28.8 C
Singkawang
More
    BerandaSastraInoi dan Mangga Ranum

    Inoi dan Mangga Ranum

    | Penulis: Lisa Mardani

    “Pohon mangga itu selalu berbuah sepanjang tahun.” ungkap Mas Bro kepada teman kerjanya saat menelpon. Entahlah… topik apa yang sedang mereka bicarakan. Hingga menjurus ke pohon mangga.

    Setahuku, ada sebatang pohon mangga yang berdiri dengan kokoh. Berada di halaman gedung bertingkat, tempat Mas Bro bekerja. Mungkin saja usia pohonnya telah melebihi usia ibuku.

    Kehadiran pohon mangga itu bukan hanya meneduhkan dan memberikan kesejukan. Tapi menghasilkan banyak buah yang manis. Hingga digemari dan dinikmati oleh banyak orang.

    Kalimat yang hanya sayup-sayup terdengar di telingaku itu mampu menyeretku, pada serpihan kenangan. Mungkin bagi orang lain, mangga hanyalah buah biasa yang dapat dinikmati dan ditemui di mana saja.

    Tapi bagiku itu buah kenangan yang istimewa. Kenangan pada masa kecilku saat tinggal di pedalaman Kalbar, daerah Uud Danum.

    Kala itu, aku baru duduk di bangku kelas 3 SD. Sepulang sekolah aku bergegas menuju rumah panggung peninggalan almarhum ayahku.

    Seragam putih-merah segera kutanggalkan, lalu diganti dengan kostum istimewa, celana panjang dan baju kaos lengan panjang. Warna kostumku belang-belang coklat, putih dan hitam.

    Warna alami dari setiap tetesan dan percikan air getah karet. Jika soal aromanya jangan ditanya, sudah pasti aroma parfum alami yang menghasilkan pundi-pundi rupiah.

    Bergegas aku menuju kebun karet. Air getah karet dalam kaleng bekas dan bambu, mulai kutuangkan satu persatu ke dalam ember. Setelah terkumpul, air getah dimasukan ke dalam bak kayu persegi panjang untuk di cetak.

    “Sudah selesai…!” seruku dengan menarik nafas lega.

    Keringat bercucuran membanjiri tubuh mungilku. Terik mentari menyengat, menusuk ke pori. Aku semakin dahaga. Kerongkongan terasa kering kerontang. Alarm dari perutku berbunyi kruk….kriuk….!”.

    Aku kelaparan dan kehausan, seusai menoreh karet di kebun warisan peninggalan almarhum bapakku. Kulangkahkan kaki setapak demi setapak, melewati jalan tikus yang licin dan terjal.

    Terbesit seberkas harapan, akan ada sedikit makanan dan minuman yang bisa ku santap di rumah. Namun, dari kejauhan kupandang istana mungilku masih tertutup dengan rapat.

    “Astaga… aku baru sadar!”

    Aku teringat pesan ibu. Sebelum berangkat ke ladang, ibu berkata padaku; “Inoi, nanti jika kamu sudah pulang sekolah, langsung saja ke ladang ya. Kamu makannya di ladang saja.”

    Sengaja aku rahasiakan pada ibu, bahwa sudah beberapa hari aku mulai belajar menoreh karet.

    “Waduh gawat…bagaimana ini?” pikirku dengan penuh tanya.

    Pandanganku mulai menyapu sekeliling rumah tetangga.

    Ah…percuma saja. Semua pintu dan jendela terkunci rapat. Tuan rumah telah pergi menjemput rejeki. Sebab panen padi telah tiba. Bahkan mereka menginap di pondok ladang.

    Aku turun ke sungai. Mencuci muka, tangan dan kaki yang penuh lumpur dan getah karet. Sembari minum dari air sungai yang masih bersih dan jernih. Seketika dahagaku hilang dan tengorokanku terasa segar.

    Di bawah sebatang pohon yang rindang, aku duduk bersandar. Sembari melonjorkan kedua kaki. Punggungku terasa penat setelah memikul dua ember air getah karet.

    Pikiranku mulai berkelana. Memikirkan cara untuk mengisi kampung tengahku yang sedari tadi bernyanyi. Sementara, jika pergi ke ladang tidak memungkinkan. Perjalanannya saja hampir 2 jam.

    “Aku harus segera memulihkan segenap tenagaku yang telah terkuras. Tapi bagaimana caranya…?” pikirku.

    “Mengemis aku tak bisa, bekerja pun belum menuai hasilnya. Huhh… beginilah nasib “anak nulok” gumamku dengan rasa nyesak di dada, sambil mengaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Aku merasa putus asa dan tak berdaya.

    Suasana kampung begitu sunyi. Hanya terdengar nyanyian burung yang bertengger di dahan dan ranting. Ku tarik nafas yang dalam, menghirup hembusan angin yang bertiup dengan lembut. Mata ku terasa lelah dan mengantuk.

    Seketika datang suara, dup….!” rasanya jantungku hampir copot.

    “Oh… rupannya ada mangga yang jatuh,” gumamku sambil menatap buah yang nyaris jatuh di kepala. Kupandangi pohon mangga yang rindang dan berbuah lebat. Di balik daun hijau terlihat buah mangga yang telah menguning. Tak sadar air liurku menetes memandang buahnya yang ranum.

    Rombongan tupai berlari dan menari kian kemari, sambil menggigit buah mangga. Baru saja mencicipi satu buah, hewan itu menggigit lagi buah mangga yang lain. Seakan-akan semua buah hendak dicicip. Aku jadi merasa terhina dan kesal sendiri di hadapan gerombolan tupai. Aku seperti seorang pengemis yang menantikan recehan.

    “Hei tupai-tupai nakal…!” Bapakku yang menanam dan merawat pohon mangga ini. Jika mau, makanlah secukupnya. Tapi jangan dibuang-buang seperti ini…!” teriakku kesal.

    Buah bekas gigitan berjatuhan. Barangkali mereka sengaja mengejek nasibku yang malang.

    Tapi, walaupun aku miskin, tapi aku adalah orang miskin yang sombong. Pokoknya aku tak sudi memakan buah bekas gigitan tupai. Sekalipun perutku sudah keroncongan cuih….!!!”

    “Aha… aku punya ide…..!” teriaku.

    “Sebaiknya aku panjat saja ke atas pohon untuk memetik buah mangga itu,” pikirku.

    Bagiku anak pedalaman, memanjat pohon adalah sesuatu hal yang biasa. Dalam waktu singkat aku sudah sampai di dahan. Namun, belum sempat aku memetik buahnya, badan dan kepalaku terasa disengat.  

    “Ahkai nai… astaga…!” teriaku kesakitan.

    Badan dan kepalaku dikerumuni “bihtik losuk” (semut berwarna kuning). Semut-semut itu tidak hanya menggigit, tapi menyemprotkan racunnya kimianya ke pori-pori. Hingga membuat permukaan kulitku terasa mendidih dan sangat perih hingga ke ubun-ubun.

    Aku berteriak dan gemetaran. Tanpa sadar aku seperti main prosotan dan seluncuran, hingga melompat dari atas pohon. Puji Tuhan kaki masih utuh dan tidak patah. Hanya lecet di bagian kaki dan tangan. Akibat tergores dahan dan batang pohon.

    Huh… aku menarik nafas yang dalam. Rasa kesal dan amarah pada semut nakal mulai menguasai alam bawah sadarku. Kuambil sepotong kayu bakar yang ada di bawa rumah panggung.

    Kulemparkan dengan sekuat tenaga ke arah sarang semut di gerombolan daun mangga yang rindang.

    Dup…!” satu buah mangga jatuh jadi korban dari salah sasaran.

    Ku pandangi dengan seksama, ternyata buah mangga yang jatuh telah matang dan masih utuh. Semangat hidupku bangkit seketika. Amarah dan kesal pun sirna.

    Ku bawa lagi beberapa potongan kayu bakar. Kali ini aku bukan melempar dengan sembarangan. Tapi dengan hati-hati supaya tepat sasaran. Hasilnya aku mendapatkan beberapa buah mangga yang matang. Aku segera mengupas dan memakan buahnya.

    “Terima kasih buah mangga, kau telah memberiku kekuatan yang baru,” bisikku dengan senyuman sambil mengelus perutku. Perut kenyang hati pun riang.

    ***

    Bionarasi

    Profil BionarasiLisa

    Lisa Mardani, S.Pd.K., dilahirkan di Kepingoi, Kalimantan Barat pada 11 Oktober 1986. Seorang perempuan dari suku Dayak Uud Danum. Sejak tahun 2021 aktif menulis feature tentang suku Dayak Uud Danum.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita