28.2 C
Singkawang
More
    BerandaSastraNovelet| Kimik Si Anak Sungai (1)

    Novelet| Kimik Si Anak Sungai (1)

    Catatan Redaksi

    Mugeni. Bukan nama asing, terutama di komunitas penggila sastra Kalimantan Selatan. Cerpen-cerpennya, dahlu kala, kerap menghiasi lembar sastra dan budaya koran setempat. Kali ini, beliau mengirimkan kisahan hasil imaginasinya. Panjang dari Cerpen dan pendek dibanding Novel, sehingga kategorinya: Novelet. Redaksi memutuskan memuatnya 3 kali, mulai hari ini. Selamat menikmati.

    | Penulis: H. Mugeni

    Senja sudah berlalu dan gelap sudah benar-benar menyergap. Di luar sama sekali tidak ada lagi cahaya. Gerimis sisa-sisa hujan deras yang terus membasahi bumi sedari sore belum juga berhenti.

    Sesekali kilat masih menyambar di langit. Kimik buru-buru meruntuhkan kelambu dan segera masuk merebahkan diri serta membungkus tubuhnya dengan sarung panjang.

    Kimik merasa bulu kuduknya merinding, dan bahkan jadi menggigil ketakutan ketika sayup-sayup dia mendengar dari kejauhan seperti suara auman harimau kecil sedang berlari kencang menuju pondoknya.

    “Matilah aku malam ini dicakar dan dimakan Kamiak – binatang siluman berkuku banyak dan tajam itu…,” gumam Kimik makin menggigil ketakutan.

    Kimik begitu menyesali keteledorannya,telah melanggar larangan leluhur agar jangan “mengabuk”-membakar ikan Saluang di dalam hutan. Sebab bila itu dilakukan maka malamnya akan datang Kamiak-binatang seperti macan tutul yang berkuku banyak dan tajam, terus akan mencakar dan memakan pelakunya sampai habis tanpa seorang pun yang mampu mencegahnya.

    Kamiak akan datang menyerang tanpa terlihat, dan hanya auman mistisnya saja yang terdengar. Kimik tidak percaya dengan mitos itu dan sore tadi ia melakukan pelanggaran itu. Ia membakar ikan ‘Saluang belum’ hasil memancing di sungai di muka pondoknya. Kakeknya telah menegurnya, tapi Kimik terus melakukannya.

    Begitu ia selesai membakar ‘Seluang belum’ itu dan melahapnya habis, tiba-tiba langit berubah menjadi mendung. Awan hitam dengan cepat bergulung-gulung, kilat menyambar, dan guntur langsung bersahutan. Hujan disertai angin kencang langsung menyergap.

    Kini hujan masih belum berhenti, gerimis terus mengundang. Malam pun makin dingin menusuk tulang. Tak seperti biasanya, hening malam benar-benar nyaris tanpa suara. Tak ada terdengar kelebat dan cuitan burung-burung malam. Hanya Suara auman yang menakutkan terus terdengar semakin dekat.

    Kimik masih meringkuk ketakutan dalam kelambu, tidak berani keluar sejengkal pun. Suara auman kemudian berhenti, tidak terdengar lagi. Tetapi suara cekikan aneh tiba-tiba muncul dari arah pintu depan. Suara cekikan yang menyeramkan semakin banyak, kini terdengar dari semua penjuru pondok.

    “Celaka, pondok ini sudah dikepung. Matilah aku,” pikir Kimik makin ketakutan.

    Tanpa sadar Kimik duduk dan bersandar ke sudut kelambu di sisi belakang pondok. Kini suara cekikan itu juga datang dari kolong bawah pondok. Masih dalam kelambu, Kimik siaga. Ia mengambil posisi setengah berdiri untuk menghindari kalau- kalau kuku tajam Kamiak menerobos masuk lewat kolong bawah rumah.

    Kimik mau berteriak minta tolong, tetapi tidak jadi dilakukan. Ia pikir itu akan memancing para makhluk ganas berkuku banyak dan tajam itu akan tau posisinya di dalam pondok. Lagi pula kalau ia berteriak akan sia-sia saja. Tidak akan ada yang mendengar.

    Kakeknya, Datu Gulu, yang dikenal sangat tangguh dan dikenal dapat menundukkan banyak binatang masih belum datang kembali dari pondok Angah Pari yang jaraknya lebih 500 meter dari pondok mereka. Tadi Datu Gulu, sewaktu hujan agak reda dijemput oleh Lego untuk mengobati Angah Pari yang katanya lagi sakit.

    Lego adalah anak sulung Angah Pari yang ikut berladang di perladangan pinggiran sungai Telok Bonter Taringin Lama. Ada dua keluarga lagi yang berladang bersama mereka di Telok Bonter, tapi posisi pondok mereka lebih jauh lagi. Meskipun masih menggigil ketakutan akan diterkam oleh para Kamiak, yang menurut ceritanya sangat ganas dan mengerikan itu, Kimik tidak mau mati konyol begitu saja.

    Dengan langkah kaki yang berat seperti dijerat akar-akar kayu di tengah hutan, Kimik beringsut ke arah pintu dapur. Ia ingat benar, di belakang dinding pintu dapur itu ada tergantung Mandau Talabang Datu Gulu. Dibantu sedikit cahaya dari lampu minyak yang terletak di tengah-tengah pondok, tangan Kimik meraih Mandau Talabang dan menghunusnya.

    Kimik kini siap bertarung dan siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun demikian dia tetap berdoa agar para Kamiak yang telah mengepung pondoknya tidak sampai menerobos masuk.

    Mata Kimik tidak pernah lepas dan terus tertuju ke pintu depan. Pintu depan itu kemungkinan tidak terkunci rapat selepas Datu Gulu keluar tadi. Sedangkan pintu dapur pasti sudah disunduk – sudah dikunci dengan palang pintu yang terbuat dari kayu Ulin.

    Eit… telinga Kimik seperti menangkap suara langkah kaki menaiki hejan – tangga pondok. Kimik gemetar dan Mandau pun dipegangnya erat-erat siap untuk bertarung.
    “Baikkah, bismillah…,” gumam Kimik.

    Braak…..! Pintu depan terbuka. Angin kencang menerobos masuk dan terasa sekali dinginnya menusuk tulang. Meskipun sudah siap dengan Mandau di tangan, tapi tubuh Kimik gemetar dan kakinya pun dingin seperti es dan terasa lumpuh. Kimik tetap berdiri tegak di tempatnya, tak bergerak. Tidak maju, tidak juga mundur. Lidahnya kaku, tenggorokannya tercekak tak mampu bersuara.

    Ada cahaya… ya, sebuah sorot cahaya langsung menerkam wajahnya. Kimik melindungi matanya dari kilau cahaya dengan mengangkat lengan kiri dan menempelkan ke dahinya. Tangan kanannya siap mengayun Mandau.

    “Mik, ada apa?” Seru sebuah suara lembut dari balik cahaya yang masih terus menyorot dan menerkam wajahnya. Kimik tersadar, itu suara yang sudah sangat dia kenal. Cahaya itu datang dari sebuah suar-lampu sorot tradisional yang dipakai untuk mencari ikan di waktu malam.

    “Tidak apa-apa, saya kira tadi Kamiak yang masuk menyerang,” sahut Kimik sambil menurunkan mandaunya.

    “Kamiak apa, di luar tidak ada apa-apa?”.
    “Syukurlah, saya kira Kamiak datang untuk memangsa saya, karena sore tadi saya telah mengabuk-membakar Ikan Saluang,” terang Kimik merasa lega.

    Beberapa lama kemudian, Kimik masuk lagi ke kelambunya. Kini Kimik tidak lagi mendengar suara-suara aneh dan menakutkan. Hanya tinggal sedikit suara sisa gerimis yang jatuh di atap pondok yang terbuat dari Kajang-Atap yang terbuat dari daun rampiang.

    Bersambung___

    ***

    Bionarasi

    Mugeni

    Dr. H. Mugeni, S.H., M.H. lahir pada 4 Juli 1959 adalah seorang tokoh literasi di Kalimantan Tengah, dan dahulu pernah menjadi seorang birokrat. Jabatan yang pernah ia emban salah satunya adalah sebagai Penjabat Bupati Barito Selatan pada 2016–2017.

    Kini menikmati hidup yang lebih hidup di perkebunannya di Sukamara, sembari giat berliterasi. Ia ketua Komunitas Penulis Lembaga Literasi Dayak.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita