26.1 C
Singkawang
More
    BerandaSastraCerpen | Daging Sepuluh Zulhijjah

    Cerpen | Daging Sepuluh Zulhijjah

    | Penulis: E. Widiantoro

    Masjid Tanjung Nipah tahun ini menerima seekor sapi kurban. Sapi jantan yang besar dari keluarga Haji Munawir di Sungai Jawi. Panitia telah dibentuk. Tugasnya, mendata siapa saja calon penerima daging kurban, melakukan penyembelihan hewan kurban, membagikan daging kurban ke penerima, melaporkan hasil kerja ke pengurus masjid secara lisan dan tertulis. Panitia kurban langsung dipimpin seorang tokoh terkemuka di Tanjung Nipah sebagai ketua; Buya Yal!

    Ketika kemarin kami ngobrol soal itu, Bang Han menarik napas panjang. Geleng-geleng kepala.

    “Tak bisa,” katanya.

    “Tak bisa apa, Bang?” tanyaku.

    Kalo Buya Yal yang jadi ketua panitia, habislah! Kita tak dapat apa-apa. Tak banyak daging kurban yang bisa kubawa pulang!”

    “Tak apalah, Bang. Bukankah selama ini kita sudah sering makan daging sapi?”

    Hei, Niken. Kalo aku bisa bawa daging kurban lebih banyak, lumayan. Berhari-hari kita bisa makan enak. Dari pada beli sendiri. Kau kan tahu, harga daging sapi mahal. Sekilo bisa sampe seratus lima puluh ribu,”

    “Sudahlah, Abang. Biarlah daging kurban untuk mereka yang berhak menerima,” kataku

    “Siapa? Mereka siapa?”tukas Bang Han keras. “Penerima daging kurban bisa siapa saja, Niken. Termasuk kita. Aku mau daging kurban itu bisa kuambil sendiri dari panitia, tak perlu menunggu waktu pembagian!”

    “Tak bisa begitu, Abang. Semua ada aturannya. Bang Han tak bisa semaunya sendiri.”

    “Aku tak peduli! Kau lihat saja nanti, aku akan bawa daging sapi yang banyak ke rumah ini. Silakan kau masak yang enak!” kata Bang Han tersenyum. Apa makna senyum itu, aku tak tahu.

    Tanggal 10 Zulhijjah, usai salat iduladha Bang Han tak langsung pulang ke rumah. Kuhubungi nomornya, malah ada suara nada dering terdengar dari dalam  kamar. Oalaaaah ponselnya tinggal!

    Semestinya dari masjid Bang Han segera pulang. Aku sudah menghidangkan opor ayam kesukaannya. Setelah salat Ied barulah kita makan. Begitu sunnah yang diajarkan Nabi SAW di hari Iduladha, tak makan terlebih dahulu sejak terbit fajar sampai selesai salat.

    Berbeda dengan Idul Fitri kita disunnahkan makan  sebelum berangkat menunaikan salat Ied ke masjid atau tanah lapang. Sunnah yang lain; mandi, berpakaian rapi, memperbanyak takbir, memakai wewangian dan berjalan kaki menuju  tempat salat.

    Jelang zuhur, Bang Han belum pulang. Duh, Bang Han ke mana sih? Kupandangi meja makan. Semua makanan yang telah kusajikan sejak pagi tak ada yang menyentuh. Belum ada yang bergerak. Piring. Sendok. Ketupat. Opor ayam. Gulai nangka. Sambal udang petai. Kerupuk dalam stoples. Sesisir pisang berangan. Ah! Aku menggeleng pelan. Lapar. Hanya, itulah. Aku tak bisa makan sendiri tanpa Bang Han. Selama lima tahun  menikah, jika Bang Han di rumah, kami selalu makan bersama.

    Aku balik ke kamar lagi. Baring di tilam. Ada rasa sesal dalam hati. Bukan soal Bang Han. Idul Adha tahun ini aku tak bisa puasa tarwiyah, puasa arafah, pun tak bisa ikut salat. Biasalah. Namanya perempuan ada saja halangan tiap bulan.

    Suara sepeda motor berhenti di muka rumah. Bang Han, kata hatiku bangkit dari baring di tilam, melangkah keluar kamar. Ya, lelaki asli Tanjung Nipah itu bergegas masuk rumah setelah berucap salam.

    “Dari mana, Bang?” tanyaku.

    “Aku bersalin baju saja, Niken.” katanya cepat melepas kemeja putih lengan panjang pakaian salat menggantinya dengan kaos oblong hitam polos kesukaannya. Hhmm, Bang Han. Aku tanya apa, jawabnya apa. Ia keluar lagi. Langkahnya cepat. Buru-buru. Men-starter sepeda motor tanpa helm. Masih sempat ia menoleh dan berujar; “Orang di masjid hendak memotong sapi kurban.”

    “Buya Yal?” tanyaku di ambang pintu ingin mendapatkan penegasan maksud ‘orang di masjid’.

    “Ya,”

    “Makan dulu, Abang.”

    “Kau sajalah,” katanya  tancap gas berlalu dari hadapanku. Sepeda motornya melesat di gang muka rumah menuju jalan raya. Aku masuk lagi menatap rak buku kecil di sudut ruang tamu. Di antara sekian banyak buku, kuambil satu yang tebal, hard cover. Antologi cerpen Menuai Badai. Buku berisi tiga puluh cerita pendek itu kubaca lagi di ruang tamu, sekadar mengisi waktu menunggu Bang Han pulang.

    Lewat tengah hari kudengar suara mesin sepeda motor berhenti di muka rumah. Bang Han datang. Kusambut ia di ambang pintu. Lelaki berambut ikal yang telah lima tahun menjadi suamiku itu melangkah lesu membawa kantong kresek hitam ukuran kecil, diletakkannya di meja. Ia menghempaskan tubuh di sofa.

    “Payah!” gerutunya keras. Kedua telapak tangan saling silang di atas leher jadi alas bersandar kepala.

    “Apanya yang payah, Abang?”

    “Buya Yal!”

    “Kenapa dengan Buya Yal? Abang marah dengan beliau? Abang lapar kan? Ayo kita makan,” kataku. Bang Han menggeleng. Wajahnya tegang menyiratkan amarah dan kecewa.

    “Dasar Buya Yal!” gerutunya lagi.

    Buya Yal yang disebut Bang Han seorang jemaah aktif di masjid Tanjung Nipah, tinggal di kompleks perumahan tak jauh dari rumah. Lelaki berdarah Minang itu rambut di kepalanya memutih semua. Itulah sebab ia pun biasa dipanggil Pak Uban. Dua tahun terakhir lelaki berkulit kuning langsat itu ditunjuk menjadi ketua panitia kurban, mengatur tata cara pembagian hewan kurban kepada pihak penerima. Sekarang, Bang Han menyebut namanya dengan nada marah. Kecewa! Entah apa masalahnya.

    “Buya Yal bicara apa dengan Abang?” tanyaku duduk di sisinya. Seperti membujuk bocah, kubelai rambutnya beberapa kali. “Kita makan?”

    Bang Hari menggeleng.

    “Tahun depan mestinya orang lain yang jadi ketua panitia kurban. Bukan Buya Yal!” katanya menunjuk kantong kresek di meja. “Idul Adha tahun lalu aku masih bisa bawa tiga kantong daging kurban dari masjid. Sekarang tak bisa. Hanya dapat segini!”

    Kubuka isi kantong kresek itu; daging sapi segar tanpa tulang. Baunya yang khas seketika menyeruak di hidung.

    Alhamdulillah..!” ucapku girang. “Ini daging sepuluh Zulhijjah, Abang. Berkah! Dari Buya Yal?”

    Bang Han diam. Tak peduli dengan omonganku, ia berujar;

    “Buya Yal ketat benar. Lokasi pemotongan sapi kurban dipagar. Orang-orang tak leluasa mendekat. Dia siapkan tenaga pengaman BNN,” katanya.

    “Badan narkotika?”

    “Bukan!”

    “Apa…?!”

    “Barisan nengok-nengok!” katanya. Aku menutup mulut dengan telapak tangan menahan geli. Ah, ada pula istilah begitu ya; barisan nengoknengok!

    “Setiap ada orang bawa karung atau kantong plastik di lokasi pemotongan sapi kurban, cepatlah ia ditegur barisan nengok-nengok tadi, langsung diusir menjauh tak bisa mengambil daging kurban sendiri,” ujar Bang Han, nadanya kesal.

    “Dan nasib Abang pun begitu?” tanyaku menyelidik.

    “Kau mengejekku?” tatap Bang Han. “Sedang-sedang jak ngolok tuh. Jangan keterlaluan!”

    “Hanya ingin memastikan! Benar?”

    “Ya!”

    Hhahaa!” tawaku pecah seketika. “Sudahlah, Abang. Terima saja apa yang ada. Bersyukur.”

    “Terlalu sedikit!”

    “Bersyukur, Abang…!” kataku.

    Hhmmm….!” Bang Han melengos.

    “Aku bisa baca maksud Buya Yal kenapa ia begitu,” kataku mulai mengerti kenapa Bang Han marah benar dengan Buya Yal.

    “Apa?!”

    “Buya Yal ingin orang-orang mendapat daging kurban yang halal langsung dari panitia, sesuai timbangannya bukan dengan cara nyolong!” kataku.

    Hhahhh, nyolong pula katamu?!” suara Bang Han, nadanya tinggi.

    “Apa bukan nyolong namanya kalo mengambil daging kurban diam-diam tanpa sepengetahuan panitia?” tanyaku sambil memegang buku Menuai Badai. Bang Han  mengubah duduk. Kepalanya tak lagi bersandar di sofa.

    “Aku kecewa dengan Buya Yal! Gara-gara dia aku tak bisa dapat daging kurban lebih banyak,” katanya gusar. Matanya melirik buku cover merah marun yang kupegang.

    “Bang, jangan hanya karena ingin memiliki dua-tiga kilo daging yang  sebenarnya bukan milik sendiri kita kelak malah menceburkan diri ke dalam neraka. Aku tak mau begitu.” kataku. Bang Han menarik napas dalam. Diam. “Kita makan, Bang? Sejak tadi opor ayam telah menunggumu di meja makan,” ujarku.

    “Buku itu lagi yang kau baca?” tanyanya seakan tak mendengar kata-kataku, menatap buku yang kupegang.

    “Iya, Bang.” Kuletakkan buku itu ke tempat semula. “Ah, senang benar kau dengan karya E. Widiantoro itu, seperti tak ada penulis lain di Kalimantan Barat! Ayo kita makan,” katanya beranjak ke dapur. Aku tersenyum. Aih, bisa juga ia cemburu. Lupa sudah dengan daging sepuluh Zulhijjah.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita