| Penulis: Dr. Andersius Namsi, Ph.D.
Secara pribadi saya sangat mengagumi kepemimpinan Paus Fransiskus. Rupanya hal ini bukan kebetulan. Saya mempunyai seorang adik sepupu yang seorang suster dari ordo Fransiskan juga sangat mengagumi kepemimpinan Paus Fransiskus. Tampak sekali adik sepupu saya itu meniru gaya hidup dan kepemimpinan Paus Fransiskus.
Berkat meniru keteladanan kepemimpinan tokoh tertinggi Umat Katolik itu, maka adik saya yang merupakan wanita Dayak yang dilahirkan dan dibesarkan di pedalaman Kalbar dengan latar belakang keluarga yang penuh dengan berbagai kekurangan di seda sangat terpencil, bisa menjadi salah satu pemimpin Global di ordo mereka hingga mengantarkannya sering bertugas ke beberapa Negara Asean dan Eropa.
Bagi saya, Paus Fransiskus bukan sekedar pemimpin agama kelas dunia tetapi benar-benar pemimpin dunia yang istimewa dan penuh kharisma. Bila tokoh-tokoh Dayak ingin memiliki kepemimpinan yang berdampak dan bereputasi dunia maka teladanilah kepemimpinan tokoh tertinggi Katolik ini. Mengapa Kepemimpinan Paus Fransiskus begitu mempengaruhi dunia?
Pertama, Keteladanan Bersedia Membayar Harga
Saya sadar bahwa meletakkan kata “teladan” pada seseorang mengandung konsekwensi yang memerlukan tolok ukur yang jelas dan harus dapat dipertanggung-jawabkan. Karena kata “teladan” itu mengandung arti model, gambar, ideal dan contoh bagi produk-produk yang terbaik berikutnya. Kalau kata “teladan” itu berarti asal-asalan sebagai “contoh” maka produk-produk yang akan dihasilkan buruk dan akhirnya tidak laku. Tetapi tetap bisa dikategorikan “contoh”. Jadi teladan itu bukan sekedar contoh. Karena contoh, bisa buruk dan baik. Sedangkan teladan itu HARUS BAIK dan BERKUALITAS.
Demikianlah ketika kita berbicara tentang teladan kepemimpinan, bila ternyata pemimpin yang menjadi teladan itu hanya sekedar sebuah contoh yang tidak berkualitas atau buruk tingkah-laku moralnya maka produk atau hasil-hasil dari kepemimpinan itu akan rusak dan lama-kelamaan tidak laku. Bila demikian maka ia bisa diibaratkan seperti garam yang tak asin, lalu dibuang dan diinjak-injak orang di jalanan. Bila ia memimpin suatu komunitas manusia atau wilayah atau Negara maka komunitas, wilayah atau negara itu jadi kacau dan rusak yang pada ujung-ujungnya diinjak-injak orang harkat dan martabatnya, sukunya, dan bangsanya.
Ini bahaya dari pada pemimpin yang mencoba untuk menjadi teladan dalam konteks sekedar menekankan konsep “contoh” karena “contoh” bisa baik dan bisa buruk. Tetapi kepemimpinan teladan berarti kepemimpinan yang baik dan berkualitas yang mengutamakan nilai-nilai kemuliaan dalam kepemimpinannya. Kepemimpinan yang menjadi teladan selalu membawa dampak (impact) yang baik.
Oleh karena itu, seorang pemimpin yang menjadi teladan itu harus bersedia membayar harga kepemimpinannya demi kebaikan dan kemaslahatan orang-orang (komunitas, suku, dan bangsa) yang dipimpinnya. Bersedia membayar harga untuk berkorban bagi yang dipimpinnya. Harga untuk menyangkal diri dari keinginan egoisme dan keserakahan hidup. Dan bersedia membayar harga untuk kemajuan dan memberikan pengharapan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan model inilah yang dilakukan Paus Fransiskus yang sedang memimpin Gereja Katolik sedunia saat ini.
Sangat tidak mudah untuk kita menemukan sosok atau figur pemimpin yang bisa kita jadikan teladan pada masa kini. Banyak sekali pemimpin yang kita ikuti adalah pemimpin yang egois dan serakah gaya hidupnya. Mereka begitu mementingkan diri sendiri, keluarga sendiri, kelompoknya sendiri, golongan dan partainya sendiri. Sangat susah dan langka untuk kita bisa menemukan seorang pemimpin yang memiliki hati yang luas, penuh cinta-kasih, tidak mementingkan diri sendiri, berkorban bagi yang dipimpin, bahkan bagi orang-orang di luar wilayah kepemimpinannya.
Tokoh yang bernama Paus Fransiskus dilahirkan dengan nama Jorge Mario Bergoglio di Buenos Aires, Argentina, pada 17 Desember 1936. Beliau diangkat menjadi Paus pada umur 78 tahun. Sebelum menjadi Paus, beliau adalah Uskup Agung Buenos Aires, Argentina. Sebagai Paus maka beliau adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan sekaligus Kepala Negara dari Negara Kota Vatikan, yang luasnya tidak lebih besar dari Negara Kota Singapura.
Saya ingat saat Paskah ada tradisi cuci kaki di Vatikan. Tetapi selama tiga tahun berturut-turut Paus Fransiskus tidak menggelar pelayanan tradisional itu di Basilica, Vatikan, sebagaimana yang selalu dilakukan oleh pendahulunya. Paus Fransiskus justru berangkat dari Vatikan ke Roma, dan melakukan tradisi cuci kaki bersama masyarakat pinggiran, termasuk melakukannya untuk perempuan yang biasanya tidak dilakukan oleh Paus-Paus sebelumnya selama ini.
Para pendahulu dari Paus Fransiskus memang hanya mengikutkan laki-laki dalam tradisi pelayanan cuci kaki saat perayaan Paskah. Paus itu berani membayar harga dalam kepemimpinan dan memecah tradisi Vatikan dengan meneruskan gaya kepemimpinannya ketika beliau masih sebagai Uskup Agung Buenos Aires di Argentina.
Tidak pelak lagi, terobosan progresif kepemimpinan yang memanusiakan manusia yang mungkin dianggap bukan lagi manusia itu, membuat Paus Fransiskus yang menjadi Paus non-Eropa pertama sejak Paus Gregorius III pada tahun 741 menjadi sasaran kritik dari para pengikut agama Katolik yang konservatif. Mereka kecewa terhadap cara Paus Fransiskus dalam memimpin tahta tertinggi dari Agama Katolik.
Kedua: Gaya Hidup sebagai Pemimpin Yang Membumi.
Paus Fransiskus yang masa kecil bernamaBergoglio adalah anak pertama dari lima bersaudara. Beliau adalah penyandang gelar Master di bidang ilmu kimia dari Universitas Buenos Aires, Argentina. Alih-alih meneruskan keahliannya di bidang ilmu kimia itu, beliau memilih bergabung ke Seminari di Villa Devoto dan bergabung dengan Serikat Yesus pada 1958.
Beliau juga penyandang gelar di bidang ilmu filsafat dari Colegio Máximo San José di San Miguel. Beliau sempat mengajar studi literatur dan psikologi di Colegio de la Inmaculada di Santa Fe, Buenos Aires. Sesudah itu, beliau melanjutkan studi lagi di bidang ilmu filsafat dan teologi di Faculty of San Miguel, Seminari di San Miguel. Kemudian beliau mengajar di Seminari ini sampai mendapat gelar Profesor. Pelayanan gereja beliau dimulai pada tahun 1973. Pada tahun 1980, beliau sempat menjadi Rektor Seminari San Miguel hingga 1986. Gelar doktoral beliau diraih di Jerman.
Sejak dinobatkan sebagai Paus maka beliau semestinya bisa memilih hidup di istana yang terbaik dan termewah (the Papal apartments in the Apostolic Palace) yang disediakan bagi seorang pemimpin tertinggi agama Katolik di Vatikan, Roma. Bukankah hal ini yang cenderung terjadi bagi para pemimpin baru di dunia ini ketika mencapai puncak karir kepemimpinan yang tertinggi.
Paus Fransiskus sangat kontras dengan para pemimpin dunia saat ini, beliau memilih tinggal di flat sebuah apartmen sederhana yang biasa digunakan untuk para tamu Vatikan. Bahkan beliau tidak memiliki pembantu untuk menolongnya walau sudah cukup tua, dan ia masak sendiri. Gaya hidup sederhana menguatkan kerendahan hatinya sebagai pemimpin yang dapat diteladani. Ketika menjadi Uskup Agung di Buenos Aires, Argentina pun beliau memilih tinggal di apartemen kecil ketimbang menempati kediaman resmi Keuskupan. Beliau juga menolak menggunakan sopir pribadi dan mobil limosin yang menjadi haknya sebagai Uskup Agung bila beliau berkenan menggunakannya.
Sangat menarik mengamati gaya hidup Paus Fransiskus sebagai pemimpin yang dapat menjadi teladan. Sejak dilantik pun, beliau tidak bersedia memakai kalung salib Kepausan yang terbuat dari emas seperti yang dilakukan pendahulunya Paus Benedict XVI. Beliau memakai kalung salib yang terbuat dari besi saja. Demikian pun cincin simbol kepausan, beliau hanya memakai cincin yang terbuat dari perak (silver) dibandingkan Paus Benedict XVI yang memakai cincin yang terbuat dari emas.
Semua ini dilakukan bukan seperti pemikiran kampung kita yang berpikir bahwa karena Paus Fransiskus mungkin takut kalau-kalau memakai kalung salib emas dan cincin emas maka perampok makin semangat untuk mengintai, menganiaya dan merampoknya. Bagi Paus Fransiskus, gaya hidup yang membumi dengan manusia kebanyakan adalah menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Beliau sangat sadar bahwa pemimpin tidak semestinya mempertontonkan harta kekayaan duniawinya sementara umumnya yang dipimpin masih hidup dalam keprihatinan. Paus Fransiskus sangat memahami etika moral kepemimpinan yang dapat menjadi teladan. Gaya hidupnya begitu membumi kendati posisi kepemimpinan tertinggi ditangannya.
Penutup
Kita bersyukur memiliki Paus Fransiskus. Beliau benar-benar pemimpin yang menjadi teladan bagi kita semua. Beliau memimpin dengan gaya kepemimpinan yang memanusiakan manusia lainnya dan gaya hidupnya benar-benar dapat menjadi teladan karena kesederhanaannya. Saya percaya masyarakat Dayak akan berkembang maju dan sejahtera bila memiliki tokoh-tokoh maupun pemimpin-pemimpin yang meneladani Paus Fransiskus. Doakanlah dan Semoga Tuhan memunculkan mereka. Ad Majorem Dei Gloriam!
***
Sumber-sumber:
- www.dunia.tempo.co
- Wikipedia.org
- www.thecatholictelegraph.com
***
Bionarasi
Dr. Andersius Namsi, Ph.D dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat pada 5 September 1968. Akademisi di bidang Psikologi Pendidikan Kristen dan Teologi Praktika.
Authorship:
1. Tubuh, Jiwa dan Roh. Kemenangan Psikologi Kristen (Jakarta, Maret 2016)
2. Islam dan Teologi Kontekstual Alkitabiah (Jakarta, Mei 2017).
Konselor & Temperament Psychoterapist (www.ccmdrnamsi.com)