29.7 C
Singkawang
More
    BerandaGnōthi SeautonRefleksi Hari Kemerdekaan di Tahun Pandemi: Wajah Orang Indonesia seperti Potret Mochtar...

    Refleksi Hari Kemerdekaan di Tahun Pandemi: Wajah Orang Indonesia seperti Potret Mochtar Lubis

    | Penulis R. Masri Sareb Putra

    Kemerdekaan kita, tahun 2021 ini. Terasa berbeda dari biasa. Tidak ada panjat pinang. Tak ada keramaiaan dan petasan. Meski diberi kesempatan untuk “bertobat”. Telah benarkah kita berubah? Apakah wajah kita masih seperti yang lama, seperti dipotret Mochtar Lubis, 44 tahun silam?

    Merah padam. Greget. Bercampur geram. Begitu biasanya respons otomatis tubuh kita ketika ada stimuli, suatu kebenaran yang diungkapkan orang lain. Termasuklah ketika sadar, begini rupa wajah kita menurut hasil potret Mochtar Lubis.

    Sungguh amat sangat menyakitkan sekali. Tapi benar. Seperti isi pidato Mochtar Lubis (ML), yang kemudian diterbitkan jadi buku dan diserbarluaskan ini.

    Mochtar Lubis dalam ceramah pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki menggetarkan, sekaligus menampar muka kita sebagai bangsa. Betapa tidak! Secara jujur dan terbuka dipaparkannya apa yang selama ini ditutup-tutupi dan seakan tabu.

    Cari dan bacalah buku penting ini. Agar tahu siapa kita. Lalu berubah! Asal tidak seperti kata pepatah saja, “Buruk rupa, cermin dibelah!”

    Disibaknya wajah manusia Indonesia yang terbalut kabut kepura-puraan. Topeng yang menutup wajah kita sebenarnya, ia buka. Kita benar-benar dihadapkan pada kaca benggala: inilah wajah kita, sebagai  bangsa sebagaimana dipaparkan dalam buku yang diterbitkan Idayu Press (1984) ini.

    Manusia Indonesia, oleh pria kelahiran Padang pada 7 Maret 1922 itu, dicirikan dalam 12 butir sebagai berikut.

    1)      Hipokritis (munafik). Umumnya, manusia Indonesia orang yang berpura-pura. Lain di bibir, lain di hati.

    2)      Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. Jika kita percaya bahwa apa pun tidak lahir dari ruang hampa, barangkali pepatah “Lempar batu sembunyi tangan” ini lahir dari realitas sosial masyarakat Indonesia. Menggambarkan bahwa seseorang berani berbuat, tapi takut bertanggung jawab.

    3)      Bersikap dan berperilaku feodal. Ini warisan feodal dan kolonial. Mental yang diturunkan dari generasi ke generasi. Utamanya dipraktikkan birokrasi, tidak peduli birokrasi pemerintahan maupun swasta.

    4)      Percaya takhyul. Meski tingkat pendidikan rata-rata orang Indonesia mengalami kemajuan dari waktu ke waktu, tetap saja jika mengalami masalah dan dihimpit kesulitan hidup, orang Indonesia cenderung lari ke dukun. Hal yang berbau mistik dan takhyul, masih melekat kuat, belum benar-benar lekang dari alam bawah sadar umumnya orang Indonesia. Padahal, percaya takhyul dan dunia mistik adalah ciri manusia primitif.

    5)      Artistik, berbakat seni. Bisa jadi, yang paling menohok ke ciri manusia Indonesia ini ialah etnis Bali, Jawa, Dayak, dan Irian. Ukiran dan jiwa seni terpancar dalam arsitektur dan narasi kehidupan sehari-hari. Meski demikian, etnis lain pun memiliki ciri ini. 

    6)      Lemah watak dan karakternya. Watak dan karakter suatu bangsa, tentu tidak dibangun dalam waktu sehari. Melainkan dibangun dalam rentang waktu lama, setelah mengalami proses internalisasi.

    7)      Tidak hemat. Orang Indonesia boros, rejeki hari ini, dihabiskan hari ini. Umumnya tidak gemar menabung dan memikirkan masa depan.

    8)      Cenderung tidak bekerja keras, jika tidak terpaksa. Hidup santai. Berprinsip: ada hari ada rejeki, ada hari ada nasi.

    9)      Tukang menggerutu, tidak berani menyatakan pikiran dan pendapat di depan orangnya. Menusuk di belakang. Ya di depan, tapi tidak di belakang.

    10)  Lekas iri dan dengki. Jika ada orang lain sukses, iri dan dengki. Gampang sirik.

    11)  Sok. Pura-pura pandai, tidak mau mengakui kekurangan/ keterbatasannya.

    12)  Mudah meniru. Ini menunjukkan orang Indonesia kurang kreatif dan inovatif. Mudah meniru, namun tidak mengakui bahwa itu temuan orang.

    Waktu Mochtar Lubis pidato, usia Indonesia sebagai negara-bangsa baru 32 tahun. Akan tetapi, tak syak, buku itu dikutip di mana-mana. Menjadi salah satu buku babon, atau buku yang mempengaruhi. Dan bertahan hingga puluhan tahun lamanya. Kini pun, buku ini tetap relevan.

    Jika ingin tahu sifak-sifat dasar manusia Indonesia, buku ini menjelaskannya tuntas. Cari dan bacalah! Asal tidak seperti kata pepatah saja, “Buruk rupa, cermin dibelah!”

    ***

    Sumber gambar: https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1362912151l/17568694.jpg

    ***

    Bionarasi

    WhatsApp Image 2021 08 06 at 10.27.34

    R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.

    Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.

    Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita