23.4 C
Singkawang
More
    BerandaSastraCerpen | Jeritan Seruling Tua

    Cerpen | Jeritan Seruling Tua

    | Penulis: Agnes Julianti Halim

    Dia selalu terbangun di dalam gelap karena chemistry-nya selalu berkilau di malam hari. Namun, jangan sekali-kali mendengar ia bernyanyi.

    Seminggu yang lalu, Desa Bandawasa digegerkan dengan penampakan kelelawar besar di pohon sawit di sebelah utara. Kasus itu sudah sempat dibereskan oleh Badan Cagar Alam dan Kebun Binatang Binantara. Ternyata, minggu ini kasus baru pun dimulai. Setiap malam terdengar suara seruling bambu, seolah-olah sedang mengadakan pementasan. Walaupun suara itu terus berdengung di malam hari, anehnya tak ada satu pun warga yang peduli. Suara seruling itu akan menghilang ketika fajar sudah menyingsing.

    Pagi ini, seorang petani bernama Pak Burhan berteriak dan terduduk dengan wajah pucat. Bukan karena melihat binatang buas bertengger di pondok kecil yang berada di tengah sawah. Namun, ia melihat potongan-potongan tubuh yang tercecer di mana-mana. Bu Minah yang kebetulan lewat pun, ikut tercengang melihat pemandangan mengerikan itu. Suasana sawah pagi ini berubah menjadi teror yang mengerikan.

    Pak Lawliet (Wakil Ketua RT) segera menelepon Pak Amoji (Ketua RT) untuk mengumpulkan para warga agar membantu mengevakuasi korban, bahkan polisi berdatangan untuk mencari keterangan dari warga setempat. Karena kasus ini, warga setempat tidak diperbolehkan untuk mendekati sawah. Namun, saat ini Pak Burhan dan Bu Minah masih terlihat pucat dan membisu. Mereka diamankan di rumah Pak Amoji untuk menghilangkan trauma. 

    “Itu si Tengger, ya? Teman satu kelas kita, ‘kan, Rin?” Ambar berbisik kepada Marinka.

    “Apa? Aku tidak terlalu dekat dengannya. Aku tahunya dia pacaran sama Surti,” jawab Marinka.

    “Sudah, ah! Yuk, kita berangkat ke sekolah.” Marinka berbisik kepada Ambar.

    “Hei, Rin! Hari ini kamu piket, ‘kan?”

    “Iya. Makanya, jangan sampai terlambat.”

    Perjalanan dari rumah mereka menuju SMA Paripurna memang letaknya tidak cukup jauh. Karena sampai lebih awal, kali ini Ambar membantu Marinka untuk membersihkan kelas. Kelihatannya belum satu pun manusia yang menunjukkan batang hidungnya. 

    “Akhirnya, selesai juga. Huft! Nanti bisa pulang duluan.”

    “Hei, hei, hei! Besok giliranmu membantuku membersihkan kelas, ya, Rin.”

    “Siap, Kak Ambar.” 

    Ambar dan Marinka memang sudah bersahabat sejak kecil. Keduanya sangat akrab bak pinang dibelah dua. Mereka bukan anak kembar. Namun, keakraban mereka sudah jauh melebihi anak kembar.

    Beberapa menit berlalu, rasanya tidak sedikit pun keanehan yang dirasakan oleh mereka berdua. Namun, telinga mereka berdua seperti mendengar seseorang sedang berteriak. Mereka langsung beranjak dan mendatangi arah suara. Mereka terkejut melihat Ami terduduk dengan muka pucat. Parahnya adalah pemandangan potongan-potongan tubuh yang tercecer di mana-mana. Pemandangan ini sama seperti yang dialami Pak Burhan dan Bu Minah.

    “Ami? Ada apa?” tanya Ambar setengah berteriak.

    “Itu, Mbar! Lihat!” Marinka mengarahkan tangannya ke arah sesuatu yang mengerikan.

    Bu Dian (Guru Olahraga) yang akan masuk ke kantor langsung menggendong Ami sampai ke rumahnya, sementara guru lainnya mengevakuasi korban. Pak Amin (Guru Kesenian) menelepon kepolisian. Pagi itu, terpaksa sekolah juga harus ditutup. Tidak ada seorang pun yang boleh mendekat.

    Kampung Bandawasa ini sudah berubah menjadi tempat pembunuhan berantai dalam semalam. Beberapa warga pun memutuskan untuk mengamankan seluruh keluarganya. Pindah ke rumah mereka yang ada di kota sampai kasus diselesaikan oleh pihak berwajib.

    Setelah kegiatan pemakaman selesai pada tengah hari, pihak kepolisian memperingatkan warga untuk tidak bepergian ke mana pun jika tidak ada keperluan. Pasar harus ditutup, kegiatan di sekolah diliburkan, para warga yang biasanya harus bekerja di sawah pun harus dirumahkan untuk sementara waktu. Mengingat pelaku belum tertangkap.

    Malam itu, suasana di Kampung Bandawasa begitu sepi. Tidak ada suara gaduh penjaga malam yang berkumpul di pos kamling. Tidak ada lagi suara anak-anak muda yang bermain catur atau menonton layar tancap sampai tengah malam. Hening. Itulah yang dirasakan warga setempat malam ini.

    Begitu malam tiba, suara seruling bambu itu kembali mendengung. Anehnya, tiupan setiap melodi yang dihasilkan oleh seruling bambu itu seperti Lullaby pengantar tidur. Suara seruling itu akan menghilang ketika fajar sudah menyingsing.

    Pagi ini, warga digegerkan oleh jatuhnya sebuah pohon besar yang menimpa rumah Pak Mardiangan. Ternyata pohon besar yang selam ini tidak pernah tumbang itu, kali ini menewaskan keluarga kecil itu. Padahal, Pak Mardiangan baru saja mengerjakan proyek besar di Desa Kentarjaya. Sebelumnya memang sudah dilarang oleh para warga desa itu, tapi Pak Mardiangan tidak jua menghiraukannya. Akhirnya, warga kembali untuk mengadakan upacara untuk Pak Mardiangan. Kali ini, warga berpikir bahwa mungkin saja Pak Mardiangan sedang terkena sial.

    Sebetulnya ini sudah hari kelima di mana kasus seperti ini tak jua bisa dituntaskan. Sedikit demi sedikit, ketakutan warga mulai terlihat. Mereka cemas dengan nasib yang akan dialami selanjutnya. Pihak kepolisian pun masih mencoba mencari dalang di balik semua kejadian ini.

    Beberapa kali bencana mulai berdatangan, tapi itu tidak menjadi alasan warga desa untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Setiap malam, warga dibimbing penuh oleh Pak Amoji (Ketua RT) untuk bergantian melakukan siskampling. Siapa tahu berguna untuk membantu pihak kepolisian yang tak jua menemukan siapa pelakunya.

    Menjelang malam, suara seruling bambu itu tidak terlalu terdengar jelas, hanya terdengar suara lirih dan tak jarang mendengar suara tangisan.

    “Kang Bian?” panggil Kang Ton.

    “Iya, Kang Ton?” jawab Kang Bian.

    “Apa Kang Bian mendengar sesuatu?”

    “Apa itu, Kang Ton?” Kang Bian balik bertanya.

    “Iya, saya juga dengar, Kang Bian,” sahut Kang Jereng.

    “Nah, Kang Jereng juga mendengar, ‘kan?”

    “Itu pasti suara desa sebelah sedang mengadakan pesta. Mereka itu memang tidak tahu diri, ya, sudah malam masih mengadakan pesta.”

    “Benar, Kang Tian. Bagaimana kalau kita datangi saja?” usul Kang Bian.

    “Waduh, Kang Bian. Sudah malam, Kang. Apakah besok pagi tidak bisa, Kang?” sahut Kang Ton.

    “Kalau ini dibiarkan, kita bisa dimarahi oleh Pak RT, Kang Ton,” ucap Kang Bian.

    “Baiklah, tapi kita harus bersama-sama, ya, Kang Ton,” sahut Kang Tian.

    Akhirnya, mereka bersikeras untuk mencari di mana arah suara itu berada. Ketika fajar sudah menampakkan wajahnya, suara seruling bambu itu menghilang. Pagi ini Pak Amoji datang ke pos siskampling. Dia terkejut karena keempat orang penjaga pos menghilang. Ia segera melaporkan hal ini kepada pihak kepolisian. Beberapa warga pun juga ikut mencari sampai ke tengah hutan. Namun, usaha mereka ternyata sia-sia saja, tak seorang pun dari penjaga pos yang ditemukan.

    Akhirnya, warga yang sudah mulai resah dengan kejadian ini memutuskan untuk beranjak dari desa. Mereka mengungsi ke kota untuk tinggal bersama sanak keluarganya. Walaupun kegiatan di desa ini berjalan dengan semestinya, tapi desa ini menjadi sangat sepi. Mereka yang masih tinggal sangat berharap pihak kepolisian bisa menangkap pelaku secepatnya. Menjelang malam, Pak Amoji menetapkan peraturan bahwa warga tidak lagi diperbolehkan untuk keluar rumah. Apapun yang terjadi, warga tidak ada yang boleh meninggalkan rumah. Semua kegiatan harus diberhentikan.

    Menjelang malam, bukan hanya suara seruling bambu yang terdengar, tapi diiringi dengan tabuhan gendang yang berkali-kali. Seperti ada sebuah pesta yang sedang berlangsung. Ramai dan riuhnya memecah keheningan malam.

    Ketika fajar tiba, suara itu berhenti. Kali ini, tidak ada satu pun warga yang terlihat beraktivitas. Semua seolah-olah terhipnotis, padahal api sudah melahap seluruh desa semalam. Hening. Sepi. Tidak ada candaan anak-anak yang berlarian. Tidak ada suasana ramainya pasar. Sejak saat itu, tidak ada satu pun warga desa tetangga yang bermaksud untuk membangun kembali desa ini, apalagi untuk sekedar mendekati desa terkutuk ini. Para wisatawan yang ingin mengadakan penelitian pun harus didampingi oleh juru kunci supaya tidak terkena kesialan.

    ***

    Bionarasi

    Profik speakerAgnes

    Agnes Julianti Halim, Jakarta Barat

    Tahun 2021 Menulis dan Menerbitkan novel berjudul “Ikatan”.

    Penulis puisi

    Email: @agnesjuliantihalim.210790 ㄧgu1t4rs.h3r0.21@gmail.com

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita