| Penulis: Jonison
Sepintas bentuk batu ini menyerupai kepala manusia. Batu ini sudah tidak asing bagi orang-orang berlalu lalang dari desa-kota kecamatan. Sebab batu ini berdiri kokoh di pinggir jalur sungai.
Batu ini terletak di pinggir sungai Dohos Belimbing (Sungai Ambalau). Tepatnya di Desa Nanga Ambalau Kecamatan Ambalau Kabupaten Sintang, kala musim kemarau di sekitar batu ini menjadi tempat pavorit bagi para pencari ikan tradisional.
Suatu sore yang cerah saya mengajak anak bungsu untuk mencoba keberuntungan memancing di sekitaran batu tersebut.
“Pak, mengapa bentuk batu ini seperti kepala manusia ya?” Tanya si kecil.
Sejenak saya terdiam, sambil mencoba mengumpulkan kembali potongan kisah yang pernah ibu ceritakan ketika menjelang tidur saat masih kecil. Namun rasanya masih belum cukup menceritakan secara utuh.
Ketika pulang ke rumah pertanyaan si Kecil masih terngiang-ngiang di telinga. Pertanyaan yang membuat penasaran. Satu-satunya tetua yang menjadi harapan untuk bisa berkisah secara jelas dari awal hingga akhir “Bahtuk Nyandung” adalah seorang ibu bernama Yohana Duaner.
Beliau sudah banyak makan asam garam sekaligus pernah menjadi ibu Kepala Dusun di era 80-an. Sayangnya beliau sudah tidak bertempat tinggal di desa di mana Batu Nyandung berada.
Suatu kesempatan saya sengaja menemui beliau untuk mendengar kisah Bahtuk Nyandung.
Berkisahlah ibu Yohana Duaner…
Kala itu di seberang kiri ke arah hulu sungai dimana Batu Nyandung kini berada ada sebuah perkampungan yang cukup ramai. Sedangkan di seberangnya hanya berdiri sebuah rumah. Rumah tersebut ditempati sepasang suami istri bernama Tumbung dan Inge.
Tumbung adalah seorang lelaki yang sangat pencemburu. Inge adalah seorang perempuan yang memiliki wajah yang sangat cantik serta memiliki kelebihan sebagai seorang “jajak” (bisa mendeteksi dan menyembuhkan orang sakit atau kerasukan dengan tata cara adat).
Karena sifat pencemburunya itulah maka Tumbung mendirikan rumah yang terpisah dari orang banyak di seberang sungai.
Suatu hari di kampung seberang sebelah hilir akan ada acara “nyakai” untuk menyembuhkan orang yang sakit sedangkan di sebelah hulunya lagi ada acara “dalok” yaitu upacara adat kematian untuk memperingati arwah seseorang yang telah meninggal dunia dengan cara mengangkat tulang orang yang sudah meninggal dari kuburan untuk dipindahkan ke rumah kecil yang disebut Sandung/Kodiring).
Karena mengetahui di kampung seberang akan ada keramaian acara nyakai dan dalok. Tumbung tau bahwa istrinya adalah seorang jajak dan pasti akan terlibat di acara tersebut dan akan menjadi pusat perhatian banyak orang, maka timbul rasa cemburunya.
Tumbung berpikir keras bagaimana caranya agar Inge tidak ikut dalam acara tersebut, Tumbung tau kalau di acara tersebut akan pasti banyak orang yang hadir, dia tidak mau istirnya dipuji-puji orang karena kecantikannya.
Satu-satunya cara yang ia lakukan adalah ia akan pergi “mongan” berburu ke hutan. “Hari ini aku akan berburu ke hutan, di seberang ada keramaian walaupun ada yang mengajak, jangan sekali-kali meninggalkan rumah,”pesan Tumbung kepada istrinya sambil membalikkan tangga rumah. Dulu tangga rumah terbuat dari kayu tunggal.
“Ya” jawab Inge singkat.
Berangkatlah Tumbung ke hutan.
Di kampung seberang acara sudah dimulai, riuh rendah musik “kotambung” (gendang) ditabuh dan “kolatung” (gong) dipukul. Perpaduan musik tradisional yang menimbulkan gelora tersendiri. Secara khusus bagi Inge yang seorang jajak suara tabuhan kotambung membangkitkan “songiang” (roh yang merasuki jiwa) yang mengajaknya pergi ke acara nyakai.
Tanpa sadar Inge segera berganti pakaian adat serta pernak pernik lainnya. Inge berangkat ke acara nyakai dengan meggunakan sampan untuk menyeberang sungai. Setibanya di sana acara sudah memasuki “lehkas” (kegiatan inti dalam acara adat nyakai). Inge langsung bergabung.
Di tempat lain…
Di hutan Tumbung sudah mendapatkan buruan berupa seekor “buhih” (hewan seperti kelempiau berbulu kepirangan). Buhih tersebut sudah tidak bernyawa terkena “sohpot” (senjata berburu yang digunakan dengan cara ditiup).
Siang hari Tumbung pun kembali. Setibanya di rumah didapati sang istri sudah tidak ada.
“Istriku pasti ikut acara di seberang,” gumam Tumbung geram diliputi perasaan cemburu yang menyesakkan dada.
Tanpa berpikir panjang Tumbung segera mencari pakaian adat istrinya yang tersisa. Tidak lupa anting-anting, gelang dan kalung tentunya bukan terbuat dari emas. Pakaian adat dan pernak pernik tersebut dipasangkannya di hewan buhih yang sudah mati.
Tumbung segera menyusul istrinya, Dicarinya dua batang kayu ringan sebagai sarana untuk menyeberang sungai.
Setibanya di acara nyakai dilihatnya sang istri yang sudah dirasuki roh yang sedang menari-nari diiringi tabuhan kotambung yang riuh rendah. Semua mata terarah kepada sang istri.
Hewan buhih yang sudah mati dan dipasang pakaian adat dan pernak pernik dilempar ke tengah-tengah keramaian di mana istrinya menari. Sungguh ajaib buhih tersebut tiba-tiba hidup dan tertawa terkekeh-kekeh.
Kejadian aneh pun terjadi, cuaca tiba-tiba berubah “tomosiuk” mendung, “bahiu bolobut” angin ribut disertai “ucan kilap” hujan petir pun datang. Semua orang di kampung tersebut tiba-tiba berubah menjadi ”topahtung” patung. Sandung/kodiring yang didirikan di acara dalok pun terpotong dua dan berubah menjadi batu besar.
Tumbung dan Inge segera berlari secepat kilat. Mereka seolah-olah mendengar bisikan ghaib untuk segera berendam di air sungai senentang. Senentang yang berarti kedua muaranya saling berhadapan seberang menyeberang. Sungai tersebut berada di hulu Desa Tontang. Tumbung dan Inge segera mandi di sungai tersebut. Mereka berdua terbebas dari kutukan menjadi batu. Konon ceritanya mereka segera kabur ke Kalimantan Tengah.
Sandung yang terpotong dua dan berubah menjadi batu besar tersebut kini berada dan berdiri kokoh di pinggiran sungai Ambalau. Kedua potongan batu tersebut terpisah agak berjauhan, satu agak dihulu, dan tidak begitu menjadi perhatian. Sedangkan satunya lagi sepintas memang menyerupai bentuk kepala manusia. Bisa ditengarai karena sandung/kodiring tesebut digunakan untuk menyimpan tulang belulang termasuk tulang tengkorak arwah manusia yang sudah meninggal. Orang-orang lebih cenderung menyebutnya dengan nama Batu Nyandung. Orang-orang enggan menyebut Batu Sandung yang berkaitan dengan sarana untuk arwah orang yang sudah meninggal.
Ibu Yohana Duaner
Diakhir ceritanya ibu Yohana Duaner menegaskan bahwa “Bahtuk” dalam bahasa Dayak Uud Danum artinya batu, Sedangkan “Nyandung” diambil dari kata “Sandung” yang berkaitan dengan sarana untuk arwah orang yang sudah meninggal.
Kembali Ibu Y. Duaner berpesan “Cemburu buta itu tidak hanya akan merugikan diri sendiri, tetapi juga bisa merugikan orang banyak”. Kisah Bahtuk Nyandung contohnya tutup Duaner.
***