| Penulis: Handoko Widagdo
Beberapa waktu yang lalu saya dihubungi oleh seorang teman yang berprofesi sebagai penulis. Teman saya ini telah menghasilkan buku biografi para tokoh terkenal Indonesia. Namun akhir-akhir ini ia menekuni menulis novel. Ia menghubungi saya untuk mendapatkan beberapa informasi tentang pelayaran orang-orang Cina dari daratan ke Jawa pada periode 1920-1940.
Ketika saya tanyakan untuk apa ia berminat tahu tentang pelayaran pada jaman tersebut, ia menjawab bahwa ia sedang menyiapkan sebuah biografi tetapi ditulis dalam bentuk novel. Ia memilih genre novel untuk menuangkan detail kehidupan seorang tokoh karena menurutnya cara ini lebih menarik. Orang bosan membaca biografi yang kering. Kalau dibuat dalam bentuk novel maka orang akan tertarik mengikuti kisahnya yang lebih menarik. Demikian alasan teman saya tersebut.
Penulisan biografi seorang tokoh dalam bentuk novel sebenarnya bukanlah hal baru. Banyak tokoh-tokoh legendaris yang ditulis dalam bentuk novel. Kita mengenal kisah Gajahmada yang dinovelkan oleh Langit Krisna Hariadi dalam bentuk seri. Ada juga Putri Sio yang mengisahkan kehidupan ibu dari Raden Patah yang dinovelkan oleh Hilmi As’ad. Ronggolawe ditulis oleh Makinuddin Samin, Perempuan Keumala karya Endang Moerdopo, Sang Raja yang mengisahkan kehidupan Nitisemito dan Pangeran Dari Timur yang mengisahkan Raden Saleh karya Iksaka Banu adalah contoh lainnya.
Saya tidak memasukkan Tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer dalam hal ini karena meski tokoh utama dalam novelnya adalah Tirtoadisuryo, tetapi Pram menyamarkan sedemikian rupa tokoh utamanya tersebut. Pram hanya menggunakan kisah hidup Tiroadisuryo sebagai tulang belakang tetraloginya.
Selain tokoh-tokoh legendaris dari masa silam, ada juga biografi tokoh-tokoh yang masih hidup atau baru saja meninggal yang ditulis dalam bentuk novel. Napolen Dari Tanah Rencong karya Hasan Saleh yang penulisannya dibantu oleh Akmal Nasery Basral dan Menantang Phoenix karya Lian Go adalah dua contoh novel biografi.
Ada juga novel biografi dari Ki Hajar Dewantoro dan Kyai Ahmad Dahlan. Novel tentang Ki Hajar Dewantoro memang lebih enak untuk dibaca daripada biografi beliau. Demikian pun dengan novel Kyai Ahmad Dahlan yang lebih renyah dari membaca biografinya.
Mengapa ada penulis yang menuangkan biografi tokoh dalam bentuk novel? Apa keuntungannya? Seperti saya jelaskan di atas alasan teman saya memilih novel sebagai cara mengungkapkan biografi adalah supaya kisahnya lebih hidup dan menarik, ada beberapa alasan lain yang saya dapati.
Ia bisa membumbui ceritanya dengan dramatisasi tanpa harus mengetahui dengan persis peristiwa yang sesungguhnya. Misalnya, ia menemukan jenis kapal yang membawa tokohnya dari daratan Cina ke Jawa. Ia bisa memvisualisasi dek, kamar, makanan dan orang-orang yang berada dalam kapal tersebut sehingga ceritanya menjadi lebih hidup. Hilmi As’ad sangat berhasil mendarmatisir perjalanan Putri Sio dari Gresik ke Palembang. Perjalanan melalui sungai dan laut ini dikembangkannya sedemikian rupa sehingga penderitaan Putri Sio yang sedang hamil menjadi dramatis dalam perjalanan kapal tersebut.
Keuntungan lain memilih novel dalam menulis biografi adalah kita bisa memasukkan data-data atau spekulasi-spekulasi yang belum teruji dengan pisau sejarah. Meski dalam menulis novel berbasis biografi tokoh diperlukan riset yang sangat mendalam, namun kadang ada saja data-data yang menarik, tetapi tidak bisa dikategorikan sebagai fakta sejarah.
Informasi dalam kategori tersebut bisa menjadi bumbu pemanis dalam penulisan novel biografi sang tokoh. Contohnya adalah spekulasi bahwa Kubilai Khan terbunuh di Jawa saat menyerang Kertanegara. Spekulasi ini jelas sangat sulit dibuktikan, tetapi sangat saying untuk diabaikan begitu saja. Fakta seperti itu kemudian dipakai oleh Makinuddin Samin saat menulis novel tentang Ronggolawe.
Contoh lain adalah keris yang selalu dibawa oleh Diponegoro selama perang. Kita tahu bahwa Diponegoro mempunyai beberapa bilah keris. Tetapi keris mana yang selalu disandangnya saat melakukan penyerangan? Ketika Iksaka Banu dan Kurnia Effendi menulis novel tentang Raden Saleh, mereka memasukkan informasi keris Nogo Siluman yang baru saja dipulangkan oleh Pemerintah Belanda ke Indonesia. Keris tersebut diyakini sebagai keris milih Diponegoro. Tetapi apakah keris tersebut yang dibawa olehnya saat berperang? Hal ini belum ada informasi yang jelas.
Meski dramatisasi tokoh bisa dilakukan dan bumbu peristiwa yang belum teruji secara sejarah bisa ditambahkan, namun menulis novel biografi tentu tidak bisa seenaknya. Menambahkan peristiwa atau tokoh yang tidak pernah ada tentu tidak baik ditambahkan dalam novel biografi.
Penambahan peristiwa dan tokoh fiktif akan merusak sisi biografi sang tokoh. Jadi, meski boleh mendramatisir dengan mengembangkan detail, tetapi novel biografi tetap harus dijaga keakuratannya dari sisi sejarahnya.
***