26 C
Singkawang
More
    BerandaSosokMenempuh Perjalanan Penuh Resiko Demi Masa Depan Buah Hati

    Menempuh Perjalanan Penuh Resiko Demi Masa Depan Buah Hati

    | Penulis: Amon Stefanus

    Pada tanggal 30 Juni – 2 Juli 2021 kembali aku dan anakku Sadong melakukan perjalanan dari Ketapang menuju Pontianak. Perjalanan ini penuh resiko karena menuju daerah yang termasuk zona merah Covid-19. Selain itu cuaca juga tidak begitu baik. Biasanya bulan Juni dan Juli sudah memasuki musim kemarau, tapi kini musim sudah berubah. Bulan Juni-Juli malah musim hujan.

    Perjalanan ini harus kami lakukan karena anakku telah dinyatakan lulus di sebuah perguruan tinggi di Pontianak. Kami sudah registrasi dengan mengisi biodata dan mencetaknya. Kami juga telah membayar uang kuliah, uang Kartu Mahasiswa, biaya tes narkoba di salah satu bank di Ketapang. Belum ada informasi yang jelas kapan mahasiswa baru harus hadir di kampus. Juga kurang jelas apakah data yang minta dicetak, ditandatangani dengan materai itu harus diserahkan ke kampus.

    Karena ragu kami mencari tahu kapan seorang mahasiswa baru harus menyerahkan data-data yang sudah diprint kepada Fakultas. Kami juga ingin memastikan apakah memang benar bahwa tes narkoba bisa dilakukan setelah masuk nanti.

    Karena itu aku minta Sadong bertanya kepada admin fakultas. Apa jawabannya? “Datang sajalah ke kampus, dengan mengikuti protokol kesehatan”. Wah repot juga kalau datang ke kampus hanya untuk menyerahkan data-data yang diprint itu. Tidakkah data-data itu bisa discan dan diunggah secara online?

    Karena kuatir tentang situasi covid sekarang ini, maka aku juga menanyakan kepada beberapa teman yang berdomisili di Pontianak tentang situasi kota Pontianak dan sekitarnya saat itu. Sebelum memutuskan pergi ke sana aku wa beberapa teman.

    “Bagaimana situasi covid di Pontianak? Aku dan anakku ada rencana pergi ke sana,” tanyaku kepada seorang teman.

    “Mengkhawatirkan bang. Maka vaksin agak dikebut pemerintah sekarang. Tapi efek vaksin belum tentu mujarab 100 %. Mungkin hanya 60 %. Sehingga setelah vaksin bisa saja orang tertular.” Demikian jawaban seorang teman.

    “Bagaimana situasi covid di Pontianak sekarang ini?” tanyaku pada seorang teman yang lain.

    “Covid di Pontianak tinggi bang,” jawabnya.

    Walaupun situasi mengkhawatirkan kami tetap memutuskan pergi ke Pontianak. Selasa, 29 Juni 2021 aku memesan dua tiket pesawat di Alex Travel, salah satu agen tiket di Jalan Suprapto. Aku memesan pesawat yang berangkat tangggal 30 Juni 2021.

    Ternyata harga tiket ke Pontianak relatif murah bila dibandingkan mobil travel lewat jalan darat. Harga tiket pesawat Rp 255.500,00 per orang. Sedangkan kalau naik mobil travel Rp 350.000,00 per orang. Hanya saja kalau naik pesawat perlu rapid tes antigen.

    Di Ketapang tarif untuk rapid tes antigen sebesar Rp 185.000,00. Memang naik travel ongkosnya lebih murah, namun perlu waktu 10 jam untuk sampai ke Pontianak, sedangkan naik pesawat hanya memerlukan waktu 45 menit saja. Karena itulah kami lebih memilih naik pesawat.

    ***

    Rabu, 30 Juni 2021 kami berangkat menuju Pontianak. Dengan naik motor pada pukul 07.30 kami menuju Bandara Rahadi Oesman Ketapang. Aku diboncengi Pak Parjono, tetangga kami dan Sadong diboncengi Pak Lauren temanku di sekolah. Pukul 08.00 kami cek in dan menunggu di ruang tunggu hingga keberangkatan. Pukul 09.00 kami diarahkan menuju pesawat. Pukul 09.10 pesawat meninggalkan landasan.

    Menit-menit awal cuaca cukup cerah. Kami masih terbang di bawah awan. Terlihat kota Ketapang di atas ketinggian seperti kumpulan maket saja. Tampak pula Sungai Pawan yang berekelok-kelok. Hutan-hutan tidak sehijau dulu lagi. Sudah banyak yang beralih fungsi.

    Sekitar menit ke-10 kami sudah berjalan di atas awan. Tampak awan-awan putih pekat seperti kapas. Awan-awan tersebut seakan berlari ke belakang kami. Kira-kira pada menit ke-30 kami terbang menembus pekatnya awan. Tidak terlihat apa-apa. Hanya putih pekat.

    Aku merasa pesawat agak goyang. Aduh… Secara spontan aku berdoa sambil membuat tanda salib dan berguman, “Tuhan Yesus, lindungi kami.” Adrenalin menjalar ke seluruh tubuhku. Perutku seperti dikocok. Aku teringat tragedi yang telah merenggut teman akrabku sejak SMA itu.

    Mungkin ada 5 menit kami berada dalam pekatnya awan. Kami tidak bisa melihat apa-apa, kecuali awan pekat putih. Setelah itu baru kemudian awannya tidak pekat lagi. Sekitar menit ke-40 pesawat mulai turun pada ketinggian tertentu. Aku lega.

    Sekarang baru kelihatan pemandangan kota Pontianak dari atas. Terdengar peringatan bahwa sebentar lagi kami akan mendarat di Bandara Supadio Pontianak. Semua penumpang diinstruksikan agar tetap memakai sabuk pengaman.

    Di Bandara Supadio sudah menunggu 2 orang keponakan jauh yang siap mengantar kami ke tempat penginapan kami di Asrama di Jalan Perdana. Dandi dan Beto, begitulah kedua keponakan dari kampungku itu dipanggil. Mereka berdua adalah mahasiswa salah satu perguruan tinggi terkenal di Pontianak ini. Mereka sama-sama sudah menginjak semester ke-6.

    Dalam keadaan hujan gerimis kami menerobos menuju pusat kota. Ternyata perlu waktu 35 menit dari Bandara Supadio baru sampai ke tempat penginapan kami. Setelah memasukkan tas kami ke kamar dan beristirahat sejenak kami siap berangkat menuju kampus.

    Dalam keadaan hujan rintik-rintik kami menuju gedung fakultas ekonomi dan bisnis tempat anakku akan kuliah nanti. Suasana di sana cukup ramai. Rupanya masih ada tes gelombang ke-3 di situ. Semua calon mahasiswa tidak ada yang tidak memakai masker.

    Kami menuju bagian akademik untuk menanyakan di mana kami harus mengumpulkan data-data yang sudah kami print itu. Ternyata tidak ada pelayanan tatap muka. Hal ini mengingat situasi Pontianak saat ini. Kami hanya ditunjukkan oleh seorang perempuan muda karyawan di situ pada papan pengumuman.

    Disitu diberitahu bahwa untuk mahasiswa baru tahun 2021 agar melakukan pendaftaran administrasi di Fakultas secara online mulai tanggal 1 April 2021 – 30 Juli 2021. Mahasiswa baru diminta mengunggah soft copy untuk administrasi berupa: pas photo berwarna 4×6, form biodata yang telah diisi, Kartu Tanda Mahasiswa, ijizah yang dilegalisisr, KTP, Akta kelahiran dan bukti pembayaran SPP asli.

    “Kalau begini prosedurnya kami tidak perlu datang jauh-jauh dari Ketapang ke Pontianak” kataku kepada karyawan tersebut.

    “Apakah tes narkobanya bisa dilakukan di Ketapang?” tanyaku kepada karyawan tersebut.

    “Bisa. Hasilnya diupload saja pada link yang dicantumkan di papan ini,” kata karyawan itu sambil menunjuk barkot yang tertera di pengumuman tersebut.

    “Ndak apalah. Kita kan sudah bayar biaya tes narkoba di bank. Maka sekarang kita menuju ke klinik yang sudah ditunjuk Universitas. Ayo kita pergi ke Klinik,” kataku kepada Sadong.

    Kami pun menuju Klinik. Dalam perjalanan kami disapu hujan cukup lebat. Ternyata dari dua mahasiswa asal kampungku ini tidak ada satupun punya mantel. Dengan badan sedikit basah kami sampai ke klinik. Jam di hpku sudah menunjukkan pukul 11.30.

    Sang satpam mengatakan bahwa klinik sudah tutup, silakan datang pukul 13.00 nanti. Karena hujan lebat maka kami menunggu di situ. Dari seorang dokter yang bertugas di situ, Beto mendapat informasi bahwa hari ini tes narkoba sudah ditutup. Besok jam 08.00 baru dibuka kembali.

    Setelah hujan reda kami pun menerobos hujan. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.15, perutku sudah berbunyi. Belum sampai di tempat penginapan, hujan bertambah lebat. Kami mampir di sebuah warung. Mereka bertiga Dandi, Beto dan Sadong kusuruh memesan makanan dan minuman. Sedangkan aku hanya memesan minuman jeruk hangat.

    Aku menunggu sampai ke tempat penginapan baru makan karena dari Ketapang kami dibekali istriku nasi dan lauk daging goreng. Sayang kalau tidak dimakan. Selain itu sebenarnya aku takut makan dan minum di warung dalam keadaan situasi covid seperti sekarang ini.

    Ketika menunggu mereka makan terdengar suara “prak” di jalan di depan warung tempat kami singgah. Aku dan beberapa orang di warung melihat ke tempat kejadian. Sebuah sepeda motor besar dan motor bebek saling mengerem dan menempel ban depannya. Masih untung tidak ada yang cidera. Hanya terlihat serpihan sebeng depan motor besar jatuh ke tanah.

    Jam di HPku sudah menunjukkan pukul 13.30. aku sudah melewati batas limit kebiasaan jam makan siangku. Aku takut maagku kumat. Meskipun masih gerimis, aku mengajak mereka pulang ke penginapan. Sampai di penginapan tidak lengah lagi aku langsung membuka tempat makanan. Dalam keadaan cuaca dingin seperti ini makan terasa begitu nikmat.

    Sorenya pukul 16.30 masih dalam keadaan hujan rintik-rintik aku dan Sadong diantar Dandi dan Beto belanja alat-alat keperluan Sadong di asrama. Kalau tidak salah mereka bilang ke Pasar Sore. Memerlukan waktu tidak kurang 15 menit baru sampai di sana. Sampai di depan sebuah mini market kami berhenti karena hujan turun dengan derasnya.

    Aku dan Sadong masuk toko dan membeli piring, gelas plastik, hanger, serbet, centong dan terminal listrik. Setelah hujan reda kami menuju sebuah toko lainnya. Di situ kami membeli rice cooker, termos, ember, tikar, pompa galon, keset kaki, tempat sampah, gunting kecil dan cermin. Sudah agak gelap baru kami pulang ke asrama.

                                                              ***

    Keesokan harinya Kamis 1 Juli 2021 pukul 08.00 Sadong diantar Dandi ke klinik untuk test narkoba. Sedangkan aku pada pukul 10.00 dengan mengendarai sepeda motor pinjaman dari ketua asrama menuju Ayani Megamall di Jalan A. Yani. Aku naik ke Toko Buku Gramedia di Lantai 2. Di Megamall ternyata sudah ramai orang duduk berjejer di kursi yang sudah diatur jaraknya. Rupanya ada pemberiaan vaksin masal di Megamall pada hari itu.

    Di Toko Gramedia aku bolak-balik mencari buku-buku yang menarik bagiku. Aku berputar-putar di sekitar rak Self Development dan menemukan buku yang kusukai. Kutarik dari rak buku yang berjudul: Outliers karangan Malcolm Gladwell, The Power of Habit karangan Charles Duhigg dan Chicken Soup for the Soul: Berbagai Kebaikan karangan Amy Newmark. Kemudian aku mencari novel untuk istriku. Aku memilih novel yang berjudul: Close Contac karangan Lori Foster. Terakhir aku pergi ke bagian buku anak-anak. Di sana membeli buku yang berjudul: Alam Semesta.

    Pukul 12.00 aku menuju tempat parkir. Di sebuah warung di Jalan Perdana membeli 2 bungkus nasi goreng untukku dan Sadong. Sampai di penginapan ternyata Sadong sudah datang. Ia sedang asyik main games. Dengan demikian, urusan di kampus selesai. Tinggal rapid tes dan membeli tiket.

    Setelah makan siang kami wa Dandi dan Beto agar datang pukul 15.00 untuk mengantar kami rapid tes dan beli tiket. Tapi Dandi bilang sebaiknya kami pergi lebih awal antisipasi karena kalau sore mungkin rumah sakit atau tempat penjualan tiket tutup. Kami setuju pergi rapid tes jam 14.00. Aku bertanya lewat wa kepada seorang teman yang memiliki usaha penjualan tiket. Ia dan adiknya memiliki usaha yang bernama Mega Tour.

    “Halo Mei, aku lagi di Ponti ni. Ngantar anak tes narkoba sebagai syarat masuk kuliah. Sore bisa beli tiket di tempatmu ndak? Apakah masih buka?” tanyaku.

    “Siang Mon… Sementara kami tutup karena sekarang diharuskan wfh (work from home = kerja dari rumah). Jadi kantor-kantor sekitar kami tutup semua sehingga kamipun tutup”.

    “Di mana bisa beli tiket ya?” tanyaku lagi.

    “Kami bisa melayani lewat telpon. Kamu mau pulang pakai apa dan kapan?” tanya Mei lagi.

    “Rencana besok. Pakai Citi Link” jawabku

    “Pulang ke mana?” tanya Mei lagi. (Aduh… Mei ini kok ndak tahu bahwa aku orang Ketapang. Tempatku pulang tidak ada lain, selain Ketapang. Begitu pikirku)

    “Ketapang.” Jawabku

    “Ndak ada pesawat Citilink… Kalau ke Ketapang hanya ada Wings dan Nam Air.”  (Baru aku mengerti mengapa Mei menjawab demikian. Kalau aku pakai Citilink tentu aku pulang ke tempat lain, bukan ke Ketapang. Aku tersenyum sendiri).

    “Wings maksudku,” aku meralat.

    “2/7 Pontianak-Ketapang Nam Air jam 09.30 = 335. Wings jam 10.15 = 320. Ini jadwal yang ada.”demikian penjelasan Mei.

    “Mudah-mudahan besok cuaca bagus. Sebetulnya aku mau pesat tiket lewat kamu. Tapi bagaimana bayarnya? Aku tidak bawa kartu atm. Maksudku mau bayar langsung,” aku menjelaskan kesulitanku.

    “Bisa transfer… Sampai di Ketapang juga nggak apa-apa Mon,” jawab Mei.

    “Oke Mei. Sore setelah kami rapid tes ada aku kabar lagi ya…”

    “Ya,” jawabnya singkat.

    “Terima kasih Mei. Semoga kalian sekeluarga selalu dalam perlindungan Tuhan”.

    “Amin… Semoga keluargamu juga. Terima kasih Mon. Nanti kamu infokan saja kalau sudah antigen”.

    “Baik Mei,” jawabku.

    Hingga pukul 14.00 hari masih hujan. Pukul 14.30 Dandi dan Beto datang. Kamipun pergi ke rumah sakit Bhayangkara di Jl. K.S. Tubun. Tidak memerlukan waktu lama untuk rapid tes antigen di sana. Total waktu dari membayar di kasir sampai menunggu hasil rapid tidak lebih dari 15 menit. Bayarannya pun sudah turun. Dari Rp 180.000,00 pada bulan Maret lalu kini menjadi Rp 130.000,00. Setelah tes selesai kami pulang ke penginapan. Sampai di penginapan aku wa Mei lagi.

    ‘Kami sudah rapid tes. Besok mau pulang naik Wings jam 10.15. Amon Stefanus dan Yakob Febrian Sadong,” kataku memberikan data aku dan anakku.

    “Ok. 2/7 Pnk Ktg by Wings IW 1348 jam 10.15. Amon Stefanus dan Yakob Febrian Sadong. 2x 320. Ini betul ya Mon? Boleh buka tiketnya?’ tanya Mei lagi.

    “Boleh Mei, sudah betul datanya.” Jawabku.

    Satu detik kemudian sudah dikirimkan oleh Mei tiketnya.

    “Ini tiketnya. Jangan telat ya. Nanti kamu transfer ke sini saja,” kata Mei sambil melampirkan nomor rekening bank perusahaannya.

    “Terima kasih Mei,” jawabku singkat.

    ***

    Jumat, 2 Juli 2021. Pukul 07.15 kami diantar Ranting dan Dandi menuju Bandara Internasional Supadio Pontianak. Memerlukan waktu setengah jam untuk mencapai Bandara dari penginapan. Setelah memberikan uang bensin kepada mereka berdua, kami pun menuju tempat cek in.

    Pukul 08.00 kami memasuki ruangan cek in. Pukul 08.30 kami cek in dan menuju ruang tunggu keberangkatan. Sambil menunggu di ruang tunggu aku membaca buku Outlier karangan Malcolm Gladwell yang kubeli dari Gramedia kemarin. Buku ini bercerita tentang rahasia di balik kesuksesan.

    Buku ini katanya, akan mengubah cara kita memahami kesuksesan. Ketika aku menoleh ke sana kemari, tidak ada satupun di antara penumpang yang menunggu membaca buku.  Semua sibuk dengan Androidnya masing-masing, termasuk Sadong. Ah, apakah aku ini termasuk generasi yang ketinggalan zaman? Tanyaku dalam hati.

    Pukul 10.00 kami dipersilakan menuju pesawat lewat pintu 4. Pukul 10.15 pesawat tinggal landas. Kali ini penumpang begitu sepi. Kuhitung hanya 23 orang. Padahal kapasitasnya 80 orang. Ketika aku menengok langit cuaca begitu cerah. Puji Tuhan. Semoga perjalanan pulang ini lancar sampai di rumah.

    Pukul 11.00 pesawat mendarat di Bandara Rahadi Oesman Ketapang. Dari Bandara kami naik taksi ke rumah dengan membayar Rp 70.000,00. Pukul 11.57 aku sudah membayar hutangku pada Mei.

    “Selamat siang Mei. Kami sudah sampai di Ketapang dengan selamat. Terima kasih atas kebaikanmu. Tuhan memberkati.” Aku mengirim WA kepada Mei sambil melampirkan bukti pembayaran.

    “Puji Tuhan. Terima kasih Mon,” jawab Mei.

    ***

    Bionarasi

    Amon Stefanus

    Amon Stefanus dilahirkan Banjur, Ketapang, Kalimantan Barat pada 18 Maret 1966. Guru SMP Santo Augustinus Ketapang.

    Telah menerbitkan 12 buku ber-ISBN. Beberapa tulisan dipublikasikan di Kompas, The Jakarta Post, Bernas, Pontianak Post, Majalah Hidup, dll.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita