24.7 C
Singkawang
More
    BerandaSastraCerpen | Pohon Cempedak

    Cerpen | Pohon Cempedak

    Image In 1

    | Penulis: Paran Sakiu

    Tangan gadis itu tidak saja memeluknya, namun mulai menjelajah yang lainnya. Ia berusaha menepisnya tetapi …

    Pohon cempedak yang kumaksud adalah pohon cempedak yang berdiri kokoh di pinggir jalan raya.

    Tidak jauh dari Puskesmas yang ada di kecamatanku. Ukuran batangnya sebesar dua lingkaran tangan orang dewasa. Cabang-cabangnya banyak dan daunnya sangat rindang. Tidak dapat ditembus sinar matahari. Akar-akarnya mengular di tanah. Timbulan akarnya tempat untuk kami. Duduk saat sedang beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju sekolah.

    Banyak burung yang beterbangan dan singgah di atasnya. Kadang berkicau kadang hanya melompat dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya. Tupai pun sekali-kali kami lihat berada di atasnya. Sementara di bawahnya begitu sejuk. Kesejukannya itulah yang mengundang kami untuk selalu berteduh di bawahnya. Setelah berteduh, baru kami melanjutkan perjalanan menuju sekolah yang jaraknya masih ada sekitar satu setengah kilometer lagi.

    Kami biasanya duduk di akar yang mengular itu. Duduk sambil berceritera. Duduk sambil bakecoh dengan anak dari kampung lain seperti dari Pampakng Totokng dan Karasik.

    Tiada hari yang terlewati untuk tidak berteduh di bawah pohon cempedak, terkecuali hari sedang gelap atau lagi turun hujan. Ada satu anak yang sering jadi sasaran kecohatn kami. Anaknya emosian. Kulitnya hitam legam. Terkadang dia menangis kalau candaan kami kelewat batas. Tetapi anaknya tidak pendendam. Besoknya kami bercanda lagi.

    Saat kami berlama-lama di bawah pohon cempedak itu, maka banyak kisah yang dilontarkan dari mulut kami. Ada dua ayukng baikku yang benar-benar setia singgah di bawah pohon cempedak itu. Kami bercerita dalam banyak hal. Mulai dari cerita keseharian kami di rumah, di sekolah hingga cerita masa liburan sekolah. Temanku yang jangkung dan berbadan besar yang tidak pernah kehabisan bahan cerita. Dia sangat pandai bercerita. Umurnya lebih tua dari umur kami. Mungkin dua tiga tahun di atas kami.

    Dia tinggal sendirian di sebuah rumah dekat jembatan di kaki bukit Sababat. Sebelum akhirnya beberapa anak dari kampung lain ikut bergabung dengannya. Rumah itu rumah abang iparnya. Di belakang rumah itu ada sungai yang mengalir dengan kualitas air yang baik. Tanpa dimasak pun dapat langsung diminum. Tanpa diceritakan di bawah pohon cempedak yang kami singgahi, aku tahu kondisi rumah itu. Seperti apa kisah kesehariannya, saya tidak kalau dia tidak bercerita di bawah pohon cempedak yang besar itu.

    Cerita yang kudengar di bawah pohon cempedak itu seru adanya. Cerita temanku yang jangkung itu adalah mengenai pulang kampung di hari Sabtu. Pulang untuk membawa bekal dan mencari uang jajan dengan motong gatah. Dia pulang sore hari untuk menghindari terik matahari. Pulang dengan berjalan kaki. Menerobos hutan. Menelusuri jalan setapak. Lalu masuk ke salah satu kampung. Keluar kampung, demikian seterusnya, sebelum tiba di kampung halamannya. Ada beberapa kampung yang harus dilewatinya. Ia berjalan sendirian. Tidak ada orang seusianya yang bersekolah di tempat kami sekolah.

    Jika hari mulai gelap saat melewati hutan maka colok yang dia siapkan dari rumah di kaki bukit itu pun dinyalakan. Colok itu berbahan sepotong bambu. Di ujung bambu satu ruasnya tidak dipangkas untuk menahan minyak. Kemudian sabut kelapa kering yang padat dimasukkan di dalam bambu. Setelah semua sabut kelapa masuk baru diisinya dengan minyak tanah. Dengan colok itu, dia dapat melihat jalan sehingga tidak tersesat. Tidak tersandung. Bahkan binatang pun akan minggir melihat nyala api di colok itu.

    Ia pernah juga memiliki rasa takut. Terutama saat melintasi pekuburan dari perkampungan. Pekuburan yang dilewati bukan pekuburan yang dirawat. Jangankan malam hari, siang hari saja orang lewat sering merinding. Maka setiap melewati pekuburan bulu kuduknya berdiri dan ia mengambil langkah seribu dengan memegangi colok. Baginya, pantang untuk menoleh ke belakang sama seperti Lot meninggalkan Sodom dan Gomora. Ia terus berlari. Saat sudah menjauh dari pekuburan, ia melangkah pelan. Berjalan lagi demikian seterusnya hingga tiba di rumah.

    Tiba di rumah dengan perut lapar. Namun, sering kali yang mau dimakan sudah tidak ada. Ia harus masak lagi. Mandi lalu kemudian makan. Jika keesokan cuaca cerah itu adalah berkah baginya. Ia menyiapkan pamotong untuk motong gatah. Itu berarti dia harus mengusir rasa lelahnya.

    Pagi-pagi, ia sudah harus bangun menuju kebun karet. Jika pagi harinya terus cerah, maka sorenya saat kembali ke asrama, ia mengantongi sekian rupiah hasil motong tadi. Berarti ada uang untuk jajan dan membeli lauk-pauk selama satu minggu. Jika saat motong gatah, lalu turun hujan itu adalah kemalangan. Berarti dia pulang ke asrama hanya membawa beras. Orang tuanya jarang memberikan uang untuknya.

    Pernah dia berkisah saat kami berteduh di bawah pohon cempedak itu dia kehabisan beras. Pulang dari sekolah tidak ada yang dimasaknya. Dia istirahat sebentar lalu pergi ke kebun singkong orang. Dia cabut dan dibawanya ke asrama. Dibersihkannya umbi singkong tadi.

    Didatanginya pancing yang pasang sebelum berangkat ke kebun singkong. Dan benar saja, ia mendapat lele besar. Dibersihkannya. Dipotong-potong. Direbusnya singkong tadi. Berselang beberapa waktu, potongan lele menyusul ke dalam rebusan singkong.

    Diambilnya daun kunyit, daun salam dan beberapa batang sere. Semua penyedap ada di samping rumah. Tidak hanya perutnya akhirnya kenyang tetapi juga rasa nikmat yang luar biasa. Itu mungkin yang disebut sebagai pemeliharaan Tuhan kepada yang berkekurangan.

    Baginya mencabut singkong di kebun orang tidak berdosa. Mencabut bukan setiap saat. Mencabut tidak dalam jumlah banyak apalagi untuk dijual. Mencabut karena memang sangat diperlukan dan terpaksa. Apalagi sebelum mencabut, dia telah meminta. Permintaannya kepada pemilik kebun singkong itu seperti biasa dilakukan orang pada umumnya. Ada adat ba pinta ba padah. Meminta sendiri, lalu dijawab sendiri. Itu bukan mencuri. Masih banyak cerita lagi yang dikisahkannya saat kami duduk-duduk di bawah pohon cempedak sebelum melanjutkan perjalanan menuju sekolah.

    Temanku yang satu lagi berkisah. Berkisah bukan hal-hal yang miris seperti temanku yang jangkung tadi. Ia anak seorang guru. Hidupnya jauh lebih baik dari kami berdua. Orang tuanya punya sepeda. Punya motor. Jadi, kalau ia berangkat ke sekolah sangat memungkinkan menggunakan fasilitas itu. Dia tidak berkisah kenapa memilih berjalan kaki ke sekolah. Padahal jaraknya kurang lebih sama dengan jarak yang kutempuh sekalipun kami dari kampung yang berbeda.

    Anaknya ganteng, Kulit putih. Matanya tajam. Jika tersenyum sangat menawan. Tidak gemuk. Tidak juga kurus. Dari kami bertiga yang paling ganteng kawan kami anak guru ini. Ia berkisah ada minta diantar pulang saat nonton band di kampung tetangga. Biasa kalau ada yang nikah atau sunatan yang punya pesta sering mengundang band. Padahal yang dipentaskan bukan lagu-lagu Pop tetapi lagu-lagu dangdut. Hiburan di pesta yang seperti ini mengumpulkan sejumlah besar orang dari perkampungan tetangga. Tidak orang dewasa, anak-anak pun ikut. Ada banyak warung dan permainan judi kolok-kolok dan judi tepo.

    Kawanku ini berkisah ia menonton dengan membawa motor. Jarang-jarang motor ini dibawa ke tempat pesta. Malam itu katanya dia didekati seorang gadis. Gadis itu cantik. Gadis itu dikenalnya. Katanya dikenal oleh kami juga. Ia tidak mau menyebut nama gadis itu. Ia memang menaruh hati dengan gadis itu. Namun tidak pernah berani berkirim surat dengannya.

    Gadis itu katanya minta diantar pulang. Ada tertinggal sesuatu di rumah. Jadi harus segera diambil. Awalnya, ia menolak. Selain jaraknya cukup jauh. Ada kebiasaan jika berduaan yang tidak wajar dapat dikenakan sanksi adat bahkan sangat dimungkinkan untuk dinikahkan. Entah karena rayuan atau entah karena perasaan yang terpendam, ia mengikuti kemauan gadis itu. Mereka pun naik motor berboncengan.

    Awalnya biasa saja kata kawanku itu. Namun saat berada di tempat yang gelap dan tidak ada rumah penduduk. Apalagi melewati pekuburan di pinggir jalan kedua tangan si gadis memeluk dengan erat. Ia ingat pelajaran matematika jika positif dengan negatif bertemu maka akan terjadi sesuatu. Nah, sesuatu yang awalnya tidak mau dikisahkannya. Namun, kami mendesaknya untuk berkisah sebelum anak-anak dari kampung lain berdatangan untuk teduh di bawah cempedak tempat kami dari terik matahari.

    Akhirnya, ia pun melanjutkan kisahnya. Awalnya ia memacu motornya. Namun diperlambatnya. Tangan gadis itu tidak saja memeluknya, namun mulai menjelajah yang lainnya. Awalnya, ia berusaha menepisnya tetapi ia tidak kuasa. Semua akal sehatnya hilang. Ia seperti dibawa ke dunia lain. Ke dunia yang entah berantah.

    Tetapi di ujung kisahnya mereka tidak sampai melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan. Masih ada batas-batas yang tidak boleh dilewati. Sejak kejadian itu, ia berbalik. Dari suka menjadi tidak suka dengan gadis itu. Ia memberi penilaian gadis yang minta diantar pulang ternyata bukan gadis baik-baik. Terlalu berani. Ia memutuskan sejak itu ia tidak mau lagi keluar malam. Tidak mau lagi jalan bersama.

    Di bawah pohon cempedak itu pun aku pernah mengisahkan kisahku kepada mereka berdua. Aku berkisah saat berkunjung ke rumah tanteku. Dua hari sebelum hari raya hari raya Paskah. Aku datang ke sana. Saat Pedang mencuci pakaianku di roakng tabakng, aku mendengar suara-suara perempuan remaja memanggil namaku.

    Padahal kami belum berkenalan. Setelah pakaianku selesai kucuci, kubersihkan tanganku. Lalu menuju mereka bertiga. Di mataku, mereka cantik. Namun, ada satu yang sangat istimewa bagiku. Namanya Enek. Saat aku mengulurkan tanganku untuk berkenalan, ia agak salah tingkah.

    Seminggu setelah perkenalan, aku menitipkan surat kepada kakak sepupu. Nama penerimanya jelas yakni Enek. Kakak sepupu tinggal di rumah kami saat kelas satu SMA. Kakak sepupu sekampung dengan Enek. Berarti satu kampung juga dengan tanteku.

    Saat kakak sepupu datang dari kampungnya, surat balasan pun kuterima dan kubaca.

    “Kini aku punya pacar,” kataku kepada kedua kawanku tanpa malu kuakui di bawah pohon cempedak. Temanku yang jangkung berkata sebagai responsnya terhadap perkataanku.

    “Aku tidak yakin. Aku tidak percaya. Tepos sepertimu sudah punya pacar? Mana ada cerita, ayo kita jalan sudah mau jam dua belas.”

    Temanku anak guru tidak mau kalah dengan temanku yang jangkung. Ia berkata kepadaku. “Mana buktinya kamu sudah punya pacar?” aku bangkit dari dudukku. Menepis sisa-sisa daun yang menempel di celanaku. Kami meninggalkan pohon cempedak itu utnuk berangkat ke sekolah.

    Keesokkan harinya.

    Kami bertemu dan berteduh lagi di bawah pohon cempedak itu. Betapa sejuknya berada di bawahnya. Begitu cepat terusirnya rasa panas yang menyengat dari sinar matahari khatulistiwa.

    Kami mengambil posisi masing-masing untuk duduk melepas rasa panas dan lelahnya kaki setelah sekian kilometer berjalan kaki menuju sekolah.

    “Ini foto dan ini surat-surat balasan dari Enek,” kataku.

    Si jangkung mengambil foto sedangkan temanku anak guru mengambil satu surat dari sekian surat yang ada. Di bawah pohon cempedak itu aku memproklamasikan diri bahwa aku sudah punya pacar. Di bawah pohon cempedak itu pun banyak kisah yang kudapatkan.

    Namun, kini tidak ada lagi pohon cempedak itu. Pohon cempedak ditebang untuk kepentingan lain. Setiap jam berjejer motor maupun mobil di tempat kami dulu berteduh. Bukannya semakin dingin udara yang ada semakin panas oleh knalpot asap dari deru mesin.

    Catatan:

    • Bakecoh: bercanda atau sedang berguyon ria.
    • Ayukng: teman atau sahabat.
    • Motong gatah: menyadap atau menoreh karet dengan mengeluarkan getahnya.
    • Colok: obor yang dibuat dari batang bambu dengan sabut kelapa atau kain yang tidak digunakan lagi dengan diisi mintak tanah.
    • Ba pinta ba padah : Kebiasaan yang dilakukan seseorang jika mengambil makanan atau barang di mana pemiliknya tidak ada di tempat.
    • Roakng tabakng: dapur yang dikhususkan untuk menempatkan air, piring dandang dan lain-lain.

    ***

    Bionarasi

    Paran 1

    Paran Sakiu, S.Th. dilahirkan di Mentonyek pada 19 Maret 1971. Guru PAK di SMPK Rahmani, pegiat literasi.

    Aktif menulis untuk www.detikborneo.com.

    Menulis dan menerbitkan buku:

    1. Menimba dari Sumur Yakub (Tangerang, 2019)

    2. Kumpulan Cerpen: Hari Terakhir (Tangerang, 2020)

    Menikah dengan Okseviorita dan telah dikarunia tiga orang anak, menetap di penjaringan, Jakarta Utara.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita