| Penulis: Paran Sakiu
Sepasang kekasih lalu hidup bersama tanpa ikatan pernikahan tidaklah dikenal di kalangan suku Dayak Kanayatn.
Pernikahan dilakukan oleh umat manusia sejak zaman bahola. Termasuk juga di dalamnya suku bangsa Dayak secara khusus Dayak Kanayatn. Lagi-lagi pernikahan secara adat sama seperti sunat di kalangan suku Dayak Kanayatn tidak dipengaruhi oleh faktor agama dan faktor interaksi dengan suku lain yang berada di Kalimantan. Pernikahan ala Dayak Kanayat berarti pernikahan sesuai dengan ritual adat, peraga adat, dan hukum adat Dayak Kanayatn.
Sepasang kekasih lalu hidup bersama tanpa ikatan pernikahan tidaklah dikenal di kalangan suku Dayak Kanayatn. Jangankan hidup bersama. Lagi berduaan ditempat sepi, baik di dalam rumah atau di luar rumah pada masa lalu akan dikenai hukum adat. Bahkan tidak sedikit yang berujung kepada pernikahan.
Apakah masa kini masih berlaku seperti itu? Mulai ada kelonggaran. Pada perkampungan Dayak Kanayatn yang masih melekat memegang adat istiadat, kebiasaan ini masih diberlakukan. Jangan coba-coba untuk menghindar.
Pernikahan pada suku Dayak Kanayatn dapat dilangsungkan dengan berbagai macam latar belakang. Ada yang dilatarbelakangi seperti tadi, yakni berduaan di tempat sepi. Mereka yang berduaan di tempat sepi khususnya bagi seorang laki-laki akan ditanyai siap dinikahkan atau tidak. Jika jawabnya siap, maka waktu pernikahannya segera ditentukan. Tentu saja pertanyaan datang dari pengurus adat dan pihak keluarga perempuan.
Latar belakang kedua adalah jika salah satu pasangan datang ke rumah dan bermalam. Misalnya seorang laki-laki datang ke rumah seorang perempuan atau sebaliknya seorang perempuan datang ke rumah seorang laki-laki. Dijamin tidak akan pulang tanpa terlebih dahulu akan ditangani secara baik-baik melalui perundingan adat. Kejadian yang seperti ini biasanya tidak memerlukan waktu yang lama.
Latar belakang ketiga adalah dengan bepergian berdua saja. Pernikahannya akan segera ditangani saat mereka pulang ke rumah. Jika laki-lakinya menolak siap-siap membayar hukum adat. Tokoh-tokoh adat akan mengurusnya.
Latar belakang keempat jika ada seorang wanita yang terbukti hamil dan menunjuk batang hidup pelaku utamanya maka pernikahan pun segera dilangsungkan. Jika yang ditunjuk tidak merasa melakukannya. Dan terpaksa menikahinya, biasanya usia pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Mereka pasti bercerai. Jika yang di tunjuk mengakuinya maka pernikahan segera dilangsungkan.
Latar belakang kelima adalah adanya perjanjian masa lalu dari kedua orang tuanya. Hal ini karena pertemanan atau karena dulunya tidak mendapat ijin saat mau menikah dari orang tuanya. Anak diarahkan untuk saling jatuh cinta dan disetujui pernikahannya.
Latar belakang keenam jika ketahuan melakukan zinah. Mereka yang tertangkap melakukan zinah (antara perjaka dengan seorang gadis) dipastikan berujung pada pernikahan. Mereka akan ditangani oleh pengurus adat. Dimintai pertanggungjawabannya karena dianggap melanggar adat.
Latar belakang ketujuh adalah dari sebuah pernikahan di kalangan Dayak Kanayatn terjadi dengan adanya perjodohan. Mereka tidak saling mengenal nama, wajah, apalagi karakter. Terutama yang berbeda kampung, kecamatan dan kabupaten. Ada juga yang satu kampung atau tetangga kampung. Mereka sama sekali tidak pacaran. Ada pihak ketiga yang meminta dan mengurus mereka. Pihak ketiga ini dikenal dengan Picara alias ma comblang pada masa kini.
Latar belakang kedelapan, karena melalui proses pacaran. Setelah sekian lama pacaran dan ada kecocokan serta di dukung oleh orang tua dari kedua belah pihak maka pernikahan pun akan segera dilangsungkan. Latar belakang seperti ini dominan di kalangan Dayak Kanayatn pada masa kini. Perantara yang disebut Picara tetap dilibatkan karena hukum adatnya memang demikian.
Mereka yang memiliki latar belakang ketujuh atau kedelapan, biasanya ada yang melalui tahap pertunangan. Mereka bertunangan terlebih dahulu yang disebut dengan “Ngomok” Bertukar cincin. Sekalipun hanya bertukar cincin, sudah dinyatakan sah sebagai suami-Istri sekali pun belum hidup serumah. Sekian bulan kemudian atau sekian tahun kemudian dengan berbagai alasan barulah dilangsungkan pernikahan. Ada juga yang langsung ke jenjang pernikahan tanpa melalui pertunangan.
Dulu pernikahan dari pasangan antar kampung yang jauh karena masih berhutan lebat, dan tanpa ada kendaraan akan dibuat kejutan untuk menyambut pengantennya. Jika pengantennya sudah mendekati perkampungan. Anak-anak, pemuda-pemudi dan orang tua diarahkan dengan bersembunyi dibalik pohon dan semak-semak.
Mereka bersembunyi di kiri-kanan jalan. Dengan kode yang sudah ditetapkan dan diketahui, mereka akan keluar ke arah penganten dengan berteriak dan menghamburkan berbagai jenis dedaunan. Ini seru sekali. Tetapi sambutan yang demikian telah lama menghilang.
Pada umumnya pernikahan ada yang dilangsungkan pada malam hari. Ada yang dilangsungkan pagi hari. Pernikahan yang dilangsungkan malam hari biasanya sekitar jam tujuh hingga selesai. Kedua pasangan dengan dipimpin pemuka adat, didampingi oleh picara, dan dari kedua belah pihak keluarga.
Di hadapan penganten yang menikah sudah dilengkapi dengan peraga adat. Ada babi, ada ayam, ada telur, ada cucur, ada poe, ada berbagai jenis bibit, pisau dan lain-lain. Setelah disangahatn (didoakan), lalu ada petuah. Dilanjutkan dengan suap-suapan dari kedua mempelai. Di daerah Mentonyek–Mempawah hulu salah satu bahan suapan kepada pasangannya adalah nasi bercampur dengan semut Kasa (rangrang).
Setelah suap-suapan lalu dilanjutkan dengan nasehat yang diberikan secara bergantian oleh mereka yang berada di ruang penganten. Berbarengan dengan pemberian nasihat diedarkan makanan yang sudah disiapkan. Pesta pernikahan pun dirayakan dengan menu khusus. Ada berbagai jenis lauk yang diolah sedemikian rupa disajikan ke setiap pengunjung pesta.
Ada juga pernikahan dilakukan pada pagi hari. Pada pagi hari ini kedua mempelai yang akan menikah menghadap peraga adat. Setelah semua tuntas. Maka, segala alat peraga dimasukkan ke dalam wadah yang bernama “tingkalakng”. Di dalamnya ada daging babi, ayam, cucur, poe, ada berbagai jenis bibit, termasuk buah kelapa, pisau dll. Selesai upacara “tingkalakng” tadi diantar kepada pihak keluarga dari pasangan yang belum mengadakan pesta.
Bagi suku Dayak Kanayatn kedua pasangan yang melangsungkan pernikahan wajib mengadakan pesta. Tidak boleh hanya ke salah satu pihak saja. Alasannya karena pernikahan merupakan siklus kehidupan manusia yang wajib hukumnya untuk dipenuhi. Katakanlah pernikahan dan pestanya dilangsungkan di pihak laki-laki, maka yang berikutnya akan dilangsungkan pada pihak perempuan.
Demikian sebaliknya jika pernikahan dan pestanya dilangsungkan pada pihak perempuan, maka untuk berikutnya giliran pihak laki-laki. Demikianlah yang terjadi dalam pernikahan ala suku Dayak Kanayatn.
***
Bionarasi
Paran Sakiu, S.Th. dilahirkan di Mentonyek pada 19 Maret 1971. Guru PAK di SMPK Rahmani, pegiat literasi.
Aktif menulis untuk www.detikborneo.com.
Menulis dan menerbitkan buku:
1. Menimba dari Sumur Yakub (Tangerang, 2019)
2. Kumpulan Cerpen: Hari Terakhir (Tangerang, 2020)
Menikah dengan Okseviorita dan telah dikarunia tiga orang anak, menetap di penjaringan, Jakarta Utara.