
| Penulis R. Masri Sareb Putra
Pahlawan (nasional) tidak tahu dia pahlawan. Orang lain yang mengajukan. Penulis yang membukukan kiprahnya. Sebab salah satu syarat seorang pahlawan ialah jika telah ada penelitian dan publikasi tentangnya, minimal monograf. Dan Burhanuddin Soebely peretas jalan pahlawan.
Tak syak, segelintir orang Dayak berkutat dan berkanjang hidup dari seni budaya. Dari yang segelintir itu, tersebutlah Burhanuddin Soebely. Dayak Meratus ini lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, 2 Januari 1957.
Pendidikan dasar hingga menengah atas diselesaikannya di kota kelahirannya, Kandangan. Setamat SMA, ia melanjutkan studi ke Fakultas Teknik Sipil di Universitas Islam Indonesia Jogjakarta, tapi tidak selesai. Ia pulang ke Kandangan dan bekerja di Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, sambil kembali kuliah di FISIP Universitas Terbuka jurusan Administrasi Negara. Setelah otonomi daerah bergulir, ia bekerja di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Baca juga: Alexander Mering: Jurnalis Kampung dan Sastrawan
Ibur, begitu orang biasa memanggilnya, tertarik pada dunia kesenian sejak masih sekolah menengah. Ia bergabung dengan komunitas seni yang didirikan oleh salah seorang gurunya, Dharani EM, yakni Posat Olah Seni dan Komunikasi (Posko) La-Bastari Kandangan. Di komunitas inilah ia mulai belajar menari, teater, dan menulis. Dalam bidang penulisan, ia dibimbing sastrawan nasional kelahiran Puruk Cahu, Kalimantan Tengah yang menetap di Kandangan, Darmansyah Zauhidhie.
Saat bermukim di Jogjakarta pada 1975, ia mulai mempublikasikan karya-karyanya di sejumlah media massa, antara lain di Berita Nasional (Jogjakarta), Kedaulatan Rakyat (Jogjakarta), Masa Kini (Jogjakarta), Pelita (Jakarta), Terbit (Jakarta), Berita Buana (Jakarta), Banjarmasin Post (Banjarmasin), Media Masyarakat (Banjarmasin), Radar Banjarmasin (Banjarmasin), majalah Anita (Jakarta), majalah Femina (Jakarta), dan lain-lain.
Antologi sajaknya antara lain Patilarahan (1987) dan Ritus Puisi (2000). Sajak-sajaknya juga terhimpun dalam antologi bersama, antara lain Dahaga (1981), Palangsaran (1982), Forum Penyair Muda Delapan Kota (1982), Puisi Indonesia 1987 (1987), Festival Puisi XIII (PPIA-FASS Surabaya, 1992), Perkawinan Batu (2005), dan puluhan antologi lainnya dalam Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan.
Tiga novelnya yang berlatar budaya dan tradisi Suku Dayak Meratus, Reportase Rawa Dupa, Seloka Kunang-Kunang, dan Konser Kecemasan, merupakan Pemenang II Sayembara Cerita Bersambung Majalah Femina tahun 1997, 1998, dan 2001.
Karyanya yang lain adalah Cerita Rakyat Kalimantan Selatan 2 (Grasindo, Jakarta, 1997 bersama Djarani EM dan Iwan Yusie), Mamanda, Ampunlah Tuanku (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 2002). Ia juga menulis novelet bahasa Banjar berjudul Bulan Sunyi Kambang Tarati (Radar Banjarmasin, 2005) dan Bahara Mingsang Idang Siritan (IRCISoD Jogjakarta dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 2005).
Ada yang pantas dikenang dari Dayak Meratus yang ugahari, tapi bernyali ini. Ketika salah satu syarat mengajukan pahlawan nasional adalah publikasi dari hasil riset seorang tokoh, ia berjasa meretas jalan bagi seorang pahlawan.
Baca juga: Akim Stefanus: Garam Wartawan
Buku Lintas Revolusi Fisik Tahun 1945-1949 Daerah Kalimantan Selatan di Hulu Sungai Selatan yang ditulisnya bersama Djarani EM mengantar Brigjen H. Hassan Basry sebagai menjadi pahlawan nasional di era presiden Megawati.
Skenario sinetron yang ditulisnya adalah “Singgang Langit” (Sinetron Tradisional, TVRI), “Sembilu Tihang Talu” (Sinetron Tradisional, TVRI) dan “Petaka Bumi Angsana” (Sinetron Tradisional, TVRI) yang menjadi salah satu duta budaya pertukaran Budaya di Kanada. Pada 2006, ia menulis dan menyutradarai sendiri sinetron berjudul “Matahari Samudera”.
Ia juga menulis naskah teater dan menyutradarinya, antara lain, “Palangsaran” (1982), “Parantunan” (1983), “Kembang Darah” (1983), “Putting” (1983), “Paksi Simbangan Laut” (1983), “Biarkan Bulan Itu” (1985), “Temaram Rampah Minjalin” (1986), “Matahari Samudera” (1987), “Ibunda” (1988), “Tanah Air Mata” (1993), “Seloka Burung Kertas” (1998), “Sihir Kekuasaan” (1999), “Roh Bukit Kehilangan Bukit” (2000), dan “Reportase Roh Bukit” (2002).
Bersama Posko La-Bastari, komunitas teaternya, ia telah bergelar di berbagai kota, antara lain mengikuti Festival Pertunjukan Rakyat Tingkat Nasional di Surabaya, Jakarta, Bali, Mataram dan Solo, Temu Teater Indonesia X di Jogjakarta, Festival Teater Anak di Jakarta, dan Temu Teater Kawasan Indonesia Timur di Banjarmasin.
Forum seni-budaya yang pernah diikutinya adalah Puisi Indonesia ‘87 di TIM, Jakarta (1987), Pesta Gendang Nusantara 6 di Melaka, Malaysia (2003), Festival Nusa Dua, Bali (2003), Cakrawala Sastra Indonesia di TIM, Jakarta (2005), dan Pekan Gawai Dayak di Pontianak, Kalimantan Barat (2007).
Atas segala karya dan dedikasinya di dunia seni dan budaya, pada 2010, ia menerima Anugerah Budaya dari Gubernur Kalimantan Selatan. Pada 28 Mei 2012, ia wafat di rumah kontrakannya di Desa Gambar Luar, Kandangan. Soebely dimakamkan di desa Asam Cangkuk, Kandangan. Namun, namanya tetap abadi terpatri dalam tulisan-tulisannya.
***
Bionarasi

R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.