Pontianak, detikborneo.com -Suasana Munas Ke-V MADN menjadi viral atas ulah orang tertentu yang dari jejak digital suka memaksakan kehendak dengan melakukan protes yang terkesan tidak beradat sesuai dengan kebiasaan Adat Budaya Dayak.
Dalam budaya Dayak jika kita berbeda pendapat adalah hal yang lumrah dan biasa bukan merupakan aib asal dilakukan dengan cara yang berbudaya.
Para Tokoh Dayak yang masih suasana Ngayo pada perjanjian Tumbang Anoi Tahun 1894 juga pasti banyak perbedaan pendapat dalam memutuskan hasil Perjanjian tersebut.
Isi Perjanjian Tumbang Anoi
1. Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim disebut 3H Hakayou (saling mengayau), Hapunu (saling membunuh), dan Hatetek (saling kepala) di Kalimantan (Borneo pada waktu itu).
2. Menghentikan sistem Jipen (hamba atau budak belian) dan anggota para Jipen dari segala keterikatannya dari Tempu (majikannya) sebagai layaknya kehidupan lainnya yang bebas.
3. Menggantikan wujud Jipen yang dari manusia dengan barang yang bisa di nilai seperti baanga (tempayan mahal atau tajau), halamaung, lalang, tanah / kebun atau lainnya.
4. Menyeragamkan dan menerapkan Hukum Adat yang bersifat umum, seperti: bagi yang membunuh orang lain maka ia harus membayar Sahiring (sanksi adat) sesuai ketentuan yang berlaku. pada yang digunakan lawannya manusia.
5. Memutuskan agar setiap orang yang membunuh suku lain, ia harus membayar Sahiring sesuai dengan putusan sidang adat yang diketuai oleh Damang Batu. Semuanya itu harus di bayar langsung pada waktu itu juga, oleh pihak yang bersalah.
6. Menata dan menerapkan adat istiadat secara khusus di masing-masing daerah, sesuai dengan kebiasaan dan tatanan kehidupan yang dianggap baik.
Di zaman modern ini tentu tokoh Pemimpin Dayak tentu minimal tamat SMA bahkan ada yang bergelar sarjana dan doktor.
Yang menjadi introspeksi diri, kenapa pada zaman lalu orang Dayak sudah biasa potong kepala atau NGAYO mungkin hampir semua yang datang pasti punya koleksi Kepala korban Ngayo. Para Panglima dan Tokoh Dayak ini dalam catatan sejarah masih buta huruf alias tidak sekolah bukti sejarah dicatat oleh misionaris Belanda yang membantu kegiatan acara dan mencat hasil keputusan.
Yang menjadi catatan moral untuk kita mereka semua bisa saling menghormati. Kenapa kita saat ini sudah berubah ada apa?
Sangat disayangkan dengan gagah perkasa para pembuat keributan suara dengan lantang mengancam Panitia akan membubarkan Munas dengan mengatakankan sudah siap dengan 200 pasukan dan ada saksi mata menyampaikan juga memaksa masuk diduga bukan peserta Munas serta bukan orang Dayak dari nada bicara yang bisa didengar. Dari kejadian-kejadian ini kekacauan sudah direncanakan dan bersyukur kepada Jubata/ Tuhan menolong Panitia dan bidang Keamanan yang dikomandani Yohanes Abay Tokoh Dayak Jakarta dan Pengurus DAD DKI aktif menjaga suasana Munas hingga acara berjalan lancar sampai selesai.
Yohanes Abay menyampaikan jika ada yang merasa dirugikan atas kejadian Munas Ke-V MADN di Hotel Peninsula Jakarta Panitia Keamanan siap memfasilitasi untuk diajukan ke Pengadilan Adat maupun Hukum Positif.
Apa sebenarnya yang menjadi benang kusut sehingga peserta Munas Ke V MADN Tahun 2021 di Jakarta terkesan bergejolak? ujarnya,
Agustinus Clarus memberikan pandangan dan bagian dari pelaku sejarah pada awal pendirian MADN hingga Munas Ke IV, mengatakan:
Catatan Yang Harus Disimpan
Apa sebenarnya yang menjadi benang kusut sengkarut sehingga peserta Munas Ke V MADN Tahun 2021 di Jakarta terkesan bergejolak.
Hal tersebut bersumber dari penyimpangan di masa lalu terhadap pelaksanaan AD/ART organisasi MADN dan terhadap hasil-hasil keputusan Rapimnas yang telah disepakati.
Dua bulan menjelang berakhirnya masa jabatan Teras Narang sebagai presiden, saat itu diadakan RAPIMNAS MADN untuk mempersiapkan Munas berikutnya di Palangkaraya, yang dihadiri oleh perwakilan dari seluruh Kalimantan (saat itu Kaltara belum lahir). Rapimsus memutuskan bahwa Munas berikutnya akan diadakan di Palangkaraya dan sesuai AD/ART estafet jabatan presiden adalah hak Kaltim.
Namun saat Munas Ke III MADN diadakan terjadi perubahan yang cukup mengagetkan banyak pihak, bahwa utusan / pesrta dari DAD Kaltim, menyatakan belum bersedia menerima estafet kepresidenan MADN, dengan alasan belum ada figur yang memenuhi syarat, dan estafet tersebut diserahkan ke Kalbar, padahal Kalbar adalah pemegang estafet tersebut sebelum Teras Narang, yang dijabat oleh Mikhael Andjioe (alm). Akhirnya Munas III MADN menetapkan Cornelis sebagai presiden MADN. Selanjutnya pada Munas IV, Cornelis terpilih untuk kedua kalinya sebagai presiden MADN.
Benang kusut sengkarut yang terjadi pada Munas V MADN yang baru berlalu tidak akan terjadi jika perwakilan Kaltim bisa menyampaikan dan mendiskusikan hal-hal yang terjadi di masa lalu. Apakah saat Munas III dan IV mereka mengalah atau memang belum siap karena tidak ada figur, atau ada hal-hal yang diduga berbau transaksional. Mengapa mereka tidak memandang bahwa Bapak Marthin Billa, atau yang lainnya pada waktu itu dapat dan mampu memegang estafet kursi presiden MADN yang sudah menjadi hak mereka sesuai dengan AD/ART, di mana pasal-pasal tentang Presiden MADN dinyatakan dijabat secara bergilir, beradasarkan kemufakatan berdasarkan semangat rumah panjang/betang.
Diperlukan juga penjelasan mengapa hasil Rapim MADN dianulir dan oleh kekuatan apakah hal itu terjadi. Hal-hal ini seharusnya dijelaskan oleh mereka yang mewakili pengurus MADN dari Kaltim (Thresia Hosana Samual, Yulianua Enoch dan Edy Gunawan), kepada peserta dan panitia Munas V. Sehingga Munas V mendapat materi yang cukup memadai untuk dibawa dalam acara musyawarah nasional.
Perlu pula dicatat dan diingat bahwa jabatan kedua Teras Narang sebagai presiden MADN adalah hasil kesepakatan antara pengurus MADN, bahwa karena peserta/utusan Kalsel saat Munas menyatakan dengan bulat bahwa Kalsel tidak bersedia menerima estafet jabatan presiden, karena memang mereka benar-benar waktu itu belum memiliki figur yang mumpuni, maka mereka dalam forum Munas menyerahkan peluang mereka kepada Bpk Teras Narang. Hal semacam ini dapat diterima karena dilakukan secara terbuka / transparan.
Oleh karena itu Munas V berpendapat bahwa Kaltim telah menyia-nyiakan peluang sebagai pemegang estafet kursi presiden MADN sepanjang 10 tahun, dan Munas melihat kandidat presiden yang diajukan Kaltim saat Munas V belum memenuhi syarat (belum pernah menjadi pengurus DAD setingkat Provinsi), maka Munas memutuskan berdasarkan budaya Dayak bahupm/ musyawarah bahwa estafet tersebut adalah milik Kaltara, dan Kaltara sudah siap dengan figur yang mumpuni dan memenuhi syarat dan ketentuan sebagai presiden, sesuai AD/ART MADN adalah dijabat oleh seorang suku dayak asli dan pernah menjadi pengurus DAD setingkat provinsi.
Sedangkan DAD Kaltim mengajukan kandidat yg belum memenuhi syarat untuk menjabat sebagai presiden, antara lain harus tokoh dayak asli dan pernah menjadi pengurus DAD di tingkat provinsi. ujar Clarus.