23.8 C
Singkawang
More
    BerandaHukum & Kriminal,Guru Hebat Dari Banua Simpang (1)

    Guru Hebat Dari Banua Simpang (1)

    Picture2
    Matheus Entji Ulik (78 tahun)

    | Penulis: Amon Stefanus

    Jika kita pergi ke Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalbar dan bertanya kepada orang-orang di sana, siapa itu Pak Entji, semua orang pasti kenal dengan beliau. Beliau adalah guru yang sepanjang karirnya dari tahun 1968 hingga 2005 menjabat sebagai kepala sekolah. Penulis sendiri mengalami ketika sekolah di SD Usaba Banjur Karab dari tahun 1975 hingga tahun 1981, waktu itu Pak Entji adalah kepala sekolah sekaligus guru di SD tersebut.

    Lahir di Pondok Ladang

    Matheus Entji Ulik, addalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan suami-istri Ariston Ulik dan Marona Mungkun. Mereka bersaudara adalah Salen, Adria Sari, Matheus Entji, Petrus Suni, Adi Samuel dan Simon.

    Waktu kelahiran Entji diperkirakan tanggal 25 Juni 1945. Waktu kelahiran tersebut  diperkirakan saja oleh kedua orang tuanya yakni saat musim menebas ladang (minu) yang biasanya jatuh pada bulan Juni. Masa itu belum ada kebiasaan mencatat secara pasti hari, bulan, tanggal dan tahun kelahiran.

    Entji lahir ketika Indonesia masih dalam penjajahan Jepang.  Waktu itu ekonomi serba sulit. Barang-barang keperluan sehari-hari sukar didapat.  Sebagai contoh, garam tidak ada dijual di toko. Bahan pakaian dan selimut harus mengambil dan mengolah dari kulit kayu seperti kapuak (kopa) dan konakng.

    Ibu dan ayahnya tinggal di dukuh (bekas ladang) dengan alasannya bisa memelihara babi dan ayam. Dukuh Sagormia tempat mereka tinggal berada sekitar 1 km dari Kampung Bukang.

    Meskipun keadaan ekonomi pada masa itu sulit tapi bahan makanan seperti padi tidak mengalami kekurangan. Kedua orang tuanya sangat ulet dalam bekerja ladang. Kakek sebelah ibu juga seorang dukun padi dalam perladangan.

    Masa Kecil yang Berkesan

    Pengalaman masa kecil yang sangat berkesan bagi Pak Entji adalah ketika ia berumur sekitar 4 tahun. “Semasa kecil setiap saat mengikuti kedua orang tua saya ke ladang. Saat di ladang saya pergi ke pinggir-pinggir ladang (parare) membuat penjerat, belantik (pote) dan memasang penangkap kancil (nyut sansait). Juga membuat bubu (ujo), tangkora dan pantap untuk menangkap ikan di sungai yang ada di sekitar pondok ladang.

    Pada masa tahun 1950-an binatang buruan dan ikan masih sangat banyak dan berlimpah. Meskipun perangkap-perangkap dibuat dengan seadanya tapi bisa mendapat  binatang buruan dan ikan yang banyak.

    Bapongka dan Basangkurung

    Musim panen adalah saat bersuka ria. Pada musim itu ada tradisi bermain gasing (bapongka) dan senggayung (basangkurung).  Baik tua maupun muda laki-laki dan perempuan semua melakukan kebiasaan tersebut. Masa-masa itu adalah masa yang sangat indah dan mengasyikkan. Suasana pada masa itu penuh dengan kegembiraan dan kekeluargaan.

    Gasing (osik) biasanya terbuat dari kayu yang liat, kuat dan keras. Sedangkan sangkurung merupakan alat musik dari bambu yang dikerat. Agar suaranya jernih maka sangkurung terbuat dari bambu (munte) dan porikng yang pilihan (tarosek).         

    Bapongka adalah hobby saya ketika masa kecil. Ayahku sering membuat saya osik. Osik biasanya terbuat dari belaban, kayunya liat dan keras, biasanya tumbuh di tepi sungai, warna kulit merah.  Selain itu osik juga terbuat juga dari kayu ulin (tabaliatn), jome atau tubak rabot,” demikian Pak Entji mengenang hobi masa kecilnya.

    Tidak hanya anak-anak, orang dewasapun sangat gemar bermain gasing.  Yang membedakan hanya saja anak-anak bermain kapan saja waktunya sementara orang dewasa biasa melakukannya di pagi dan sore hari. Pagi sebelum berangkat memanen padi (ngotum) dan sore hari setelah pulang dari ladang.

    Bapongka dan basangkurung hanya boleh dimainkan saat ngotum dan saat mengantar padi ke lumbung (bangunyal) dari pondok ladang (dango muh). Sedangkan basangkurukng biasanya juga dilakukan saat musim buah ( ketika durian jatuh ).

    Basangkurung dan bapongka diakhiri dengan acara adat ngurokng minu podi dan kemudian mulakng samparan dan itu dilakukan selama siklus perladangan.

    Berburu (Katorun)

    “Selain bermain, kegiatan berburu biasa saya lakukan. Biasanya bersama ayah dan kek Mawan (Gunong).  areal berburu kami berada di hutan hulu Sungai Karab (Mansuar dan Pamagar ). Anak babi hutan sebesar pelanduk, kijang, dan beruang sering kami dapatkan. Mendapatkan hasil buruan merupakan kegembiaraan yang luar biasa namun tenaga terkuras habis karena seharian berburu dan kecapean membawa hasil buruan.

    Menyadap Karet (Nureh Gotah)

    Menyadap karet atau nureh gotah bersama kedua orang tuanya juga kebiasaan sehari-hari Pak Entji. Namun hasil sadapan biasanya tidak mau ia campurkan dengan kepunyaan orang tuanya walaupun sedikit. Hasilnya dijual untuk membeli baju dan celana sendiri. Semejak ia pandai menyadap karet Entji kecil sudah ingin hidup mandiri.

    Musim Tengkawang

    Masih jelas dalam ingatan Pak Entji saat musim tengkawang yang luar biasa banyaknya. Dari mencari/memungut, mengolahnya sampai bisa dijual dan menjualnya dilakukan sendirian.

    Pengolahan tengkawang didahului dengan cara membuang kepala (singkupnya), kemudian dimasukkan ke dalam perendam (lajau). Alat itu terbuat dari poring yang dianyam/diikat (napalaling) dengan rotan, besarnya sekitar 2 sampai 3 meter  dengan diameter ½ sampai 1 meter. Buah tengkawang dimasukkan ke dalam lajau direndam sampai kulitnya merekah, kulitnya dibuang dengan gotong royong/arisan (ngulu) kemudian dijemur sampai kering di para-para di depan rumah yang biasanya disebut pontan. Setelah kering baru bisa dijual.

    “Pada saat itu hanya dua orang tauke pembeli tengkawang di Simpang Dua yaitu Kek Jangkang  (Kek Asun) dan tauke Ajang. Tauke membelinya dengan cara ditakar memakai gantang, satu gantang berkisar  2 sampai 3 kg. Masa itu saya hanya bisa membawa 1 sampai 2 gantang saja dengan cara diambin”, demikian kisah yang dituturkan Pak Entji.

    Sekolah dari Dukuh

    Tahun 1951 Entji masuk sekolah saat masih berumur 6 tahun. Selama 3 tahun sampai kelas III ditempuh di Sekolah Rakyat (SR) Karab hingga tahun 1953. Di  SR itu mereka diajarkan oleh guru Dayul yang berasal dari Gerai. Kemudian melanjutklan kelas IV, V, dan VI SR di Simpang Dua hingga lulus tahun 1956.

    Picture1
    SDN 02 Simpang Dua, dulu SR Simpang Dua. Foto: Amon Stefanus

    “Waktu kelas I, II, dan III kami masih tinggal di Dukuh Sagormia, dari Karab sekitar 1 ½ km, melalui jalan sebat, bawas belukar.  Biasanya siapa yang berjalan di depan

    habis basah kuyup kena air embun di dedaunan. Pergi sekolah bersama sang kakak Sari (Nek Wi/Nok Sina) dan juga bersama kawan lain yang biasa tinggal di dukuh yang berdekatan dengan mereka yaitu Amat (Sdr. Pak Pion/Kek Les), Cera, dan Kara ( Jok / Pak Cuet), ” cerita Pak Entji.

    Kemudian sekolah di Karab dipindahkan Pemerintah ke Simpang Dua. Sekolah itu berubah menjadi SR 6 Tahun Simpang Dua. Tempatnya di Kantor Penghubung Camat yang dibuat zaman penjajahan Jepang. Tenaga Pengajar tetap Pak Dayul (Kepala Sekolah) ditambah dengan guru Igoi dari Lintang (Sanggau), Pak Mursi Suud dan Pak Usman dari Ketapang.

    Saat Pak Entji sekolah di Simpang Dua orang tuanya membuat rumah di Kampung Bukang dan sekeluarga pindah ke sana. Ketika sekolah di Simpang Dua ia dan teman-temannya  berjalan kaki dari Bukang melalui jalan yang masih sangat sebat, sungai-sungai yang diseberangi dengan titian (katiti) yang terbuat dari sebatang pohon. 

    “Ujian kelas VI dilaksanakan di Sukadana. Rombongan kami naik perahu dari Simpang Dua menuju Teluk Melano. Sesampainya di Teluk Melano berjalan kaki menuju Sukadana ( sekarang Ibu Kota Kabupaten Kayong Utara). Jarak antara Teluk Melano – Sukadana adalah 20 km. Inilah pengalaman pertama saya naik perahu, melewati sungai besar dan laut, melihat kota dan menyaksikan lampu listrik pertama kali. Pemimpin rombongan kami adalah Pak Sekomas Igoi. Pengikut ujian dari Simpang Dua ada 6 orang. Dari 6 orang tersebut yang lulus hanya kami bertiga yaitu saya sendiri, Ignatius Tayso dan Aris dari Balai Berkuak”.

    Setelah tamat  SD Entji berhenti selama tiga tahun yaitu tahun 1957-1959. Hal ini disebabkan karena ia belum bisa meninggalkan keluarga, pergi jauh masih rindu dengan kedua orang tua dan kakak-adiknya. Sebab lainnya karena tidak ada biaya, kalau masuk SMP harus melanjutkan ke Kota Ketapang dan untuk mencapainya sangat sulit. Di samping itu, orang tuanya tidak mendukung terutama ibu. “Ibuku tidak tega membiarkan saya pergi jauh-jauh darinya, karena pada waktu itu anak laki-laki baru saya sendiri”, begitu cerita Pak Entji.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita