26 C
Singkawang
More
    BerandaSastraKAMUS DAYAK| Di antara Geliat Kamus Etnik Nusantara

    KAMUS DAYAK| Di antara Geliat Kamus Etnik Nusantara

    Penulis | R. Masri Sareb Putra, M.A.

    Saya mengamati. Dan mencatat literasi Dayak yang berikut ini:

    Kebanyakan referensi, atau etnografi tentang Dayak, secara umum saja ditulis penulis dan peneliti luar. Tidak detail dan tidak dalam. Baru sebatas kulit arinya saja. Padahal, Dayak kaya, dan beragam. Ada 7 stammenras (rumpun besar), terdiri atas 405 subsuku.

    Kini, dari dalam, peneliti dan penulis Dayak mulai menulis dirinya. Telah terbit oleh Penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD) buku yang berikut ini: Dayak Djangkang, Dayak Blusu, Dayak Kanayatn, Dayak Iban, Dayak Kerangan Bunut, Dayak Lundayeh Idi Lunbawang, dan sebagainya. Dayak Ngaju, LLD turut memfasilitasi penerbitannya dengan melakukan pracetak dan cetak.

    Kamus etnik Dayak pun berada dalam booming para penulis “dari dalam”. Penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD) bahkan mengusung motto: Dayak menulis dari dalam.

    Dalam proses kreatif menyusun sejilid kamus. Tetaplah pekerjaan halus. Yang pertama-tama menuntut ketekunan. Baru keahlian dan keterampilan. Inilah yang tidak semua orang bisa melakukannya.

    Untuk mewujudkannya. Saya banyak menginisiasi subetnis Dayak menulis apa pun tentang suku bangsanya. Mulai dari mitos, dongeng, fabel, legenda, etiologi, sejarah, asal mula, budaya, adat, seni, tradisi, linguistik, kuliner, hingga ekonominya.

    Kamus etnik Dayak dalam prioritas pertama. Sebab, musnah bahasa, musnah pulalah suatu kaum. Ini salah satu imperatif. Amanat dari Deklarasi Bengkayang. Rekomendasi dari Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak di Bengkayang, 2017. Agar bahasa Dayak jangan sampai musnah. Untuk itu, penyusunan kamus, dan berbahasa Dayak, salah satu anjurannya. Paling vital, menyusun dan menerbitkan kamus bahasa Dayak.

    Menurut Sensus Badan Pusat Statistik (2010), terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia. Hingga saat ini, belum semua suku bangsa mempunyai kamus etnik, apalagi kamus sub-etnik yang jumlahnya jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan, antara lain belum adanya munsyi atau pakar bahasa yang berkanjang di dalam kerja mengumpulkan lema, mengurutkannya sesuai abjad, dan menelitinya dengan saksama termasuk rumpun bahasa apa dalam khasanah penggolongan etnik dan bahasa-bahasa di dunia.

    Kamus, menurut Kamus Bahasa Indonesia ialah, “Buku acuan yang memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut keterangan tentang makna, pemakaian, atau terjemahannya”[1]. Adapun kata, atau frasa, masukan dalam kamus di luar definisi atau penjelasan lain yang diberikan dalam entri disebut lema.

    Kamus Besar Bahasa Indonesia, telah lama ada. Edisi pertamanya, terbit tahun 1988. Seperti diketahui. Edisi pertama merupakan hasil pengembangan dari Kamus Bahasa Indonesia yang terbit pada tahun 1983.

    Kamus ini baru memuat 62.100 lema. Namun, kamus bahasa etnis di Indonesia, yakni bahasa asli dari bangsa/suku asli, belum semuanya ada. Padahal, keberadaannya tak kalah penting dibandingkan Kamus Bahasa Indonesia. Mengapa? Sebab Indonesia adalah sapu-lidi, satu kesatuan. Yang mengikat-erat lidi lidi bernama: etnisitas di Nusantara.

    Menurut Sensus Badan Pusat Statistik (2010), terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia. Hingga saat ini. Belum semua suku bangsa mempunyai kamus etnik. Apalagi kamus sub-etnik yang jumlahnya jauh lebih banyak.

    Hal itu disebabkan, antara lain belum adanya munsyi atau pakar bahasa yang berkanjang di dalam kerja mengumpulkan lema, mengurutkannya sesuai abjad, dan menelitinya dengan saksama termasuk rumpun bahasa apa dalam khasanah penggolongan etnik dan bahasa-bahasa di dunia.

    Akan tetapi, geliat ke arah sana sudah mulai tampak. Seiring kemajuan peradaban, dan semakin tingginya pengetahuan dan tingkat pendidikan suatu etnik, kamus menjadi keniscayaan. Apalagi, di era globalisasi, bahasa yang menunjuk pada identitas penuturnya, semakin tergerus.

    Interaksi dengan orang luar penutur, pengaruh bahasa asing, menjadikan bahasa suatu etnik kian pudar ciri keasliannya. Dalam hal ini, ciri arkhais, atau keaslian, dapat ditelusuri berdasarkan kelompok atau persebaran penuturnya.

    Sudah menjadi rahasia umum. Bahwa ada bahasa yang mati, sekaligus menenggelamkan penutur dan mengubur sejarah sebuah etnis. Malangnya, jika bahasa tersebut tidak ada yang mengabadikannya dalam bentuk tulisan (kamus) dianggap tidak pernah ada di muka bumi ini.

    Sebaliknya. Banyak bahasa yang meski mati, tidak ada penuturnya, tetapi masih “hidup” dan di dalam kamus ditandai dengan tanda tertentu ( + ). Untuk menunjuk. Bahwa itu kata yang sudah mati, atau pos-klasik. Sebagai contoh: Bahasa Semit, Yunani kuno, juga sebagian bahasa Latin meski jarang dipertuturkan, tetapi dipelajari sebagai bahasa ilmu sebagai clue kepada berbagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban umat manusia sepanjang segala abad.

    Adapun bahasa yang hidup ialah yang dari hari ke hari bertambah kosa katanya, baik melalui proses serapan maupun melalui bentukan kata baru yang dianggap atau beradaptasi dengan bahasa lokal atau yang dianggap bahasa etnis itu sendiri.

    Tidak ada orang lain, selain penutur asli, atau pakar bahasa etnis itu sendiri yang diharapkan bisa menyusun kamus bahasa suatu etnik. Tidak ada yang sukar, apalagi mustahil, di dalam menyusun kamus bahasa. Yang dibutuhkan hanyalah ketekunan. Berkanjang hingga membuahkan hasil. Kesabaran untuk duduk menghimpun sepatah demi sepatah kata. Menyusunnya dalam senarai berdasarkan abjad, ditambah sedikit keterampilan di dalam olah intelektual.

    Orang menjadi ahli bukan karena punya talenta luar biasa, melainkan kumpulan kebiasaan sedikit demi sedikit, melakukannya dengan konsisten dan persisten. Dan itulah yang dilakukan para penyusun kamus etnik ini.

    Kamus etnik Dayak dalam prioritas pertama. Sebab, musnah bahasa, musnah pulalah suatu kaum.

    Kamus Bahasa Daerah Komering Rasua, Kamus Dayak Ngaju – Indonesia dan Dayak Bakumpai – Indonesia, Kamus Bahasa Madura-Indonesia, Kamus Batak Toba – Indonesia misalnya, merupakan contoh geliat kebangkitan perkamusan etnik.

    Dahulu kala. Menyusun kamus tidak mudah karena alat masih serba manual. Kini, dibantu alat kerja yang canggih dan software yang mendukung; menyusun kamus selain memerlukan pengetahuan dan pemahaman, diperlukan ketekunan dan kemauan.

    Meski demikian, di dalam proses kreatif menyusun sejilid kamus. Tetaplah pekerjaan halus. Yang pertama-tama menuntut ketekunan. Baru keahlian dan keterampilan. Inilah yang tidak semua orang bisa melakukannya.

    Terlepas dari kekurangannya, patut disambut hangat terbitnya kamus bernuansa etnik. Momentum terbitnya pas betul, terutama bertautan dengan Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016. Di mana Permendikbud ini memberi ruang bagi satuan pendidikan dan perpustakaan sekolah-sekolah diwarnai dan diisi degan muatan lokal. Salah satu yang paling dianjurkan ialah: bahasa dan budaya lokal. Membaca memang literasi dasar. Tapi menulis, ia puncak literasi. Sebab apa yang dibaca, jika tidak ada yang menulis?

    Dan kamus bahasa etnik lokal ibarat pucuk dicinta ulam tiba. Para penyusun, dalam hal ini, memberi kontribusi luar biasa. Terutama pada pembangunan identitas dan keanekaragaman suku bangsa di tanah air yang menganut asas “bhineka tunggal ika”.

    Sesungguhnya, dalam perspektif waktu. Para penyusun bukan telah menyusun kamus, melainkan: menulis sejarah. Catatan hidup. Yang tidak akan mungkin pupus dari muka bumi.

    Referensi

    [1] (http://kamusbahasaindonesia.org/kamus)

    ***

    detikborneo.com – Sabtu, 10 Juli 2021, 14.23 WIB

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita