25.7 C
Singkawang
More
    BerandaSastraNovelet| Kimik Si Anak Sungai (3)

    Novelet| Kimik Si Anak Sungai (3)

    | Penulis: H. Mugeni

    Sekuat tenaga Kimik berenang untuk secepat mungkin meraih sisi kemudi, dan secepat kilat seperti mau melompat, naik ke perahu. Perahu tiba-tiba menjadi oleng dan air dengan cepat pula masuk ke dalam. Dengan cepat Datu Gulu menyeimbangkan perahu agar tidak terbalik dan karam. Untung saja ikan toman dan ikan lainnya yang ada di dalam perahu tidak sempat meloncat ke luar.

    “Hati-hati Kimik, pelan-pelan saja,” seru Datu Gulu pelan. Di ujung kemudi Kimik terlihat terduduk mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.

    “Kalau kamu naik seperti itu, bisa-bisa terbalik dan karam perahu kita,” Datu Gulu mengingatkan. Kimik tidak menjawab. Nafasnya masih tersengal.

    “Huak…huak…huak…,” Lego tertawa terbahak melihat Kimik gugup dengan nafas tersengal di ujung kemudi.

    Puaaak..! Tiba-tiba Kimik menghempaskan pendayungnya ke air. Air muncrat ke wajah Lego.

    Puaak…puaak…puaak…! Kembali Kimik menyerang Lego dengan cipratan air yang dibuat dari hempasan pendayungnya yang diarahkan langsung ke tubuh Lego. Dengan reflek Lego mengibaskan baju kaos oblong lusuhnya yang basah kuyup.

    Hah…haa…haa…giliran Kimik kini yang tertawa ngakak sambil cepat mengayunkan pendayungnya, mengayuh sekuat tenaga untuk cepat menjauh.

    Lego mengangkat pendayungnya, ancang-ancang mau membalas perbuatan Kimik yang masih tertawa terkekeh. Tapi Datu Gulu tiba-tiba mengingatkan Lego.

    “Go… awas, lihat di belakangmu!”
    Lego cepat menurunkan pendayungnya, dan dengan cepat pula mengalihkan pandangannya ke belakang mengikuti arah telunjuk Datu Gulu.

    Seekor buaya besar terlihat ingin melintasi sungai, tidak jauh di belakang perahunya. Buru-buru Lego meraih tombak besi yang memang selalu ada di perahunya.
    “Jangan bergerak Go, tenang saja. Dia cuma mau lewat saja!” seru Datu Gulu dengan suara tidak terlalu keras.

    Tapi buaya itu tiba-tiba membelok dan bergerak mendekat ke perahu Lego. Mungkin buaya itu bereaksi karena Lego terlihat setengah berdiri pasang kuda-kuda sehingga membuat perahunya bergerak oleng ke kiri ke kanan yang memancing reaksi buaya besar itu.

    Lego kini benar-benar siaga penuh, dengan posisi siap bertarung menghadapi buaya yang dikenalnya memang ganas-ganas di sungai yang berair hitam itu. Kimik pun diam-diam menarik tombak yang tadi di bawanya dan siap pula membantu Lego.

    “Mik, menjauh saja. Biar Aku saja yang menghadapinya!” Seru Lego pelan.
    Kimik merasa aman karena ada Lego yang pemberani itu di situ. Siapa pun yang menghuni pondok-pondok yang terbuat dari kayu dan atap terbuat dari daun rempiyang di pemukiman ladang di sepanjang aliran sungai itu, bahwa Lego adalah seorang pemberani.

    Kalau bertemu ular, dialah yang akan menangkapnya. Kalau ada Kahiyu-orang utan yang mendekat, dia pula yang akan maju mengusirnya. Tenaganya kuat luar biasa. Dia mampu memanggul tangkujang-keranjang khas orang Dayak, yang bermuatan penuh padi hasil mengetam di punggungnya dengan santai saja. Dia seperti tidak pernah terlihat lelah. Dia tidak pernah menolak bila diminta bantuan oleh tetangga dekatnya. Kalau ada kegiatan gotong royong, Lego pulalah biasanya orang pertama yang datang.

    Dia memang tinggal di pondok Angah Pari. Tapi siapa pun bisa minta bantuan tenaganya. Apalagi kalau Datu Gulu yang memintanya, dia akan cepat-cepat datang. Dan Angah Pari pun pasti mengijinkannya. Tidak perlu repot untuk memikirkan upah, hanya perlu kopi dan tembakau Jawa yang selalu diisapnya, dia akan semangat bekerja.

    Suara Lego serak dan nyaring. Kalau dia bicara pasti orang-orang di sekitarnya akan jelas mendengar, meski dengan logat yang tidak jelas. Dari kejauhan orang pun bisa menebak suaranya. Bibirnya merah seperti bergincu, karena dia pengunyah sirih bercampur kapur dan gambir. Orang kampung menyebutnya simpa.

    Sehingga kalau dia datang ke pondok Kimik, biasanya justru Nenek Kimik yang repot. Karena jatah sirih, kapur, gambir dan tembakau Jawa nya jadi berkurang. Lego malah tidak pernah terlihat merokok.

    Sementara itu, untuk tidak terus memancing respon lebih ekstrim buaya, Lego, Kimik, dan Datu Gulu hanya duduk dan diam. Tetapi waspada penuh, dengan tombak tetap di tangan kanan. Mereka dengan perlahan menyejajarkan kedua perahunya dan menjaga agar tidak melintang di sungai yang deras itu. Tetapi karena tidak mengayuh, perahu mereka hanyut terseret arus air dan justru mendekat ke arah buaya.

    Buaya kembali bereaksi. Matanya membuka lebar menyorot ke arah Lego yang posisinya lebih dekat. Tiba-tiba buaya membuka mulutnya seperti mau menerkam. Lego sigap berdiri, pasang kuda-kuda, dan siap mengarahkan tombaknya ke mulut buaya.

    “Diam saja Go, jangan bergerak!” Seru Datu Gulu pelan. Datu Gulu berdiri di ujung perahu sambil mengangkat tangan kanan. Telapak tangannya di arahkan ke mata buaya. Sejenak kemudian mata buaya seperti mengerdip, lalu terpejam. Mulutnya yang tadi sempat menganga siap mau menerkam Lego pun kemudian menutup rapat. Buaya sekali lagi mengerdip seperti menyampaikan pesan untuk Ijin pergi. Perlahan buaya masuk ke dalam air, meninggalkan sedikit gelombang dan buih. Kimik pun merasa lega, lepas dari ancaman serangan buaya.

    “Buayanya sudah pergi, ayo Mik kita pulang,” ajak Datu Gulu pada Kimik.

    “Go, owei-rotan yang tertinggal di hutan Kemaren diambil ya…” Pinta Datu Gulu kepada Lego.

    “Iya,Datuk.” Sahut Lego.

    “Mik, hati-hati!” Goda Lego kepada Kimik sambil terkekeh, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

    “Dasar Bugis…,” gumam Kimik dalam hati.

    Mereka pun kemudian berpisah. Kimik mengayuh perahunya ke hulu, melawan arus sungai yang deras. Sedangkan Lego mendayung perahunya pelan ke hilir mengikuti arus sungai.

    Angin bertiup pelan, matahari pun mulai meninggi. Suara kicau burung- burung yang melintas lalu lalang di atas langit sungai dan di atas pohon-pohon di pinggiran sungai mulai terdengar ramai.

    Suara ketak-ketok sentuhan pendayung Lego ke sisi perahu terdengar makin pelan dan terus menjauh. Suara serak Lego menyanyikan lagu Anging Mammiri kesayangannya menggema jauh ke dalam hutan dan langit sungai.

    Anging Mammiri ku pasang
    Pitujui tontongana
    Tusarroa takkaluppa…(2x)
    E…aule
    Namangngu’rangi
    Tutenayya…tutenayya pa’risi’na (2x)
    Battumi Anging Mammiri
    Anging ngerang dinging-dinging
    Namalantang saribuku
    E…aule…
    Mangerang nakku
    Nalo’lorang…nalo’lorang je’ne mata.
    Anging Mammiri ku pasang
    Pitujui tontongana
    Tusarroa takkaluppa.

    Sayup-sayup nyanyian Anging Mammiri Lego pelan menghilang di kejauhan. Si Bugis yang lugu itu, telah menyatu dengan hutan dan sungai pulau Borneo. Menyatu dengan kehidupan di sana.

    Tamat!

    ***

    detikborneo.com - Selasa, 13 Juli 2021, 04.12

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita