27.4 C
Singkawang
More
    BerandaPolitikApakah DPD Harus Bubar?

    Apakah DPD Harus Bubar?

    | Penulis: Patricia Novianty Rura

    Amandemen ketiga pada 10 November 2001 menjadi awal pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legistalif. Sebagai sebuah entitas lembaga tinggi negara yang terbentuk berdasarkan amanat UUD 1945, dibentuknya lembaga DPD sejalan dengan semangat untuk mengakomodasi keterlibatan daerah dalam pengambilan kebijakan nasional dan juga sesuai dengan prinsip check and balances yang ingin diterapkan oleh pemerintah.

    Akan tetapi, pada faktanya DPD tidak mampu mewujudkan hal ini sebab pada tugas dan wewenang DPD di pasal 22D UUD 1945 jelas membatasi kewenangan DPD dalam pembentukan sebuah Undang-Undang. DPD seakan-akan hanya menjadi lembaga pelengkap dan hanya menghabiskan anggaran negara tanpa diberi tugas yang setimpal lalu buat apa DPD dipertahankan?

    Menurut Montesquieu, badan perwakilan rakyat atau Lembaga legislatif harus dijalankan oleh badan yang terdiri atas kaum bangsawan dan orang-orang yang dipilih untuk mewakili rakyat, yang masing-masing memiliki majelis dan pertimbangan, pandangan dan kepentingan sendiri-sendiri.

    Dari hal ini mengindikasikan bahwa pemerintahan seharusnya tidak dijalankan oleh satu badan saja, demi mengakomodir semua kebutuhan rakyat. Hal-hal yang menyebabkan mengapa DPD tidak mampu menjalankan kewajibannya sesuai amanat pasal 22D UUD 1945, ialah

    Pasal 22D Ayat 1 UUD 1945 :

    “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

    Pasal 22D Ayat 2 UUD 1945 :

    “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.

    Adanya frasa “dapat” pada ayat 1 dan juga “ikut” pada ayat 2 menjadi permasalahan terhadap hak legislasi DPD. Bagaimana mungkin DPD yang dibentuk menjadi sebuah lembaga legislatif hanya memiliki fungsi yakni “dapat mengajukan RUU” dan “ikut membahas RUU” harusnya DPD diikutkan sampai pada tahap pengesahan sebuah UU. Tidak ada kejelasan tugas dan fungsi pokok DPD di dalam UUD 1945 menciptakan anomali di masyarakat terkait kinerja DPD dan anggota DPD itu sendiri kesusahan untuk menjadi penyeimbang DPR serta kesulitan dalam mempertanggungjawabkan jabatannya secara moral dan politik kepada pemilih dan daerah pilihannya.

    Menurut data dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), RUU usulan DPD prosesnya paling jauh hanya sampai tahap pembahasan, tanpa sekalipun pernah disahkan menjadi undang-undang. Dalam lima tahun terakhir, yakni pada 2017-2022, misalnya, DPD hanya mengusulkan lima RUU. Namun, tidak satu pun yang berhasil disahkan menjadi undang-undang.

    Kelima RUU tersebut adalah RUU tentang Daerah Kepulauan, RUU tentang Bahasa Daerah, RUU tentang Badan Usaha Milik Desa, RUU tentang Ekonomi Kreatif, dan RUU tentang Wawasan Nusantara. Padahal seharusnya sebagai lembaga legislatif DPD memiliki hak dan wewenang yang harusnya setara dengan DPR. Secara terang terangan pasal 22D UUD 1945 telah mereduksi kewenangan dari DPD dan tidak dapat mewujudkan prinsip check and balances antara lembaga legislatif dalam pengambilan kebijakan nasional dalam hal ini antara DPD dan DPR.

    Philippe Nonet dan Philip Selnick dalam teori responsifnya mengatakan bahwa pemerintah harus responsif terhadap keinginan dan aspirasi rakyat yang diwakili oleh parlemen. Dari berbagai penolakan masyarakat selama ini terhadap UU dari DPR yang dianggap tidak pro rakyat harusnya DPD hadir untuk dapat mencegah hal ini terjadi sebab berasal dari non partai politik sehingga mampu membawa aspirasi dan kebutuhan masyarakat di Indonesia.

    Jika dibandingkan dengan DPR yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di parlemen, DPD memiliki legitimasi yang lebih kuat dari DPR dimana sistem pemilihan anggota DPD adalah sistem distrik yaitu Single-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa orang wakil) berbeda dengan anggota DPR yang menggunakan sistem proporsional.

    Oleh karena itu, perlu diadakan amanden konstitusi ke 5 dan merubah sistem bicameral Indonesia yang soft menjadi strong bicameral. Menurut Prof. Maswadi Rauf, bagi Indonesia bicameralisme yang strong adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, mengingat beragamnya masyarakat kita dengan berbagai kepentingan sehingga bicameralism yang kuat ini dimaksudkan untuk bisa memperjuangkan lebih baik aspirasi kepentingan yang berkembang di berbagai daerah, sehingga bicameralisme dianggap merupakan bagian dari usaha untuk memperkuat negara kesatuan.

    Oleh karena itu, ada adegium hukum yang berkata “Politiae legius non leges politi adoptandaeyang berarti politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya”. Keinginan politik DPR yang dilatarbelakangi partai politik jangan sampai bertolak belakang dengan kemampuan dalan mengagregasi kebutuhan masyarakat di daerah, Penguatan fungsi DPD adalah hal yang sangat urgen, dimana penguatan wewenang tersebut dilakukan agar DPD dapat memaksimalkan dan mengoptimalkan perannya sebagai wakil daerah dalam hal pengambilan kebijakan nasional. Penguatan fungsi DPD tidaklah lain agar supaya daerah juga diikutkan dalam pengambilan kebijakan nasional, sehingga kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat tetap terjaga dimana semua dilakukan demi menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Indonesia.

    Bionarasi:

    Patricia Novianty Rura, Mahasiswa Fakultas Hukum UKDC Surabaya

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita