| Penulis: Dr. Andersius Namsi, Ph.D
Kita biasa mendengar kata-kata pedagang Cina, pedagang Padang, pedagang Bugis, pedagang India dan pedagang Arab. Tetapi sangat amat langka kalau tidak ingin mengatakan belum pernah kita mendengar orang di luar Dayak menyebut ada pedagang Dayak!
Presiden Jokowi pada periode pertamanya sebagai Presiden RI (2014-2019) memfokuskan pembangunan pemerintahannya pada bidang infrastruktur untuk kebangkitan pembangunan ekonomi Indonesia. Maka pembangunan berbagai jalan raya dan jalan tol di beberapa daerah digencarkan. Demikian pun pembangunan bandara-bandara dan pelabuhan-pelabuhan. Bandara-bandara yang berskala domestik ditingkatkan pembangunannya menjadi berskala bandara International.
Demikian juga pelabuhan-pelabuhan diperluas dan ditingkatkan skalanya menjadi pelabuhan-pelabuhan bertaraf International. Tentu bukan hanya pembangunan fisiknya, tetapi juga sistim pelayanan dan managemen bandara-bandara dan pelabuhan-pelabuhan ditingkatkan secara gradual menjadi sistim dan managemen yang berstandar International. Semua infrastruktur itu merupakan pondasi bagi kebangkitan ekonomi Indonesia. Tanpa pembangunan infrastruktur yang kuat maka mustahil ekonomi Indonesia menjadi kuat dan maju.
Menyoroti kebangkitan ekonomi masyarakat Dayak Indonesia yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka fokusnya pasti tidak akan terlepas dari kekuatan dan kemajuan yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Pemerintah RI secara gencar dan berkesinambungan terus memacu pembangunan untuk menuju negara maju dan modern, walau sebenarnya Indonesia sudah lama bergabung dalam organisasi negara ekonomi utama yang disebut negara-negara G-20 yang didirikan pada tahun 1999.
Kelompok negara G-20 ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian terbesar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G-20 dinamakan The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Dua-puluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Melihat Indonesia sebagai salah satu negara pemain ekonomi utama di dunia maka yang patut kita masyarakat Dayak Indonesia pertanyakan sebagai refleksi kondisi diri adalah apakah ada pemain-pemain ekonomi utama di negeri kita ini yang berasal dari suku bangsa Dayak?
Apakah orang Dayak sudah cukup kuat sebagai pemain dunia bisnis di Indonesia? Berapa banyak orang Dayak yang dapat dikategorikan sebagai pengusaha nasional karena kekuatan ekonomi dan besarnya asset yang dimilikinya sebagai warga negara Indonesia? Berapa besar kontribusi para pengusaha Dayak dalam kebangkitan ekonomi Indonesia saat ini?
Menurut buku 101 Tokoh Dayak jilid 3 yang ditulis oleh Masri Sareb Putra terbitan Lembaga Literasi Dayak 2019, hanya ada satu tokoh Dayak yang dikategorikan Taipan Dayak di bumi Indonesia yang kekuatan ekonominya masuk 50 orang terkaya di Indonesia, yaitu bernama H. Abdul Rasyid. Sebelum itu menurutnya, ada yang bernama Gerhard Tesan Binti yang juga kekayaannya menggurita hingga ke negeri Singapura. Kita memang patut bangga dengan dua pengusaha Dayak itu yang masuk dalam kategori pengusaha nasional.
Namun bila dibandingkan dengan jumlah populasi masyarakat Dayak yang hidup di Indonesia maka jumlah pengusaha Dayak secara nasional yang hanya dua orang saja merupakan keprihatinan kita. Maka wajar saja bila kita biasa mendengar kata-kata pedagang Cina, pedagang Padang, pedagang Bugis, pedagang India dan pedagang Arab. Tetapi sangat amat langka kalau tidak ingin mengatakan belum pernah kita mendengar orang di luar Dayak menyebut ada pedagang Dayak!
Lalu pertanyaan kita, mengapa tidak ada orang atau belum pernah terdengar di telinga ada orang atau masyarakat menyebut pedagang Dayak? Apa sebabnya? Jawaban singkatnya tentu adalah karena Dayak sebagai pedagang itu langka! Minat masyarakat Dayak terhadap bidang usaha atau berwirausaha (entrepreneur) itu masih sangat jarang atau langka. Mengapa demikian? Masalahnya di mana? Di sini saya ingin mengupasnya dari segi teori psikologi sebagai orang yang menekuni bidang Clinical Counseling sekaligus melihatnya dengan mikroskop gerejawi sebagai seorang teolog.
Mental Pengusaha (Enterpreneur)
Sigmun Freud sebagai bapak psikologi modern memperkenalkan teori analisanya yang sangat terkenal dalam bidang ilmu jiwa (psikologi) yaitu teori Psikoanalisa. Teori ini mengatakan bahwa apa yang ada (being) pada seseorang saat ini (present) adalah hasil dari apa yang didapatkan atau yang dilakukannya pada masa yang lampau atau masa lalunya. Dalam Bahasa sederhananya adalah keberadaan seseorang saat ini adalah akibat dari proses pembelajaran yang diterimanya pada masa lalu.
Mengacu pada teori Psikoanalisa dari bapak Psikologi modern, Sigmund Freud itu maka kita dapat melihat mengapa tidak begitu banyak muncul pedagang Dayak atau taipan atau konglomerat Dayak? Apa yang membentuk masyarakat Dayak hingga terjadi demikian? Mari kita analisa berdasarkan teori psikoanalisa yang dipopulerkan oleh Sigmund Freud.
Teori Psikoanalisa ilmu jiwa dari Sigmund Freud mengatakan sebagai berikut: “Sigmund Freud’s psychoanalytic theory of personality argues that human behavior is the result of the interactions among three component parts of the mind: the id, ego, and superego. This theory, known as Freud’s structural theory of personality, places great emphasis on the role of unconscious psychological conflicts in shaping behavior and personality.”[1] Dikatakan bahwa tingkah laku dan kepribadian manusia dibentuk atas interaksi tiga komponen id, ego dan superego dalam jiwa manusia yang disadari maupun tidak disadarinya dalam hidup yang dihidupinya di alam pemberian Tuhan itu.
Kita harus mengakui bahwa sebagian besar masyarakat Dayak itu adalah penganut agama Kristen (Katolik maupun Protestan) walau umumnya dapat dikategorikan sebagai penganut Kristen nominal. Bukan secara kebetulan, Taipan Dayak terkaya sepanjang sejarah yang disebutkan dalam buku 101 Tokoh Dayak jilid 3 oleh Masri Sareb Putra adalah seorang konglomerat Dayak beragama Islam.[2] Mengapa belum muncul Taipan-taipan atau konglomerat Dayak yang beragama Kristen (Katolik maupun Protestan)?
Tentu bukan maksud saya untuk menyoroti hal kebangkitan ekonomi Dayak dari sisi SARA. Tetapi sebagai seorang teolog yang bergelar doktor dalam bidang teologi dan sekaligus doctor dalam bidang Clinical Counseling maka saya menjadi tertarik menganalisa hal itu dengan alat ukur mikroskop psikologi dan sosiologi agamawi yang membentuk manusia. Dalam konteks kebangkitan ekonomi Dayak maka berdasarkan teori Psikonalisa Sigmund Freud kita harus melihat kembali ke masa pembentukan masyarakat Dayak itu.
Kalimantan (Borneo) sebagai tanah kelahiran masyarakat Dayak itu adalah tanah surga yang dianugerahkan Allah kepada manusia Dayak yang mendiaminya. Ketika saya masih kecil, orang tua saya sangat miskin untuk menghidupi kami lima bersaudara. Tetapi kami hidup tanpa kekurangan selain kekurangan uang karena alam pemberian Tuhan menyediakan segalanya.
Segala kebutuhan hidup kami bisa didapatkan dari alam dan tanah air di mana kami lahir dan hidup. Saya ingat pada masa kecil di rumah kami ada air yang mengalir ke dalam rumah, sehingga kami memiliki kolam pemeliharaan jenis-jenis ikan yang masa kini saya baru tahu ternyata jenis-jenis ikan itu begitu mahal harganya. Sehingga ketika kami mau makan ikan maka kami tinggal ambil dari kolam yang ada di dapur rumah.
Ketika kami mau makan daging maka kami akan pergi ke hutan saat hari mulai gelap untuk berburu babi hutan, kancil, kijang, pun biawak untuk dimakan. Ketika kami bosan dengan ikan di dalam kolam yang ada di rumah maka kami akan ambil pancing dan pergi memancing ke sungai. Semuanya tersedia!
Bila mau makan sayur maka kami tinggal memetik daun miding (pakis), dll dari hutan. Rebung dan jamur di hutan tersedia dan enak-enak untuk dimakan. Hutan dan alam adalah mall yang menyediakan segalanya bagi kehidupan manusia Dayak, tanpa mengeluarkan uang! Sehingga uang dirasakan tidak penting. Untuk apa? Karena semua sudah ada dan tersedia!
Bahkan dari cerita mulut ke mulut, konon manusia Dayak tinggal melihat matahari untuk mengetahui jam berapa saat itu. Panca indra penciuman manusia Dayak mengalahkan alat kompas sebagai petunjuk arah bila tidak tahu arah angin atau tempat yang hendak dituju. Sehingga manusia Dayak tidak perlu membeli alat kompas. Mungkin hingga kini manusia Dayak tetap tidak pakai kompas bila bepergian, termasuk dalam hutan rimba.
Konon pula manusia Dayak bila berperang tinggal menggunakan sumpit untuk menembak orang tanpa mengeluarkan bunyi. Senjata sumpit bisa membunuh orang. Demikian pun para panglima perangnya, konon bisa terbang dan lenyap hingga tiba-tiba ada dilokasi lawan bila bertempur. Sehingga manusia Dayak secara mental tidak memerlukan pesawat helicopter untuk mengangkut para panglimanya atau tidak memerlukan pesawat tempur untuk berperang dengan musuh karena sudah pasti menang. Segalanya mudah dan tersedia!
Inilah situasi dan kondisi serta filosofi sejarah yang membentuk mental manusia Dayak. Jubata begitu baik terhadap manusia Dayak dan Jubata akan baik selama-lamanya. Semua akan baik-baik saja. Manusia Dayak tidak perlu bersusah-payah mengembangkan semangat kebangkitan ekonomi mereka karena semua ada dan tersedia. Mungkin kira-kira seperti berada di taman Eden ketika manusia belum jatuh ke dalam dosa.
Tetapi, kini apakah hal yang dialami oleh saya ketika saya masih belia dan sejarah manusia Dayak tidak memerlukan kemajuan ekonomi karena semua ada dan tersedia itu realita? Rasanya semua sudah berubah secara drastis dan tak terbendung. Kebanyakan anak-anak muda dan orang-orang dewasa Dayak memegang Hand-phone (Baca: Teliphone bimbit) yang harus dibeli dengan uang. Ikan, daging, dan sayur-mayur di sebagian tempat manusia Dayak hidup saat ini memerlukan uang untuk bisa menikmatinya.
Bepergian jarak jauh harus membeli tiket pesawat dengan uang untuk bisa duduk dan menikmati terbang hingga ke tempat tujuan. Cerita heroik bahwa manusia Dayak bisa terbang sendiri tanpa perlu pesawat terbang hanyalah cerita rakyat saja. Realitanya manusia Dayak perlu uang!
Berbicara uang berarti berbicara ekonomi. Ekonomi yang baik dan kuat berarti memiliki uang yang cukup. Sehingga mental manusia Dayak terhadap apa yang disebut ekonomi itu harus berubah seiring dengan perubahan zaman. Mental wira-usaha atau peng-usaha ekonomi itu harus menjadi bagian hidup dan tujuan manusia Dayak modern.
Apabila tidak berubah secara mental maka kemungkinan besar manusia Dayak akan digilas oleh kekuatan ekonomi. Kekuatan ekonomi hanya bersahabat dengan manusia Dayak sebagai manusia yang bisa hidup dalam zaman ekonomi modern. Pilihan manusia Dayak adalah disingkirkan atau tersingkirkan! Maka mental wira-usaha atau mental peng-usaha wajib dipelajari dan diikuti prosesnya oleh manusia Dayak.
Tantangan Modal
Untuk menjadi pengusaha (entrepreneur), orang selalu melihat modal sebagai tantangannya. Sesungguhnya, pemerintah RI bekerja sama dengan bank-bank swasta maupun BUMN begitu gencar menawarkan modal-modal usaha kepada masyarakat untuk melakukan usaha kecil maupun menengah (UMKM) agar masyarakat berusaha dan lahirlah para usahawan-usahawati (bisnismen maupun bisniswomen). Di daerah-daerah manusia Dayak hidup ada berbagai lembaga keuangan yang mirip seperti memainkan peran sebagai bank-bank yang menawarkan modal usaha yakni: Credit Union (CU).
Uang memang merupakan modal fisik yang diperlukan dalam suatu usaha bagi kebangkitan ekonomi. Tetapi sesungguhnya ada modal-modal non-fisik yang sangat diperlukan bagi keberhasilan dalam suatu usaha bagi kewirausahaan. Misalnya, visi dari usaha tersebut; baik secara pribadi maupun keluarga bahkan visi usaha itu sendiri. Lalu juga tentu diperlukan semangat, kepercayaan, dan mental pendorong yang terkadang dilatih bertahun-tahun bahkan turun-temurun.
Modal non-fisik ini didapatkan bukan dari pinjaman dari bank atau CU, melainkan dari universitas kehidupan. Sangat disayangkan bahwa secara umum gereja Kristen sangat kurang dalam Visi yang mendorong umat Kristen Dayak untuk terjun dan berhasil dalam pengelolaan bisnis bagi kebangkitan ekonomi umat. Gereja terlalu fokus pada hal-hal yang di surga hingga hampir-hampir absen bagaimana kehidupan ekonomi umat di bumi.
Untuk kurun waktu yang sangat lama, Kekristenan memang tidak bersikap ramah terhadap dunia dagang dan bisnis, termasuk terhadap orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Sikap yang tidak terlalu menggembirakan tersebut, amat mungkin memang berawal dari sikap Kitab Perjanjian Baru sendiri. Orang-orang Kristen pada zaman Perjanjian Baru memang sama sekali tampak tidak menaruh kepedulian yang serius terhadap dunia bisnis yang akan mengembangkan ekonomi umat. Bahkan umat mendapatkan kesan teologis bahwa pelaku ekonomi dan bisnis, bukanlah untuk orang-orang jujur, saleh dan bermoral. Bisnis itu kotor! [3]
Sikap dan kesan di atas tampaknya diteruskan dari generasi ke generasi dalam pengajaran Gereja Kristen, yang terkadang diperkuat dengan ayat-ayat suci yang mengatakan bahwa berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Sekali lagi Aku berkata kepada mu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Dengan dalil-dalil Kitab Suci Perjanjian Baru yang seolah-olah tidak mendukung orang menjadi kaya dan seakan-akan lebih memuliakan orang miskin maka tidak dapat dipungkiri bahwa manusia Dayak yang umumnya beragama Kristen seakan-akan mendapatkan pembenaran untuk tidak terjun dan bergulat dalam bidang bisnis yang menggairahkan ekonomi ummat. Maka tidak heran bahwa di beberapa provinsi di Indonesia yang Kekristenannya cukup mayoritas justru menjadi provinsi atau daerah yang tingkat kemiskinannya paling tinggi. Padahal Gereja atau Injil telah masuk di daerah-daerah tersebut hampir dua ratus tahun.
Dalil-dalil Kitab Suci yang kurang dipahami secara baik dan akurat dapat menjadi belenggu bagi kebangkitan ekonomi ummat, khususnya manusia Dayak. Hal itu mungkin semakin diperkuat dengan adanya pandangan masa lalu bahwa Jubata Tuhan telah menyediakan segalanya ada atas tanah dan air di mana manusia Dayak hidup. Mereka lupa akan perintah Jubata Tuhan yang lain dalam ayat-ayat Kitab Suci juga diperintahkan agar manusia aktif mengusahakan dan memelihara alam tanah air di mana manusia itu hidup demi keberlangsungan hidup sejahteranya (ShalomNya dinyatakan).
Sebagai contoh, ketika saya menawarkan bisnis E-commercial dalam dunia aplikasi online kepada seorang pemuda Dayak yang lulusan S.2 jurusan elektro dari sebuah Universitas. Saya ingin dia menjadi usahawan dalam bidang yang dipelajarinya sambil dia menjadi pengajar dengan honor yang hanya sekitar setengah juta sebulan. Tapi pemuda itu menolak dengan alasan tidak punya modal.
Anehnya, beberapa hari kemudian dia punya modal untuk membeli sebuah mobil bekas yang sudah bertahun-tahun untuk transportasi pribadi. Mobil bekas yang dibelinya itu bukan untuk keperluan bisnis produktif, melainkan untuk prestise sebagai seorang dosen. Nilai modalnya pun sepuluh kali lipat dari modal yang diperlukan sebagai modal awalnya sebagai calon pengusaha di perusahaan E-Comm yang saya tawarkan itu.
Padahal usaha E-Comm itu membuka peluang besar bila ia tekuni 2-3 tahun saja maka dapat mengantarkannya memiliki mobil-mobil yang jauh lebih luxurious dari mobil bekas yang dibelinya dari pemberian uang orang tuanya. Di sini kita dapat melihat bahwa mental dalam kebangkitan ekonomi memainkan peran jauh lebih kuat dibandingkan tersedianya modal fisik, yakni uang! Mental seseorang menjadi modal non-fisik yang berkorelasi kuat bagi kebangkitan ekonomi seseorang. Mental komunitas atau masyarakat Dayak yang akan menentukan kebangkitan ekonomi manusia Dayak. Uang bukan yang utama bagi kebangkitan ekonomi Dayak, melainkan mentalnya!
Penutup
Merujuk pada dalil-dalil yang telah dinyatakan di atas maka kebangkitan ekonomi Dayak akan terjadi bila modal dan mental ada. Mental dapat dikategorikan sebagai modal non-fisik. Modal fisik berupa uang akan mudah didapatkan bila seseorang atau suatu komunitas masyarakat memiliki modal non-fisik yang memadai dan cukup baik bagi kebangkitan ekonominya.
Untuk itu, demi kebangkitan ekonomi manusia Dayak maka diperlukan reformasi mental dalam memandang bisnis dan ekonomi. Mental jadi peng-usaha harus menjadi prioritas dibandingkan penyediaan modal dana seperti yang biasa dikeluhkan sebagai bukti kelemahan mentalnya dalam memandang arena bisnis dan ekonomi.
Maka lembaga-lembaga masyarakat Dayak seperti DAD-DAD dan Gereja-gereja Tuhan yang ada di dalam masyarakat itu harus memiliki divisi-divisi pemberdayaan ekonomi ummat (bukan divisi pencari dana seperti yang selama ini ada). Lembaga-lembaga swadaya masyarakat Dayak diharapkan bukan sekedar mengurusi hukum-hukum Adat atau hukum-hukum Gerejawi semata. Lembaga-lembaga Adat dan Gereja di tengah masyarakat Dayak harus segera berkolaborasi dengan pihak pemerintah dan swasta lainnya untuk memperbaharui mental manusia Dayak dalam memandang bisnis dan ekonomi agar kebangkitan ekonomi Dayak benar-benar terjadi. Semoga!
***
Referensi:
[1] Materi kuliah National Christian Counselor Association (NCCA), USA.
[2] Masri Sareb Putra, “101 Tokoh Dayak Yang Mengukir Sejarah”, Lembaga Literasi Dayak, 2019: 191-192.
[3] Eka Darmaputera, “Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan”, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2016:1-19.
Penulis: Doktor di bidang Teologi Kontekstual dan Ph.D di bidang Clinical Counseling dari CTS Colorado, USA.
***
Bionarasi
Dr. Andersius Namsi, Ph.D dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat pada 5 September 1968. Akademisi di bidang Psikologi Pendidikan Kristen dan Teologi Praktika.
Authorship:
1. Tubuh, Jiwa dan Roh. Kemenangan Psikologi Kristen (Jakarta, Maret 2016)
2. Islam dan Teologi Kontekstual Alkitabiah (Jakarta, Mei 2017).