26.5 C
Singkawang
More
    BerandaSastraCerpen | Main Kelayang

    Cerpen | Main Kelayang

    10348923

    Bang Aldin selalu gitu’. Keluar rumah waktu asar balik selepas magrib. Aku tahu ke mana ia pergi. Ke simpang tiga Tanjung Nipah. Di situ ramai lelaki ngumpul. Bisa sampai belasan orang. Mereka main kelayang. Bukan sembarang main. Mereka bertaruh. Siapa yang bisa memutuskan kelayang milik sesama pemain akan dapat uang sesuai jumlah yang telah disepakati. Sekali kelayang putus dua puluh ribu. Ramailah kelayang mengangkasa di langit Tanjung Nipah kala senja.

    Untuk memutuskan satu kelayang mereka harus memakai gelasan, gulungan benang yang telah dicampur serbuk kaca dan lem. Benang jadi tajam. Jangankan kelayang, jaringan kabel listrik pun bisa korslet jika terkena benang gelasan. Lampu listrik satu wilayah bisa padam.

    Berbulan-bulan Bang Aldin begitu sejak menganggur. Toko mebel milik Pak Ameng di Sungai Jawi tempatnya bertahun-tahun bekerja harus tutup. Pak Ameng dan semua anak cucu memutuskan pindah ke Tiongkok negeri para leluhurnya.

    Asyik main kelayang dan dapat uang Bang Aldin tak mau bekerja lagi. Aku tecenong. Telah berapa kali kusampaikan, ia tak bisa terus gitu’. Harus kembali bekerja untuk menutupi banyak kebutuhan. Makan minum. Beli beras sekilo telah tembus tujuh belas ribu rupiah. Belum kebutuhan yang lain. Voucer listrik. Gas. Uang jajan si kecil kelas satu sekolah dasar. Bensin sepeda motor. Biaya berobat jika sakit. Biaya beli paket data. Hhmmm, Bang Aldin mikir tadak sih?

    Malam kemarin Bang Aldin memintaku masuk ke bilik kami padahal ia tahu aku sedang asyik nonton sinetron di bilik tengah. Ada Amanda Manopo beradu akting dengan Arya Saloka sebagai pasangan suami istri. Aku menurut.

    Di dalam bilik Bang Aldin mematikan lampu listrik. Memelukku. Menghujaniku dengan ciuman di wajah dan leher. Aku mengelak geli. Risih! Kudorong tubuhnya pelan. Ia malah balik mendorong tubuhku ke tilam. Menciumku lagi bertubi-tubi sampai aku merasa sesak napas. Ketika tangan Bang Aldin membuka risleting celana panjang yang kukenakan, aku menggeleng. Menepis tangannya. Langsung duduk di tilam. Aku tegas menolak keinginannya lantas menghidupkan lampu listrik.

    Wajah Bang Aldin memerah. Bertanya apakah aku sedang datang bulan. Tadak, kataku jujur. Lalu ia berujar keras kenapa aku tak mau menuruti ajakannya di tilam? Aku diam. Ternyata diamku itu makin memicu amarahnya. Bang Aldin menampar wajahku. Berulang kali. Memukul tangan dan pahaku pula. Terasa sakit. Panas! Aku tak melawan. Hanya air mata yang seketika tumpah membasahi wajah.

    Kata Bang Aldin aku tak berhak menolak ajakannya. Tak boleh. Hukumnya haram. Istri harus mau jika diajak suami beraktivitas di atas tilam bagaimanapun keadaannya. Aku tetap menolak, ia tersinggung. Marah. Kecewa. Resah. Sesuatu yang telah menggelegak dalam tubuh ke mana hendak ditumpahkan. Sekali lagi ia memukul keras lenganku lantas berjalan keluar bilik tanpa rasa bersalah. Kupejamkan mata. Menahan rasa sakit. Membiarkan air mata terus membasahi wajah.

    Aku bukan tak mau melayani Bang Aldin. Aku paham kewajiban sebagai istri. Namun, aku merasa harus bersikap. Aku tak mau Bang Aldin main kelayang terus. Tak peduli urusan keluarga. Ia pulang bawa uang hasil taruhan tak lebih seratus ribu habis untuk beli rokok dan ngopi. Bukan beli beras, lauk dan sayur untuk makan kami bertiga dengan si kecil.

    Bang Aldin memang kerap mengajakku naik ke tilam. Hampir tiap malam. Jujur, aku tak sanggup. Selalu ada beban pikiran bagaimana harus menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Lelah pula mengurus rumah tangga. Jadinya jelas. Aku tak menikmati apapun urusan di atas tilam bersama Abang Aldin. Jika sudah gitu, satu saja yang memenuhi seluruh ruang dalam kepala; mau sampai kapan? Apakah aku harus mengakhiri kehidupan rumah tangga bersama Bang Aldin?

    Kubuka mata mengusap wajah yang basah, keluar bilik. Mencari lelaki berjanggut dan berambut keriting dibiarkan gondrong sebahu telah sembilan tahun menjadi suamiku. Hendak kusampaikan keinginan yang sebenarnya. Jika terus-terusan ia main kelayang tanpa niat kembali bekerja sehingga mengabaikan urusan keluarga, mau tak mau, suka tak suka aku akan meninggalkannya. Segera!

    Kucari Bang Aldin di bilik tengah tempatnya biasa ngopi dan merokok. Tak ada. Di dapur pun tak ada. Aku beringsut ke kamar si kecil mungkin Bang Aldin di situ. Tak ada juga. O, ia sedang ke kedai membeli rokok tadak bilang, masih marah dengan sikapku telah menolaknya di tilam. Kukira gitu’. Biarlah. Aku ke bilik lagi. Baring di tilam. Tak tenang. Sampai lewat tengah malam Bang Aldin belum pulang. Hendak kutelepon tak bisa. Habis pulsaku, habis pula paket data. Samar kudengar langkah orang. Aku keluar bilik, Bang Aldin telah duduk di bilik tengah. Diam. Tecenong. Tak dihiraukannya wajah Amanda Manopo masih lalu lalang di layar kaca. Ia tak suka nonton sinetron.

    Bang Aldin bangkit dari duduk. Mengambil kelayang besar tergantung di dinding bilik. Ada tujuh kelayang warna-warni. Satu-satu kelayang itu dirobeknya. Arku kelayang terbuat dari buloh yang telah diraut tipis dipatahkannya. Diremas-remas. Diempaskan di lantai. Ditendangnya keras. Aku heran kenapa Bang Aldin gitu’. Apakah masih marah karena aku berani menolak ajakannya di tilam? Baiklah. Aku harus meminta maaf lalu menyampaikan keinginan hendak berpisah. Tekadku bulat sudah.

    Bang Aldin menatapku yang mendekatinya perlahan. Ketika jarak kami telah sangat dekat ia malah duluan meminta maaf selama ini telah berlaku kasar kepadaku. Main pukul. Ia pun menyampaikan sesuatu yang disimpan sejak tadi sewaktu di atas tilam; tak mau main kelayang lagi. Aku terkejut. Kutanya ngape gitu? Katanya barusan jelang magrib seorang teman sesama pemain kelayang hendak ditangkap polisi pamong praja. Razia kelayang. Berusaha kabur. Sedang bekejar ia ditabrak sepeda motor besar sedang melaju di jalan. Tewas di tempat. Kepalanya pecah tergilas ban depan. Otak berceceran. Bang Aldin bergidik ngeri. Tadi ia keluar sebentar. Ke rumah teman itu, keluarganya dan para tetangga barusan tahlilan.

    Sepasang mata Bang Aldin berkaca-kaca. Gara-gara main kelayang tak mau kena razia jadi hilang nyawa sorang. Bang Aldin berjanji hendak segera mencari kerja yang genah. Ia benar-benar tak mau lagi main kelayang. Selamanya!

    Bang Aldin kupeluk erat dengan senyum dan segenap rasa suka yang membuncah dalam dada Keningnya kucium mesra. Kubisikkan ke telinganya; Bang, aku memaafkanmu. Aku pun melupakan tindak kekerasan yang telah kuterima, menyimpan rapat keinginan hendak berpisah dengannya. Tangan Bang Aldin yang kekar bergerak cepat menggendongku masuk ke bilik kami, mengempas tubuhku di tilam. Lampu listrik dalam bilik padam lagi. Langit Tanjung Nipah hanya disinari bulan sabit. Suara jangkrik sempat bersahut. Lalu hening!
    Pontianak, 31 Januari 2024.
    *******
    | Penulis : E. Widiantoro

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita