| Penulis: Dwianto Setyawan
Saat saya masih aktif sebagai penulis lepas pada dekade 70 sampai 80 an, ketika itu honor tulisan belum pakai cara transfer, tapi masih dikirim via pos wesel.
Setiap kali ke kantor pos menguangkan wesel, rasa gembira dan bersyukur meliputi diri. Alamat hidup masih bersambung.
Honorarium datang dari surat kabar, dari majalah dan dari penerbit buku berupa royalties. Tentu sudah dipotong pajak pengarang 15 %. Maka sebenarnya dari dulu seorang penulis termasuk orang yang taat bayar pajak, meskipun seringkali menjerit. Kalau bisa jangan segitulah besaran pajaknya, berat buat kami.
Besarnya honorarium juga bergerak mengikuti perkembangan zaman.
Tahun 1979, cerpen di koran Kompas dihargai Rp. 15.000,-. Tahun 1988 naik menjadi Rp. 75.000,- Tahun 1977 di Femina cerpen dihargai Rp. 10.000,-. Tahun 1982 menjadi Rp. 30.000,- Sebanding dengan majalah Kartini.
Di majalah Gadis, tahun 1978 cerpen dihargai Rp. 15.000,- Tahun 1982 naik menjadi Rp. 30.000,-. Untuk cerber lima kali muat tahun 1980 dihargai Rp. 100.000,- Honorarium majalah Gadis kurang lebih sebanding dengan Majalah Mode, Aneka, dan Anita. Pada majalah Bobo, tahun 1988, sebuah artikel dihargai Rp. 40.000,- Kurang lebih juga sebanding dengan majalah Ananda, Siswa, Kawanku.
Begitu juga dengan majalah-majalah lainnya. Memang kecil kalau dilihat dengan ukuran sekarang, tetapi nilainya – tentu berbeda. Maka buat penulis muda: Bermodal imajinasi dan kreativitas, keterampilan (menulis), semangat pantang menyerah dan ketekunan – nyatanya memang bisa menghasilkan.
Selain itu, juga bisa menjadi dasar pijakan untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi di kemudian hari. Jadi, jangan pernah berhenti mencoba – teruslah berusaha.
***
Sumber gambar: https://web.facebook.com/dwianto.setyawan.7543