mewakili Indonesia menerima hadiah sastra ASEAN (SEA Write Award). Tahun 1998, wakil Indonesia adalah N. Riantiarno dengan karya Semar Gugat. Sedangkan pemenang lainnya adalah penyair Wing Kardjo dengan kumpulan sajaknya Fragmen Malam: Setumpuk Soneta.
Sebelumnya, beberapa nama sastrawan Indonesia yang menerima penghargaan Southeast Asia Write Award adalah Iwan Simatupang, Y.B. Mangunwijaya, Goenawan Mohammad, Sutardji Calzoum Bachri, Ahmad Tohari, Taufik Ismail, Ramadhan K.H., Seno Gumira Ajidarma, dan W.S. Rendra.
Potret Perempuan Sejati
Tatkala menjadi pramugari di saat usianya masih belia tahun 1963, karya Titis sudah menunjukkan karakter kuat. Cerpen “Suatu Keputusan” yang ditulisnya menggambarkan keberanian Mike, mahasiswi yang sebentar lagi akan menjadi sarjana, memutuskan menikah dengan laki-laki yang sudah beristri.
Keteguhan hati Mike adalah ketegaran hati seorang wanita. Karena itu, majalah Sastra yang dipimpin H.B. Jassin menganugerahkannya penghargaan.
Kritikus sastra kita itu kan umumnya laki-laki. Mereka boleh mencela, boleh memaki apa saja mengenai karya saya. Itu karena mereka kaget, saya mengejek dan membuka kedok mereka sebagai laki-laki yang pengecut, ragu-ragu, dan tidak setia. – Titis Basino.
Karakter yang kuat itu masih melekat pada karya-karya selanjutnya. Kritikus sastra Korrie Layun Rampan mengatakan, Titis Basino pantas mendapat penghargaan sastra. Tidak hanya karena ia adalah pengarang senior yang sudah matang, melainkan juga lantaran pilihan tema, pelaku, serta settingnya tegas.
Saya telah baca cerpen Titis ini sejak SMA. Tak menyangka jika, kelak di kemudian hari bersua dengannya. Malah berkawan. Berdiksusi tentang sastra. Dan tentang apa saja.
“Sejak tahun 1960-an ketika menulis cerpen, ia sudah memutuskan bahwa peran wanita perlu ditempatkan lebih proporsional. Kesetaraan antara pria dan wanita menjadi titik perhatiannya. Bahkan, dalam beberapa karyanya, Titis Baino menggambarkan bahwa dalam banyak hal justru wanita lebih kuat dibanding pria, misalnya dalam menahan rasa sakit (ketika melahirkan) dan menanggung beban kehidupan,” ungkap Korrie.
Pendapat Korrie tidak berlebihan. Kalangan akademis pun memberi kritik yang tidak jauh berbeda. Sapardi Djoko Damono, seorang profesor sastra dari Universitas Indonesia misalnya, dalam komentar di sampul buku Dari Lembah ke Coolibah mengatakan, beruntung Indonesia punya pengarang wanita seperti Titis Basino karena serta merta mengubah gambaran keseluruhan sastra Indonesia.
“Siti Nurbaya adalah perempuan fiksi yang diciptakan oleh Marah Roesli, seorang laki-laki. Demikian pula Tuti, Maria, dan Yah – para perempuan dalam Layar Terkembang dan Belenggu, novel ciptaan laki-laki. Lewat fiksi Titis Basino, kita bisa menyaksikan bagaimana warna dan suara, gejolak dan gemuruh, dunia ini seperti yang dipahami dan diyahati perempuan,” demikian Sapardi mencoba memberikan tempat karya Titis Basino dalam khasanah sastra Indonesia.
Berani
Sebagimana halnya sastrawati senior seangkatannya N.H. Dini, Titis banyak menyuarakan kepentingan perempuan di setiap karyanya. Yang khas, Titis menyuarakan (menulis) tetap berpijak pada norma dan nilai budaya ketimuran.
“Saya mengungkapkan bagaimana masyarakat kita bereaksi terhadap hal-hal yang menyentuh mereka. Banyak sekali tema yang bisa diangkat di sekitar kita. Saya ingin menyuarakan bahwa laki-laki tidak seharusnya berbuat seenaknya terhadap kaum perempuan. Setelah membaca karya-karya saya, mungkin mereka marah atau menertawakan. Tetapi saya yakin, mereka kemudian menyadarinya,” kata Titis.
Hak-hak perempuan sudah ditegakkannya sejak tahun 1960-an, seperti terlihat dalam karya Rumah Dara, Pelarian, Dia, Laki-laki dan Cinta, Hotel, dan Suatu Keputusan. Terasa menjadi beban berat baginya menyejajarkan perempuan dengan laki-laki, mengingat saat itu citra perempuan di mata masyarakat masih begitu lemah, cengeng, manja, materialistis.
Oleh kerena itu, sosok perempuan digambarkannya sebagai pribadi yang tegar, mandiri, tenang, dewasa, serta gigih di dalam mempertahankan kesucian. Garis besar cerpennya merupakan penelanjangan halus terhadap kekerdilan jiwa laki-laki terhadap tradisi buruk kaum laki-laki, seperti: poligami dan sering berlaku seperti kanak-kanak. Itulah yang terasa bila membaca cerpen Laki-laki dan Cinta, di mana ia melukiskan justru laki-lakilah yang lemah.
Simaklah apa yang dilukiskannya pada tokoh Beni dalam cerpen Laki-laki Dan Cinta, “Kalau toh dia ke tempat perempuan lain, dia akan tetap kembali ke rumah dan tetap akan menjadi Beni-ku. Aku melihat Beni seperti anak-anak yang bermain dengan temannya. Dia akan kembali ke ibunya setelah payah dan bosan. Dan pada ibunya si anak tak akan bosan.”
Saking terobsesi menonjolkan peran perempuan, kritikus dan “paus sastra” Indonesia H.B. Jassin menulis, “Saya senang membaca karya-karya Titis, karena segar dan ungkapannya orisinil sehingga tidak klise. Cara pengungkapannya mengenai pikiran dan perasaan perempuan,jujur dan termasuk berani. Namun, dalam hal sorotannya terhadap laki-laki saya rasakan sorotannya sebagai suatu ketidakadilan.”
Apa kata Titis menepis komentar Jassin?
“Kritikus sastra kita itu kan umumnya laki-laki. Mereka boleh mencela, boleh memaki apa saja mengenai karya saya. Itu karena mereka kaget, saya mengejek dan membuka kedok mereka sebagai laki-laki yang pengecut, ragu-ragu, dan tidak setia.”
Meski kritik setajam yang dihujamkan Jassin, tampaknya Titis tidak ingin kehilangan jati dirinya sebagai penulis. Ia merasa, di sanalah kekhasannya. Semangat yang sama sangat terasa dalam novel Dari Lembah ke Coolibah. Jarang ada pengarang Indonesia, terutama wanita, yang berani “bermain api” mengambil setting novel Tanah Suci sebagai tempat percintaan dan musim ibadah haji sebagai kesempatan memadu kasih antara pembimbing rohani calon haji dengan sang hajah.
Di balik sukses pengarang, ada editor. DLkC telah menangkan hadiah. Editor bagai koki. Dari sini saya lalu beradagium, “Tak ada naskah yang jelek. Yang ada, naskah yang belum diedit.
Tetapi Titis mendobrak tradisi. Baginya, cinta tidak mengenal waktu dan tempat. Itulah yang terjadi ketika Noor, perempuan setengah baya yang naik haji, terlibat belenggu asmara dengan Ahmad (yang kemudian setelah operasi plastik menjadi Hamid) pembimbing rohaninya yang usianya sebaya dengan usia anak Noor.
Paduan kasih dua insan itu termasuk aneh, di samping usia yang jauh terpaut, juga status rohani yang kuat menyekat. Bagi orang muslim, seorang calon hajah bercinta dengan pembimbing rohani di Tanah Suci tidak lazim. Namun, di sanalah Titis Basino mencoba mendobrak tradisi. Bagi Titis Basino, cinta mengalahkan segalanya. Cinta mengalahkan status sosial, agama, waktu, dan jarak!
“Saya menduga, di sanalah kelebihan karya Titis sehingga memenangkan sayembara,” ujar Pamusuk NST, salah satu pengamat sastra Indonesia. “Di samping ide-idenya yang matang meski kadangkala juga liar itu tim juri sudah sangat yakin akan keandalan dan kemampuannya di dalam berkarya.”
Dan memang benar, Titis Basino memang pengarang produktif. Setelah mangkir selama 10 tahun di dunia sastra Indonesia, tiba-tiba dia menggebrak, dan langsung mengagetkan. Dalam kurun waktu dua tahun terhitung sejak publikasi Dari Lembah Ke Coolibah pada tahun 1997, Titis Basino menerbikan delapan buah novel, enam diterbitkan PT Grasindo dan dua oleh Pustaka Jaya. Bahkan, akhir Desember 1998 terbit lagi Tangan-Tangan Kehidupan dan Habitat yang terbit pada Januari 1999.
Novel dan cerpen, sebagai karya sastra, bagi Titis Basino setengah peristiwa dan sebagian adalah fiktif. Karya sastra setingkat di bawah karya jurnalistik dan setapak di atas filsafat. Itulah yang terpancar dari Dari Lembah Ke Cooloibah. Dengan “lembah” ia memaksudkan awal kisah asmara Ahmad dan Noor di lembah Mina dan Musdalifah tempat mabid mengambil batu. Nantinya, percintaan kedua insan berpuncak di Coolibah, sebuah kawasan sejuk di atas Puncak Pass. Dan memang Titis Basino punya villa di Coolibah.
Karena itu, wajar saja jika banyak orang penasaran dan bertanya-tanya: Benar tidak Noor dalam novel Titis Basino adalah prototype pengarangnya sendiri?
Lalu siapa Hamid-nya? Bisa jadi Hamid yang dimaksudkannya adalah bayang-bayang atau sosok imajiner Purnomo Ismadi, suami tercinta yang dua tahun lalu sudah tiada. Profesi sang suami sebagai pengusaha hotel banyak memberinya inspirasi di dalam melahirkan karya sastra, seperti tercermin dalam novel Aku Supiyah Istri Hardhian (1998), di mana novel tersebut banyak mengambil setting dan khasanah seputar dunia perhotelan.
Dedikasi ibu dari empat orang putra, tiga dokter dan satu sarjana hukum, ini untuk perkembangan sastra Indonesia sangat besar. Selain menjadi salah satu penyantun Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, ia juga donatur tetap.
Di balik sukses pengarang, ada editor. DLkC telah menangkan hadiah. Editor bagai koki. Dari sini saya lalu beradagium, “Tak ada naskah yang jelek. Yang ada, naskah yang belum diedit.”
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.